blog ini merupakan blog yang berisi informasi-informasi yang berkaitan dengan dunia pendidikan, keilmuan dan juga dunia penelitian.

Laman

Friday 19 May 2017

pengertian ilmu politik

A.    Pengertian Politik
            makna politik secara umum yaitu sebuah tahapan dimana untuk membentuk atau membangun posisi-posisi kekuasaan didalam masyarakat yang berguna sebagai pengambil keputusan-keputusan yang terkait dengan kondisi masyarakat. Kata politik ini berasal dari bahasa yunani yaitu “polis” dan “teta”. Arti dari “polis” sendiri yaitu kota/Negara sedangkan untuk kata “teta” yaitu urusa. Sehingga hakikat politik itu sendiri merupakan sebuah usaha untuk mengelola dan menata sistem pemerintahan untuk mewujudkan kepentingan atau cita-cita dari suatu Negara.
Pandangan dari para ahli terkait dengan politik.
1. Aristoteles
Usaha yang ditempuh oleh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama.
2. Joice Mitchel
            Politik adalah pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijaksanaan umum untuk masyarakat seluruhnya.
 3. Roger F. Soltau
            Bermacam-macam kegiatan yang menyangkut penentuan tujuan-tujuan dan pelaksanaan tujuan itu. Menurutnya politik membuat konsep-konsep pokok tentang negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision marking), kebijaksanaan (policy of beleid), dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation).
4. Johan Kaspar Bluntchli
Ilmu politik memerhatikan masalah kenagaraan yang mencakup paham, situasi, dan kondisi negara yang bersifat penting.
5. Hans Kelsen
Dia mengatakan bahwa politik mempunyai dua arit, yaitu sebagai berikut.
a. Politik sebagai etik, yakni berkenaan dengan tujuan manusia atau individu agar tetap hidup secara sempurna.
 b. Politik sebagai teknik, yakni berkenaan dengan cara (teknik) manusia atau individu untuk mencapai tujuan.
Jika dilihat secara Etimologis yaitu kata "politik" ini masih memiliki keterkaitan dengan kata-kata seperti "polisi" dan "kebijakan". Melihat kata "kebijakan" tadi maka "politik" berhubungan erat dengan perilaku-perilaku yang terkait dengan suatu pembuatan kebijakan. Sehingga "politisi" adalah orang yang mempelajari, menekuni, mempraktekkan perilaku-perilaku didalam politik tersebut.
Oleh karena itu secara garis besar definisi atau makna dari "Politik" ini adalah sebuah perilaku atau kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk mewujudkan kebijakan-kebijakan dalam tatanan Negara agar dapat merealisasikan cita-cita Negara sesungguhnya, sehingga mampu membangun dan membentuk Negara sesuai rules agar kebahagian bersama didalam masyarakat disebuah Negara tersebut lebih mudah tercapai.
 sudah terjadi sejak zaman dahulu kala. Manusia adalah makhluk politik (zoon politicon), begitu kata Aristoteles dalam kitabnya Politik. Ungkapan tersebut menjelaskan bahwa semenjak manusia lahir di bumi ini, ia sudah berpolitik. Karena dalam hal ini, politik didefinisikan sebagai usaha untuk mendapatkan apa yang dikehendaki. Bahkan bayi pun berpolitik. Ketika ia merengek dan menangis untuk mendapatkan air susu. Maka bayi telah berpolitik. Ia merengek dan menangis untuk mendapatkan apa yang ia kehendaki.
Sebagai disiplin ilmu (science), ilmu politik masih muda usianya karena baru lahir pada akhir abad ke-19. Kemudian seiring perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan, ilmu politik juga berkembang secara pesat berdampingan dengan cabang-cabang ilmu social lainnya, seperti sosiologi, antropologi, ekonomi dan psikologi, dan dalam perkembangan ini satu sama lain saling mempengaruhi.
Apabila kita meninjau ilmu politik dalam ruang lingkup (scope) yang lebih luas, yakni pembahasan rasional terhadap berbagai aspek Negara dan kehidupan politik, maka ilmu politik sebenarnya memiliki umur yang sangat amat tua diantara ilmu sosial lainnya. Karena pada perkembangannya ilmu politik bersandar pada sejarah dan filsafat.
C.    Perkembangan politik dari zaman ke zaman
Perkembangan ilmu politik pada masa klasik, di Yunani Kuno misalnya, pemikiran mengenai Negara sudah dimulai pada tahun 450 SM. Hal ini dibuktikan dari adanya karya-karya ahli sejarah Herodotus, atau filusuf-filusuf seperti Plato, Aristoteles, dan sebagainya. Di Asia, India dan Cina menjadi pusat perkembangan ilmu politik karena telah banyak mewariskan tulisan dan karya tentang politik. Seperti, karya kesusastraan Dharmasastra dan Arthasastra yang berasal kira-kira 500 SM. Sementara,China terkenal dengan Confusius (± 350 SM.), Mencius (± 350 SM.) dan lain sebagainya.
