blog ini merupakan blog yang berisi informasi-informasi yang berkaitan dengan dunia pendidikan, keilmuan dan juga dunia penelitian.

Laman

Sunday 25 August 2019

Bentuk Partisipasi Politik

Partisipasi politik merupakan hak setiap warga negara di negara yang menganut sistem demokrasi, tetapi dalam kenyataannya, persentase masyarakat yang turut berpartisipasi berbeda-beda disetiap negara. Hal ini dapat memberikan sebuah kesimpulan bahwa tidak semua warga negara ikut serta dalam proses politik (Surbakti, 2010:184). Memang tidak bisa dipungkiri, meskipun partisipasi politik adalah hak setiap warga negara, namun sejatinya tidak setiap warga negara mengerti dengan hak yang satu ini, terutama pada negara-negara yang sedang berkembang yang bisa jadi masyarakatnya  kurang memiliki kesadaran terhadap politik, jadi hal yang wajar jika terjadi perbedaan persentase masyarakat yang turut berpartisipasi dalam politik antara negara yang satu dengan negara lainnya. Di negara-negara demokrasi, konsep partisipasi politik bertolak dari paham bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, yang dilaksanakan melalui kegiatan bersama untuk menetapkan tujuan-tujuan serta masa depan masyarakat itu dan untuk menentukan orang-orang yang memegang tampuk kepemimpinan. Jadi, partisipasi politik merupakan pengejawantahan dari penyelenggaraan kekuasaan politik yang bebas oleh rakyat (Budiardjo, 2008:368).
Bentuk partisipasi politik yang paling mudah ditemukan dalam masyarakat adalah berperan serta dalam pemelihan pemerintah, melakukan lobby dengan pemerintah, hingga partisipasi yang dilakukan dengan jalan kekerasan. Sehingga Huntington dan Nelson (1990:16-18) menyebutkan lima bentuk partisipasi politik sebagai berikut:
1.    Kegiatan pemilihan, merupakan kegiatan-kegiatan masyarakat yang mencakup pemberian suara (voting), memberikan sumbangan untuk kampanye, bekerja sebagai panitia pemilihan umum, mencari dukungan bagi seorang calon atau kandidat, dan setiap tindakan yang memengaruhi proses pemilihan umum.
2.    Lobbying, mencakup upaya-upaya perorangan atau kelompok untuk menghubungi pejabat-pejabat pemerintah dan pemimpin-pemimpin politik dengan maksud memengaruhi keputusan-keputusan mereka mengenai persoalan-persoalan yang menyangkut sejumlah besar orang.
3.    Kegiatan organisasi, menyangkut partisipasi sebagai anggota atau pejabat dalam suatu organisasi yang tujuan utamanya adalah memengaruhi pengambilan keputusan pemerintah.
4.    Contacting, merupakan tindakan perorangan yang ditujukan terhadap pejabat-pejabat pemerintah yang bertujuan untuk memperoleh manfaat bagi satu atau segelintir orang saja.
5.    Tindak kekerasan (violence), adalah upaya-upaya untuk memengaruhi pengambilan keputusan pemerintah dengan jalan menimbulkan kerugian fisik terhadap orang-orang atau harta benda.
Dalam kaitannya dengan partisipasi politik, sebagian masyarakat dapat berperan secara aktif dalam kegiatan-kegiatan yang berbau politik, selalu berusaha untuk mempengaruhi setiap proses pengambilan kebijakan umum yang dilakukan oleh pemerintah, namun tak sedikit pula masyarakat yang hanya diam, menerima setiap kebijakan yang telah ditetapkan. Namun keduanya dapat dikatakan sebagai partisipasi politik, maka dari itu Surbakti (2010:182) membedakan partisipasi politik menjadi partisipasi aktif dan partisipasi pasif. Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai partisipasi aktif apabila masyarakat secara aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang nyata seperti mengajukan usul mengenai suatu kebijakan umum, mengajukan kebijakan alternatif apabila tidak sependapat dengan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, mengajukan kritik dan perbaikan untuk meluruskan kebijakan. Sedangkan yang dikatakan sebagai partisipasi secara pasif adalah apabila masyarakat hanya diam dan menerima setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah, baik kebijakan itu menguntungkan atau malah justru merugikan masyarakat. Dengan kata lain, partisipasi aktif adalah kegiatan yang tidak hanya berorientasi pada proses input tetapi juga memikirkan output politik yang akan dihasilkan, sedangkan partisipasi pasif merupakan kegiatan yang hanya berorientasi pada proses output politik saja.
