Partisipasi politik
merupakan hak setiap warga negara di negara yang menganut sistem demokrasi,
tetapi dalam kenyataannya, persentase masyarakat yang turut berpartisipasi
berbeda-beda disetiap negara. Hal ini dapat memberikan sebuah kesimpulan bahwa
tidak semua warga negara ikut serta dalam proses politik (Surbakti, 2010:184).
Memang tidak bisa dipungkiri, meskipun partisipasi politik adalah hak setiap
warga negara, namun sejatinya tidak setiap warga negara mengerti dengan hak
yang satu ini, terutama pada negara-negara yang sedang berkembang yang bisa
jadi masyarakatnya kurang memiliki
kesadaran terhadap politik, jadi hal yang wajar jika terjadi perbedaan
persentase masyarakat yang turut berpartisipasi dalam politik antara negara
yang satu dengan negara lainnya. Di negara-negara demokrasi, konsep partisipasi
politik bertolak dari paham bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, yang
dilaksanakan melalui kegiatan bersama untuk menetapkan tujuan-tujuan serta masa
depan masyarakat itu dan untuk menentukan orang-orang yang memegang tampuk
kepemimpinan. Jadi, partisipasi politik merupakan pengejawantahan dari
penyelenggaraan kekuasaan politik yang bebas oleh rakyat (Budiardjo, 2008:368).
Bentuk partisipasi
politik yang paling mudah ditemukan dalam masyarakat adalah berperan serta
dalam pemelihan pemerintah, melakukan lobby
dengan pemerintah, hingga partisipasi yang dilakukan dengan jalan
kekerasan. Sehingga Huntington dan Nelson (1990:16-18) menyebutkan lima bentuk
partisipasi politik sebagai berikut:
1. Kegiatan
pemilihan, merupakan kegiatan-kegiatan masyarakat yang mencakup pemberian suara
(voting), memberikan sumbangan untuk
kampanye, bekerja sebagai panitia pemilihan umum, mencari dukungan bagi seorang
calon atau kandidat, dan setiap tindakan yang memengaruhi proses pemilihan
umum.
2. Lobbying,
mencakup upaya-upaya perorangan atau kelompok untuk menghubungi pejabat-pejabat
pemerintah dan pemimpin-pemimpin politik dengan maksud memengaruhi keputusan-keputusan
mereka mengenai persoalan-persoalan yang menyangkut sejumlah besar orang.
3. Kegiatan
organisasi, menyangkut partisipasi sebagai anggota atau pejabat dalam suatu
organisasi yang tujuan utamanya adalah memengaruhi pengambilan keputusan
pemerintah.
4. Contacting,
merupakan tindakan perorangan yang ditujukan terhadap pejabat-pejabat
pemerintah yang bertujuan untuk memperoleh manfaat bagi satu atau segelintir
orang saja.
5. Tindak
kekerasan (violence), adalah
upaya-upaya untuk memengaruhi pengambilan keputusan pemerintah dengan jalan
menimbulkan kerugian fisik terhadap orang-orang atau harta benda.
Dalam kaitannya dengan
partisipasi politik, sebagian masyarakat dapat berperan secara aktif dalam
kegiatan-kegiatan yang berbau politik, selalu berusaha untuk mempengaruhi
setiap proses pengambilan kebijakan umum yang dilakukan oleh pemerintah, namun
tak sedikit pula masyarakat yang hanya diam, menerima setiap kebijakan yang
telah ditetapkan. Namun keduanya dapat dikatakan sebagai partisipasi politik,
maka dari itu Surbakti (2010:182) membedakan partisipasi politik menjadi
partisipasi aktif dan partisipasi pasif. Suatu perbuatan dapat dikatakan
sebagai partisipasi aktif apabila masyarakat secara aktif terlibat dalam
kegiatan-kegiatan yang nyata seperti mengajukan usul mengenai suatu kebijakan
umum, mengajukan kebijakan alternatif apabila tidak sependapat dengan kebijakan
yang dibuat oleh pemerintah, mengajukan kritik dan perbaikan untuk meluruskan
kebijakan. Sedangkan yang dikatakan sebagai partisipasi secara pasif adalah
apabila masyarakat hanya diam dan menerima setiap kebijakan yang diambil oleh
pemerintah, baik kebijakan itu menguntungkan atau malah justru merugikan
masyarakat. Dengan kata lain, partisipasi aktif adalah kegiatan yang tidak
hanya berorientasi pada proses input
tetapi juga memikirkan output politik
yang akan dihasilkan, sedangkan partisipasi pasif merupakan kegiatan yang hanya
berorientasi pada proses output
politik saja.
Disamping itu, menurut Surbakti
(2010:182) juga terdapat sejumlah anggota masyarakat yang tidak termasuk dalam
kategori partisipasi aktif maupun partisipasi pasif, karena mereka menganggap
masyarakat dan sistem politik telah menyimpang dari apa yang mereka harapkan.
Kelompok ini disebut sebagai kelompok apatis atau golongan putih (golput).