Kemudian, di Indonesia kita dapat menemukan beberapa karya yang membahas tentang sejarah dan kenegaraan, seperti Negarakertagama pada masa Majapahit sekitar abad ke-13 sampai abad ke-15 Masehi.
Pada perkembangannya, karya-karya tentang politik mendapat desakan dari para pemikir barat. Disinilah kesusastraan yang membahas tentang politik mengalami kemunduran. Negara-negara seperti Inggris, Jerman, Amerika Serikat dan Belanda dalam rangka imperialism.
Di Negara-negara benua Eropa, pembahasan mengenai politik banyak dipengaruhi oleh ilmu hukum. Karena dalam hal ini fokus perhatiannya adalah Negara semata. Ilmu politik disebut juga ilmu Negara (Staatslehre). Selait itu, pembahasan dan permasalah politik juga dianggap sebagai subjek filsafat, tentang moral philosophy dan tidak terlepas dari sejarah. Pengaruh ilmu hukum, filsafat dan sejarah ini masih terlihat sampai Perang Dunia II (PD II).
Di Amerika, tekanan yuridis yang mempengaruhi pembahasan tentang politik juga masih terlihat. Namun, kajian empiris tentang politik mulai dikembangkan seiring dengan perkembangan metodologi dan terminologi sosiologi dan psikologi.
Sesudah Perang Dunia II, perkembangan ilmu politik semakin pesan. Hal ini dapat dilihat dari didirikannya fakultas-fakultas ilmu politik itu sendiri.
Di Indonesia, setelah PD II, juga didirikan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL), seperti di Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta. Kemudian menjadi FISIP.
Seiring dengan berdirinya beberapa fakultas ilmu politik, tradisi dalam membahas ilmu politik pun bermunculan. Pada mulanya terdapat dua tradisi dalam membahas ilmu politik sebagai ilmu pengetahuan (science). Yakni tradisi kaum Tradisionalis dan Bihavioralis.
Kaum Tradisionalis menganggap bahwa Negara dan lembaga-lembaga yang ada didalamnya merupakan subjek utama pembahasan dalam ilmu politik. Sementara, Kaum Behavioralis merasa tidak puas dengan perumusan yang telalu luas tersebut. Itulah mengapa dalam decade 1950-an muncul pendekatan perilaku (Behavioral Approach).
Dalam perkembangannya, kedua tradisi tersebut saling bertentangan. Sehingga timbul perbedaan-perbedaan konsentrasi antara keduanya dalam pembahasan ilmu politik.
D.    Hubungan ilmu Politik dengan ilmu-ilmu lainnya.
1.      hubungan ilmu Politik dengan ilmu Ekonomi.
Ilmu politik dan Ekonomi sejak dulu sampai sekarang selalu sangat erat hubungannya. Dalam setiap tindakan politik ada aspek ekonominya, demikian pula struktur perekonomian suatu masyarakat dapat mempengaruhi lembaga-lembaga politik yang sudah ada. Pada zaman Yunani, ilmu politik mengatur kehidupan politik orang-orang Yunani, sedangkan ekonomi (oikonomos) mengatur kemakmuran material dari warga negara Yunani. Pada abad 17, Montchretien de Watteville memperkenalkan istilah “Ekonomi Politik” yang menggambarkan begitu eratnya ilmu politik dan Ekonomi. Pada akhir PD I di Inggris dikemukakan ide tentang Negara kesejahteraan (Welfare state) artinya Negara Mensejahterakan rakyatnya, bukan sekedar “Negara penjaga malam”.
2.      Hubungan ilmu politik dengan ilmu hukum.
Setiap masyarakat baik moderen maupun primitive harus berdasarkan kepada ketertiban. Hukum dibuat, dijalankan dan dipertahankan oleh suatu kekuasaan. Pada saat ini, kekuasaan itu adalah Negara. Dalam hal ini sudah nampak hubungan antara ilmu politik dan ilmu hukum, yaitu dalam peranan Negara sebagai pembentuk hukum dan dalam objek ilmu hukum itu sendiri yaitu hukum. Ilmu politik juga menyelidiki hukum tetapi tidak menitik beratkan pada segi-segi teknis dari hukum, melainkan terutama menitikberatkan pada hukum sebagai hasil persaingan kekuatan-kekuatan social, sebagai hasil dari factor-faktor kekuasaan. Hukum juga merupakan salah satu diantara sekian banyak “alat politik” yang dapat digunakan untuk mewujudkan kebijakan penguasa dan Negara. Tidak semua bagian hukum positif mempunyai hubungan yang erat dengan ilmu poltik, misalnya: hukum public dan hukum Negara adalah yang paling erat hubungannya, sedang hukum perdata atau hukum dagang relative kecil hubungannya.