Disamping itu, menurut Surbakti (2010:182) juga terdapat sejumlah anggota masyarakat yang tidak termasuk dalam kategori partisipasi aktif maupun partisipasi pasif, karena mereka menganggap masyarakat dan sistem politik telah menyimpang dari apa yang mereka harapkan. Kelompok ini disebut sebagai kelompok apatis atau golongan putih (golput). Partisipasi politik tidak hanya berupa kegiatan yang secara aktif maupun pasif yang dilakukan oleh masyarakat dalam upaya mempengaruhi pemerintah, tetapi partisipasi politik juga dapat berupa kegiatan yang turut mengawasi jalannya sistem politik. Oleh karena itu, Rosenau (Arifin, 2015:80) membagi partisipasi politik terdiri atas dua bentuk. Pertama para pengamat yang memperhatikan politik yang tidak hanya selama pemilihan umum berlangsung, tetapi di antara pemilihan umum yang satu dengan pemilihan umum yang lainnya. Mereka pada umumnya adalah khalayak media (pembaca surat kabar, pendengar radio, dan pemirsa televisi), serta aktif dalam diskusi politik, seminar, dan memberikan komentar melalui media massa, namun mereka tidak ikut berperan serta dalam kegiatan-kegiatan politik. Kedua, adalah khalayak yang bukan saja mengamati, tetapi giat melakukan komunikasi (lobby) dengan para pemimpin politik, baik di pemerintahan maupun di parlemen dan di luar parlemen.
Sejalan dengan pendapat Rosenau tersebut, Arifin (2015:81) juga membagi partisipasi politik dalam dua bentuk, yaitu partisipan pengamat dan partisipan mitra. Partisipan pengamat adalah kalangan akademisi yang memiliki minat, pengetahuan dan kompetensi, secara rajin mengikuti perkembangan politik secara kritis melalui media massa. Mereka juga sering menyampaikan kritikan, pendapat atau komentar melalui media massa, tetapi tidak mau terlibat di dalam kegiatan politik praktis. Sedangkan partisipan mitra pada umumnya adalah aktivis atau orang-orang yang ingin menjadi aktivis sehingga mereka melibatkan diri kedalam kegiatan politik sebagai mitra politik.
Pelaksanaan partisipasi politik tidak selamanya hanya dilakukan dengan cara-cara yang baik, sesuai dengan prosedur, dan hukum yang berlaku, tetapi pada masanya partisipasi politik juga dapat dilakukan dengan cara-cara ekstrim di luar nalar dan logika sehingga dapat menyebabkan akibat yang tidak diinginkan. Partisipasi politik yang dilakukan secara normal, sesuai dengan peraturan dan hukum disebut dengan partisipasi yang dilakukan secara konvensional, kegiatan ini dapat berupa kegiatan seperti menghadiri pemungutan suara pada pemilihan umum, terlibat dalam diskusi (lobby) politik, menghadiri kegiatan kampanye politik, membentuk dan bergabung dalam kelompok kepentingan, ataupun cara-cara lain sepanjang kegiatan itu masih dapat dikatakan normal, dan tidak menyalahi aturan. Sementara partisipasi politik yang dilakukan secara ekstrim dan dapat menyalahi aturan dapat dikatakan sebagai partisipasi politik secara nonkonvensional, kegiatan yang tergolong partisipasi ini dapat berupa pengajuan petisi kepada pemerintah, demonstrasi secara anarkis, konfrontasi massa, tindak kekerasan politik terhadap benda (perusakan, pengeboman, pembakaran), tindak kekerasan politik terhadap manusia (penculikan, pembunuhan), perang gerilya dan revolusi, maupun kegiatan lain yang sifatnya membahayakan orang banyak dan menyalahi aturan (Almond dalam Damsar, 2010:186).
Faulks (dalam Handoyo, 2008:216) memberi batasan partisipasi politik sebagai keterlibatan aktif individu maupun kelompok dalam proses pemerintahan yang berdampak pada kehidupan mereka. Hal ini mencakupi keterlibatan warga negara dalam pembuatan keputusan politik, langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah. Partisipasi politik ini merupakan proses aktif, dimana seseorang dapat saja menjadi anggota sebuah partai atau kelompok penekan (pressure group), namun tidak memainkan peran aktif dalam organisasi. Untuk menentukan apakah suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai partisipasi politik atau tidak, Surbekti (2010:180-181) memberikan rambu-rambu sebagai kriteria untuk menentukan apakah suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai suatu bentuk partisipai politik atau tidak. Rambu-rambu tersebut setidaknya adalah:
1.    Partisipasi politik yang dimaksudkan berupa kegiatan atau perilaku luar individu warga negara biasa yang dapat diamati, bukan perilaku dalam yang berupa sikap dan orientasi.
2.    Kegiatan itu diarahkan untuk mempengaruhi pemerintah selaku pembuat dan pelaksana keputusan politik. Termasuk didalamnya seperti kegiatan mengajukan alternatif  kebijakan umum, alternatif pembuat dan pelaksana keputusan politik, dan kegiatan mendukung atau menentang keputusan politik yang telah dibuat oleh pemerintah.
3.    Baik kegiatan yang berhasil atau yang gagal dalam mempengaruhi pemerintah, termasuk kedalam partisipasi politik.
Kegiatan mempengaruhi pemerintah tanpa menggunakan perantara, dapat dilakukan secara langsung ataupun secara tidak langsung.

0 comments:

Post a Comment