Partisipasi politik tidak hanya berupa kegiatan yang secara aktif maupun pasif
yang dilakukan oleh masyarakat dalam upaya mempengaruhi pemerintah, tetapi
partisipasi politik juga dapat berupa kegiatan yang turut mengawasi jalannya
sistem politik. Oleh karena itu, Rosenau (Arifin, 2015:80) membagi partisipasi
politik terdiri atas dua bentuk. Pertama para pengamat yang memperhatikan
politik yang tidak hanya selama pemilihan umum berlangsung, tetapi di antara
pemilihan umum yang satu dengan pemilihan umum yang lainnya. Mereka pada
umumnya adalah khalayak media (pembaca surat kabar, pendengar radio, dan
pemirsa televisi), serta aktif dalam diskusi politik, seminar, dan memberikan
komentar melalui media massa, namun mereka tidak ikut berperan serta dalam
kegiatan-kegiatan politik. Kedua, adalah khalayak yang bukan saja mengamati,
tetapi giat melakukan komunikasi (lobby)
dengan para pemimpin politik, baik di pemerintahan maupun di parlemen dan di
luar parlemen.
Sejalan dengan pendapat
Rosenau tersebut, Arifin (2015:81) juga membagi partisipasi politik dalam dua
bentuk, yaitu partisipan pengamat dan partisipan mitra. Partisipan pengamat
adalah kalangan akademisi yang memiliki minat, pengetahuan dan kompetensi,
secara rajin mengikuti perkembangan politik secara kritis melalui media massa.
Mereka juga sering menyampaikan kritikan, pendapat atau komentar melalui media
massa, tetapi tidak mau terlibat di dalam kegiatan politik praktis. Sedangkan
partisipan mitra pada umumnya adalah aktivis atau orang-orang yang ingin
menjadi aktivis sehingga mereka melibatkan diri kedalam kegiatan politik
sebagai mitra politik.
Pelaksanaan partisipasi politik tidak
selamanya hanya dilakukan dengan cara-cara yang baik, sesuai dengan prosedur,
dan hukum yang berlaku, tetapi pada masanya partisipasi politik juga dapat
dilakukan dengan cara-cara ekstrim di luar nalar dan logika sehingga dapat
menyebabkan akibat yang tidak diinginkan. Partisipasi politik yang dilakukan
secara normal, sesuai dengan peraturan dan hukum disebut dengan partisipasi
yang dilakukan secara konvensional, kegiatan ini dapat berupa kegiatan seperti
menghadiri pemungutan suara pada pemilihan umum, terlibat dalam diskusi (lobby) politik, menghadiri kegiatan
kampanye politik, membentuk dan bergabung dalam kelompok kepentingan, ataupun
cara-cara lain sepanjang kegiatan itu masih dapat dikatakan normal, dan tidak
menyalahi aturan. Sementara partisipasi politik yang dilakukan secara ekstrim
dan dapat menyalahi aturan dapat dikatakan sebagai partisipasi politik secara
nonkonvensional, kegiatan yang tergolong partisipasi ini dapat berupa pengajuan
petisi kepada pemerintah, demonstrasi secara anarkis, konfrontasi massa, tindak
kekerasan politik terhadap benda (perusakan, pengeboman, pembakaran), tindak
kekerasan politik terhadap manusia (penculikan, pembunuhan), perang gerilya dan
revolusi, maupun kegiatan lain yang sifatnya membahayakan orang banyak dan
menyalahi aturan (Almond dalam Damsar, 2010:186).
Faulks (dalam Handoyo,
2008:216) memberi batasan partisipasi politik sebagai keterlibatan aktif
individu maupun kelompok dalam proses pemerintahan yang berdampak pada
kehidupan mereka. Hal ini mencakupi keterlibatan warga negara dalam pembuatan
keputusan politik, langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi kebijakan
pemerintah. Partisipasi politik ini merupakan proses aktif, dimana seseorang
dapat saja menjadi anggota sebuah partai atau kelompok penekan (pressure group), namun tidak memainkan
peran aktif dalam organisasi. Untuk menentukan apakah suatu perbuatan dapat
dikategorikan sebagai partisipasi politik atau tidak, Surbekti (2010:180-181)
memberikan rambu-rambu sebagai kriteria untuk menentukan apakah suatu perbuatan
dapat dikategorikan sebagai suatu bentuk partisipai politik atau tidak.
Rambu-rambu tersebut setidaknya adalah:
1. Partisipasi
politik yang dimaksudkan berupa kegiatan atau perilaku luar individu warga negara
biasa yang dapat diamati, bukan perilaku dalam yang berupa sikap dan orientasi.
2. Kegiatan
itu diarahkan untuk mempengaruhi pemerintah selaku pembuat dan pelaksana
keputusan politik. Termasuk didalamnya seperti kegiatan mengajukan
alternatif kebijakan umum, alternatif
pembuat dan pelaksana keputusan politik, dan kegiatan mendukung atau menentang
keputusan politik yang telah dibuat oleh pemerintah.
3. Baik
kegiatan yang berhasil atau yang gagal dalam mempengaruhi pemerintah, termasuk
kedalam partisipasi politik.
Kegiatan mempengaruhi pemerintah tanpa
menggunakan perantara, dapat dilakukan secara langsung ataupun secara tidak
langsung.
0 comments:
Post a Comment