3.      Hubungan Ilmu Politik dengan Sosiaologi
Menurut Giddings, sarjana-sarjana ilmu politik harus menlengkapi dirinya dengan pengetahuan dasar sosiologi, karena sosiologi sebagai ilmu masyarakat dengan hasil-hasil penyelidikannya, menyebabkan ilmu politik tidak perlu lagi mengadakan penyelidikan yang telah dihasilkan oleh sosiaologi tersebut. Sosiologi meliputi berbagai cabang pengetahuan antara lain sosiaologi tentang kejahatan, sosiologi pendidikan, sosiologi agama, sosiologi politik dan sebagainya. Terutama sosiologi politik, sangat erat hubungannya dengan ilmu politik, sebab sosiologi politik bagian dari sosiologi yang menganalisis proses-proses yang menitik beratkan pada dinamika tingkahlaku politik. Sebagaimana tingkahlaku itu dipengaruhi oleh berbagai proses spsoal, seperti kerjasama, persaingan, konflik dsb. Hal-hal tersebut juga dianalisis oleh ilmu politik.
4.      Hubungan Ilmu Politik dengan Psikologi Sosial.
Psikologi berasal dari bahasa Yunani “psycos” yang berarti jiwa dan “logos” yang berarti ilmu, jadi ilmu yang mempelajari tentang jiwa manusia. Proses pendekatan ilmu politik banyak memakai hukum-hukum dan dalil-dalil psikologi dalam menjelaskan gejala-gejala politik dan penyelidikan tentang motif-motif yang menjadi dasar setiap proses politik. Sarjana psikologi mengembangkan pendapat-pendapat mereka tentang naluri, emosi, dan kebiasaan individu atau “psyche” seseprang. Pengetahuan “psyche” seseorang dapat menjelaskan seluruh tingkah laku dan sikal orang itu. Dalam penyelidikan pendapat umum, propaganda, parpol, masalah kepemimpinan dan revolusi amat banyak dipergunakan hukum-hukum dan dalil-dalil psikologi itu. Jika dahulu psikologi agak diabaikan dalam penyelidikan ilmu politik, dewasa ini keadaan itu berubah. Pengetahuan psikologi diperlukan dimanapun dan kapanpun diadakan penyelidikan politik secara ilmiah. Menurut Lasswell, di AS kini ilmu politik sedang mengalami peninjauan kembali atas metode serta peristilahannya. Peninjauan kembali ini terutama disebabkan oleh pengalaman dalam pelaksanaan prosedur-prosedur psikologis dalam penyelidikan ilmu politik. Menurut Lasswell, psikologi akan memainkan perannya yang lebih besar lagi di masa depan, karena bertambah intensifnya perjuangan untuk mempertahankan dan memperoleh kebebasan individu.
5.      Hubungan Ilmu Politik dengan Antropologi Budaya.
Antropologi budaya menyelidiki aspek-aspek cultural dari setiap hidup bersama dimasa lampau dan masa kini. Sebagai ilmu yang mempelajari kebudayaan masyarakat, maka hasil-hasil penyelidikan antropologi dapat bermanfaat bagi ilmu politik. Terutama hasil-hasil penyelidikan kebudayaan dimasa lampau yang meliputi semua aspek cultural masyarakat, termasuk ide-ide dan lembaga-lembaga politiknya, dapat dijelaskan kepada sarjana-sarjana ilmu politik menjadi timbul suatu pertumbuhan dan perkembangan ide-ide dan lembaga-lembaga politik itu salah satu konsep antropologi budaya yang merupakan penemuan yang penting adalah “konsep kebudayaan” (culture concept) sebagaimana dikembangkan oleh Ralph Tipton dan sarjana-sarjana antropologi lainnya. Konsep ini menyatakan eratnya hubungan antara kebudayaan sesuatu masyarakat dengan kepribadian individu-individu dari masyarakat itu, antara kebudayaan dengan lembaga-lembaga dan ide-ide terdapat yang terdapat dalam masyarakat itu. Kebudayaan memberikan corak dan ragam pada lembaga-lembaga dan ide-ide dalam masyarakat itu.
6.      Hubungan Ilmu Politik dengan Sejarah.
Sejarah adalah deskriptif kronologis peristiwa dari zaman silam. Sejarah merupakan penghimpunan kejadian-kejadian konkret di masa lalu. Ilmu politik tak terbatas pada apa yang terdapat dalam sejarah. Mengetahui sejarah politik suatu Negara belum memberikan gambaran yang tepat tentang keadaan politik negera itu di masa lampau dan masa yang akan datang. Sejarah hanya menvatat apa yang pernah terjadi, sedang ilmu politik disamping menyelidiki apa yang pernah terjadi, juga apa yang kini sedang berlangsung dan mengadakan ramalan hari depan suatu masyarakat, ditinjau dari segi politik. Politik membutuhkan sejarah dan hamper semua peristiwa histories adalah peristiwa politik. Ilmu politik memperkaya materinya dengan peristiwa sejarah, mengadakan perbandigan dari buku-buku sejarah. Sejarah merupakan gudang data bagi ilmu politik.
7.      Hubungan Ilmu Politik dengan Geografi.
Segala penyelidikan atas kehidupan manusia tidak akan bermanfaat dan tidak akan sempurna jika penyelidikan itu tidak meliputi keadaan geografi. Dengan kata lain kehidupan manusia akan dipengaruhi oleh letak geografi, luas wilayah, kekayaan alam, iklim dsb. Misalnya letak geografis menentukan apakan suatu Negara akan menjadi Negara “land power” atau “sea power” demikian juga letak suatu Negara akan mempengaruhi dalam diplomasi dan strategi perang. Dalam hal ini, terdapat cabang geografi, yaitu geopolitik yang memberikan penafsiran geografis atas hubungan-hubungan internasional. Geopolitik berusaha melukiskan hubungan yang erat antara factor-faktor geografis dan peristiwa-peristiwa politik. Bagi sarjana-sarjana Jerman seperti Haushofer, kekalahan Jerman dalam PD I terutama disebabkan oleh apa yang mereka sebut dengan “kekalahan geografis” peristiwa tersebut menunjukkan betapa eratnya hubungan ilmu politik dengan geografi.
8.      Hubungan Ilmu Politik dengan Etika.
Etika adalah pengetahuan tentang hal-hal yang baik dan buruk, tentang keharusan dan hal-hal yang wajib dibiarkan. Hubungan ilmu politik dan etika dilukiskan sebagai suatu hubungan yang membatasi ilmu politik, terutama praktek politik. Etika mengatakan apa yang harus dilakukan, tetapi disamping itu juga menetapkan batas-batas dari apa yang wajib dibiarkan. Etika memberikan dasar moral kepada politik. Apabila menhilangkan moral dari politik, maka akan kita dapatkan politik yang berisfat “Machiavelistis” yaitu politk sebagai alat untuk melakukan segala sesuatu, baik atau buruk tanpa mengindahkan kesusilaan. Hanya dengan jalan menjadikan kesusilaan sebagai dasar politik, dapat diharapkan akan adanya politik yang mengindahkan aturan-aturan permainan, apa yang harus dilakukan dan apa yang wajib dibairkan.



BAB 2
Konsep Dasar Politik
A.    Konsep Dasar Politik
Menurut Aristoteles, selama manusia menjadi makhluk sosial (zoon politikon), selama itu pula ditemukan politik. Ini berarti dalam kehidupan bersama, manusia memiliki hubungan yang khusus yang diwarnai oleh adanya aturan yang mengatur. Ada kekuasaan dan wewenang yang dipegang oleh segelintir orang yang sekaligus melahirkan aturan serta aturan mana yang perlu dipelihara dan tidak, kemudian menentukan apakah seseorang mengikuti aturan atau tidak, serta menentukan sanksi serta ganjaran bagi yang mengikuti dan melanggar aturan tersebut.
Secara etimologis, politik berasal dari bahasa Yunani yaitu “polis” yang berarti kota. Orang yang mendiami polis disebut “polites” atau warga negara, sementara kata “politikos” berarti kewarganegaraan. Lalu muncul istilah “politike techne”  yang berarti kemahiran politik.  “Ars politica” yang berarti kemahiran tentang soal kenegaraan. “Politike epitesme” berarti ilmu politik, istilah yang saat ini banyak  digunakan.
Politik memiliki banyak definisi tergantung sudut pandang si pembuat definisi. Miriam Budiardjo (1993)  mendefinisikan politik sebagai berbagai macam kegiatan yang terjadi di suatu negara, yang menyangkut proses menentukan tujuan dan bagimana cara mencapai tujuan itu. Sementara itu, Hoogerwerf, mendefinisikan politik sebagai pertarungan kekuasaan. Hans Morgenthau juga mendefinisikan politik sebagai usaha mencari kekuasaan (struggle power). Sementara David Easton mengartikan politik sebagai semua aktivitas yang mempengaruhi kebijaksanaan dan cara bagaimana kebijaksanaan itu dilaksanakan.
Dengan demikian, mengikuti Miriam Budiardjo, sesungguhnya politik itu memiliki beberapa konsep pokok. Beberapa konsep pokok politik tersebut adalah : politik berkaitan dengan negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijaksanaan umum (public policy), pembagian (distribution) dan alokasi (alocation). Roger F.  Soltou mengatakan ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari negara, tujuan negara dan lembaga-lembaga yang akan melaksanakan tujuan itu, hubungan antara negara dengan warganegara, hubungan antara negara dengan negara lain.
1.      Kekuasaan
Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi tingkah laku orang lain atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari si pemilik pengaruh.  Harold D. Lasswel dan A. Kaplan mengatakan ilmu politik mempelajari pembentukan dan pembagian kekuasaan.  Sementara W. A Robson mengatakan politik sebagai ilmu yang mempelajari kekuasaan dalam masyarakat yaitu hakikat, dasar, proses, ruang lingkup dan hasil-hasilnya. Fokus utamanya adalah tertuju pada perjuangan untuk mencapai dan mempertahankan kekuasaan, melaksanakan kekuasaan atau pengaruh atas orang lain atau menentang pelaksanaan kekuasaan itu.
2.      Negara
Negara adalah alat (agency) dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan‑hubungan manusia dalam masyarakat dan menertibkan gejala‑gejala kekuasaan dalam masyarakat. Dengan demikian negara dapat memaksakan kekuasaanya secara sah terhadap semua golongan masyarakat untuk menetapkan dan melaksanakan tujuan‑tujuan bersama. Oleh karena itu negara mempunyai dua tugas pokok, pertama; mengendalikan dan mengatur gejala kekuasaan yang a‑sosial, yaitu bertentangan satu sama lain agar tidak menjadi antagonisme membahayakan dan kedua; mengorganisir dan mengintegrasikan kegiatan manusia dan golongan -­ golongan ke arah tercapainya tujuan seluruh masyarakat.
Negara sebagai organisasi pokok dari kekuasaan politik yang bertugas untuk menetapkan dan mencapai tujuan bersama,  memberikan pengertian bahwa negara dibentuk oleh beberapa unsur. Unsur‑unsur negara dapat diperinci,  sebagai berikut :
  1. Penduduk, yaitu semua orang yang berdomisili di suatu wilayah dan menyatakan diri ingin bersatu. Faktor penduduk yang perlu diperhatikan antara lain jumlah, karakteristik homogenitas dan masalah nasionalisme.
  2. Pemerintah, yaitu batas teritorial dari kekuasaan negara atas daratan, lautan dan udara di atasnya. Batas wilayah ini sering dijadikan ukuran dari besar kecilnya suatu negara dan kegiatan ekonomi yang dapat dilakukan.
  3. Pemerintah, merupakan organisasi utama yang bertindak menyelenggarakan kekuasaan negara fungsi‑fungsi, dan kebijakan mencapai tujuan negara. Kekuasaan pemerintah pada mumnya dibagi menjadi kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif.
  4. Kedaulatan, merupakan kekuasaan tertinggi untak membuat undang­-undang dan melaksanakan dengan semua cara yang tersedia, termasuk dengan paksaan (internal sovereignty). Di samping itu kedaulatan juga diartikan kewajiban mempertahankan kemerdekaan atas serangan dari negara lain atau kemerdekaan dari dominasi negara lain secara otonom dan independen (external sovereignty).
Negara sebagai asosiasi manusia yang hidup dan bekerjasama untuk mengejar tujuan bersama. Oleh karena itu tujuan negara menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya atau menurut Harold J Laski, menciptakan keadaan dimana rakyatnya dapat mencapai keinginan‑keinginan secara maksimal. Tujuan negara Indonesia sebagai tercantum dalam Pembukaan Undang‑Undang Dasar 1945 adalah: ”Untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial” dengan berdasarkan kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusian yang Adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Tujuan suatu negara sangat tergantung dari ideologi yang dianut yang kemudian diterjemahkan ke dalam fungsi‑fungsi negara. Namun terlepas dari ideologinya,  maka negara harus menjalankan fungsi‑fungsi sebagai berikut :
1.      Fungsi  pengaturan dan ketertiban (law and order), yaitu negara harus bertindak sebagai stabilisator mencegah bentrokan‑ bentrokan kepentingan dalam masyarakat.
2.      Fungsi kesejahteraan dan kemakmuran.
3.      Fungsi pertahanan dan keamanan, terutama untuk menjaga kedaulatan dan memberikan ketenangan masyarakat.
4.      Fungsi keadilan yang dilaksanakan melalui badan peradilan.
Dalam melaksanakan fungsi‑fungsi negara sangat tergantung pada partisipasi politik warga negara dan mobilisasi sumber daya kekuatan negara. Namun demikian secara rinci faktor‑faktor yang mendukung terlaksananya fungsi‑fungsi negara adalah sebagai berikut :
  1. Sumber daya manusia, yaitu jumlah penduduk tingkat pendidikan, nilai budaya, dan kondisi kesehatan masyarakat.
  2. Teritorial negara, yang mencakup luas wilayah negara (darat, laut dan udara), letak geografis, dan situasi negara tetangga.
  3. Sumber daya alam, yaitu kondisi alam material bumi, berupa kandungan mineral, kesuburan tanah, kekayaan laut dan hutan.
  4. Kapasitas pertanian dan industri, tingkat budaya, usaha warga negara dalam, bidang pertanian, industri dan perdagangan, dan perkembangan tehnologi.
  5. Kekuatan militer dan mobilitasnya, yaitu kapasitas kekuatan yang mampu diterapkan untuk mewujudkan kekuasaan dalam mencapai tujuan negara.
  6. Elemen kekuatan yang tidak nyata, yaitu segala faktor yang mendukung tegaknya kedaulatan negara, berupa kepribadian dan kepemimpinan, efisiensi birokrasi, persatuan bangsa, dukungan internasional, reputasi bangsa, dsb. 
3.      Sistem Politik
Sistem politik dapat diartikan sebagai suatu mekanisme dari seperangkat fungsi atau peranan dalam struktur-struktur politik dalam hubunganya satu dengan lainnya yang menunjukkan suatu proses yang ajeg. Proses dimaksudkan mengandung segi‑segi waktu (masa lampau, masa kini, masa mendatang). Sedangkan struktur adalah aktivitas­-aktivitas yang dapat diidentifikasikan yang menentukan suatu sistem.
Dalam pengertian yang lebih umum sistem politik merupakan semua proses dan tindakan yang berkaitan dengan pembuatan keputusan yang mengikat masyarakat. Oleh karena itu suatu sistem politik mempunyai ciri‑ciri sebagai berikut :
1.      Ciri‑ciri identifikasi, yaitu dasar‑dasar yang berwujud tindakan‑tindakan politik yang membentuk peranan politik.
2.      Input dan Output. Input merupakan bahan mentah atau informasi yang akan diproses dalam suatu sistem untuk menghasilkan output. Output dalam sistem politik adalah suatu keputusan politik yang sah.
3.      Diferensial dalam suatu sistem. Lingkungan mempunyai peran dalam memberikan energi untuk mengaktifkan suatu sistem serta memberikan informasi tentang penggunaan energi.
4.      Integrasi dalam suatu sistem. Adanya diferensiasi mengatur kekuatan sistem selalu berubah dan dapat merusak integrasi. Oleh karena itu suatu sistem haras memiliki mekanisme yang bisa mengintegrasikan atau memaksa anggotanya untuk bekerja sama.
Sistem politik merupakan suatu organisasi dimana masyarakat dapat merumuskan dan berusaha mencapai tujuan‑tujuan bersama. Oleh karena itu dalam menjalankan kegiatannya, sistem politik mempunyai lembaga‑lembaga seperti parlemen, birokrasi, badan peradilan, dan partai politik yang menjalankan fungsi tertentu, sehingga sistem tersebut dapat merumuskan dan melaksanakan kebijakan.
Dalam menjalankan fungsinya sistem politik dikelilingi oleh lingkungan domestik dan lingkungan internasional yang dapat mempengaruhi proses perumusan kebijakan. Peran lingkungan dalam sistem politik adalah sebagai input politik dalam perumusan kebijakan, yaitu suatu bahan mentah atau informasi yang harus diproses dalam sistem. Input politik secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi input yang berisi tuntutan dan input politik yang berisi dukungan.
Input tuntutan muncul karena dipengaruhi fakor internal dan ekstemal. Sistem ekologi ekonomi, kebudayaan, struktur sosial, demografi, merupakan faktor yang mempengaruhi pembentukan jenis tuntutan yang masuk ke dalam sistem. jika tuntutan ini beruhah menjadi isu‑isu politik yang memperoleh dukungan secara luas, maka tuntutan tersebut akan diproses menjadi keputusan politik yang akan menjadi sumber perubahan dalam sistem politik. Input dukungan dalam sistem politik dapat diwujudkan pada tindakan yang mendorong pencapaian tujuan dun terutama mengarah kepada tiga sasaran, yaitu Komunitas, Rezim dan Pemerintah.
            Secara umum sistem politik di dunia dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu Demokrasi dan Totaliterisme. Sistem Demokrasi mempunyai ciri, yaitu : pemerintahan sipil dimana setiap warga negara berhak untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik dan setiap keputusan politik harus dijustifikasikan secara publik. Adanya lembaga-lembaga perwakilan, sebagai wadah mengekpresikan aspirasi rakyat. Kebebasan politik, artinya negara menjamin kebebasan warga negara untuk berkumpul, berserikat dan menyampaikan pendapat.
Dalam  sistem totaliterisme, yaitu suatu sistem politik dimana negara melalui partai secara total mendominasi kehidupan individual,  yang mencakup aspek ekonomi, pendidikan, agama, bahkan dalam kehidupan keluarga. Ciri sistem Totaliterisme antara  lain : a) adanya Ideologi yang terperinci sebagai ajaran resmi, bagaimana masyarakat menjalankan kehidupan. b) adanya satu partai tunggal yang berfungsi menjalankan pemerintahan dan mengontrol kehidupan masyarakat, c) adanya sistem teror yang dijalankan oleh partai atau polisi rahasia. Kontrol pemerintah yang ketat terhadap sarana infomasi dan komunikasi, dan d) adanya kontrol melalui militer. Negara mengontrol seluruh kehidupan ekonomi.
Berdasarkan pendapat dari Edward Shils Almond dan Coleman J.W. Schoorl, tipe sistem politik di negara‑negara berkembang pada dasarnya terbagai menjadi lima tipe, yaitu :
  1. Demokrasi politik yaitu suatu sistem politik di mana kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif berfungsi dan memiliki kedudukan yang otonom. Kekuasaan legislatif dipilih secara periodik dalam pemilu yang bebas. Badan tersebut berfungsi mengontrol eksekutif.
  2. Demokrasi Terpimpin, yaitu suatu sistem politik yang mempunyai struktur formal sama dengan demokrasi politik, namun dalam prakteknya kekuasaan lebih terkonsentrasi pada eksekutif.
  3. Oligarki Pembangunan. Sistem ini digunakan karena perlunya melakukan modernisasi secara cepat tanpa menghilangkan pelaksanaan demokrasi. Oleh karena itu konsentrasi kekuasaan di tangan pemerintah merupakan syarat pembangunan dan persatuan. Sedangkan pengawasan berada di tangan militer atau rezim sipil yang didukung sejumlah elite. Parlemen tidak punya kekuasaan dan hanya sebagai persetujuan serta pemberi nasehat rencana peraturan.
  4. Oligarki totaliter. Sistem politik ini memusatkan kekuasaan pada sekelompok elite politik tertentu untuk mendominasi semua aspek kehidupan masyarakat. Sistem pemerintahan dijalankan berdasarkan ideologi yang dianut secara konsisten, yang sekaligus sebagai perekat persatuan dan perisai untuk menangkis gangguan dari luar. Partai merupakan lembaga penting sebagai sarana indoktrinasi dan mobilisasi penduduk.
  5. Oligarki tradisional, yaitu sistem politik dimana kekuasaan terpusat pada raja dan kelompok yang berkuasa berdasarkan tradisi. Parlemen mempunyai kekuasaan lemah. Jabatan‑jabatan dalam birokrasi didasarkan pertimbangan pribadi.
4.      Struktur Politik
Dalam pengertian umum struktur politik dapat diartikan sebagai pelembagaan hubungan organisasi antara elemen‑elemen yang membentuk suatu sistem politik. Struktur politik berkaitan dengan alokasi nilai-nilai yang bersifat otoritatif dipengaruhi oleh distribusi serta penggunaan kekuasaan. Kekuasaan itu sendiri harus diartikan sebagai kapasitas, kapabilitas, kemampuan untuk mempengaruhi, meyakinkan, mengendalikan, menguasai dan memerintah orang lain. Kapasitas dalam hal ini berhubungan erat dengan wewenang (autbority), hak (right), dan kekuatan fisik (force).
Struktur politik pada kenyataannya terdiri dari : unsur‑unsur yang bersifat informal, yaitu unsur di luar lembaga pemerintahan yang dapat mempengaruhi, menyalurkan, menterjemahkan, dan mengkonversikan tuntutan dan dukungan untuk dirumuskan kedalam keputusan politik. Kelompok ini terdiri dari; a) partai politik, yaitu kelompok masyarakat dengan keanggotaan terbuka yang memfokuskan kegiatannya pada seluruh spektrum negara atau politik, b) kelompok kepentingan, yaitu kelompok atau organisasi yang berusaha mempengaruhi kebijakan pemerintah untuk mempromosikan dan mempertahankan kepentingan tertentu dan c) elite politik, yaitu sejumlah tokoh politik yang mempunyai peran dalam semua fungsi politik dan mempunyai akses langsung terhadap kekuasaan. Alat komunikasi masa sebagai pembentuk opini publik.
Unsur-unsur yang bersifat formal, yaitu unsur yang berada di dalam pemerintahan yang sah untuk mengidentifikasikan masalah‑masalah, menentukan dan menjalankan keputusan‑keputusan yang mengikat masyarakat untuk mencapai kepentingan umum.  Kelompok ini terdiri dari: Badan legislatif, Badan eksekutif, Badan yudikatif dan Birokrasi.
Struktur politik pada dasarnya menjalankan tiga fungsi politik pokok yaitu Sosialisasi politik, Rekrutmen politik dan Komunikasi politik. Sosialisasi politik adalah proses dimana seorang individu dapat mengenali sistem politik yang kemudian dapat menentukan sikap dan persepsi‑persepsinya mengenai politik dan reaksinya terhadap gejala politik. Sosialisasi politik merupakan mata rantal penting antara sistem sosial dengan sistem politik. Rekrutmen politik merupakan proses dimana individu menjamin dan mendaftarkan diri untuk menduduki jabatan politik. Proses rekrutmen dapat bersifat formal dan informal.
Komunikasi politik dapat diartikan sebagai proses dimana informasi politik yang relevan dapat diteruskan dari satu bagian sistem politik kepada bagian lain, dan dintara sistem sosial dengan sistem politik. Komunikasi politik merupakan sarana tukar menukar infomasi antara anggota masyarakat dengan penguasa.
Dalam setiap sistem politik mempunyai fungsi politik yang harus dijalnkan agar sistem politik tetap berfungsi. Menurut Almond, fungsi politik terdiri dari fungsi input yaitu yang dilakukan infrastruktur politik meliputi; sosialisasi dan rekrutmen politik; agregasi kepentingan, artikulasi kepentingan dan komunikasi politik. Sementara dari fungsi output yang dilakukan oleh suprastruktur politik meliputi;  pembuatan peraturan (rule making); pelaksanaan peraturan (rule application) dan peradilan (rule adjudication).


5.      Proses Politik
Proses politik dapat dimulai dari mana saja, misalnya aktivitas dimulai dengan usulan masyarakat yang berupa input ke suprastruktur. Dalam menanggapi usulan ini, suprastruktur dapat memilih satu diantara beberapa pilihan  yaitu: memilih satu di antara masukan, mengonversikan semua masukan dan mencari alternatif lain. Setelah masukan diolah, suprastruktur melahirkan hasil atau output yang berupa kebijakan/peraturan/UU untuk kemudian didistribusikan kepada masyarakat. Dalam masyarakat, output tersebut akan ditanggapi. Tentunya ada masyarakat yang setuju dan ada yang tidak setuju dengan keputusan/kebijakan yang dibuat.
Jika masyarakat setuju, tentu akan membuat feed back berupa dukungan dan mungkin akan ada masukan berupa tuntutan yang lain. Akan tetapi bagi masyarakat yang tidak setuju, akan memberikan masukan berupa peningkatan tuntutan. Proses ini akan berlangsung terus. Jika kelompok yang tidak setuju selalu diabaikan, pada suatu ketika akan sampai pada apatisme dan tidak mau lagi memberikan masukan apapun. Jika ini terjadi, maka sangat berbahaya bagi kelangsungan sistem.
6.      Budaya Politik
Budaya politik merupakan aspek penting dan berpengaruh terhadap sistem politik. Budaya politik berkembang dan merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat. Kegiatan politik meliputi masalah legitimasi, pengaturan kekuasaan, proses pembuatan kebijakan pemerintah, kegiatan partai‑partai politik perilaku aparat negara, dan gejolak masyarakat terhadap kekuasaan. Dengan demikian budaya politik secara langsung mempengaruhi kehidupan nasional.
Budaya pada dasarnya merupakan perkembangan pemikiran dan akal budi manusia yang menghasilkan tata nilai. Oleh karena itu menurut Alan R. Ball, budaya politik dapat diartikan sebagai seperangkat sikap, keyakinan, simbol‑simbol, dan nilai­-nilai yang dimiliki masyarakat yang berhubungan dengan sistem politik dan isu‑isu politik. Dalam hal ini budaya politik terdiri dari sikap, keyakinan, dan tata nilai yang berlaku pada seluruh anggota masyarakat dan melekat pada kebiasaan hidup masyarakat.
Sedangkan Gabriel A. Almond dan G. Bingham Powell Jr. menyatakan, bahwa budaya Politik merupakan dimensi psikologi dari sistem politik yang bersumber dari perilaku lahiriah manusia berdasarkan penalaran‑penalaran yang sadar. Artinya budaya politik menjadi lingkungan psikologis bagi terselenggaranya dinamika politik dan terjadinya proses pembuatan kebijakan publik. Dalam hal ini budaya politik lebih mengedepankan pada aspek perilaku non-aktual, seperti orientasi, sikap, nilai, maupun keyakinan.
Berdasarkan beberapa konsep, budaya politik dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
1.      Budaya politik merupakan aspek politik dari nilai‑nilai yang terdiri atas pengetahuan, adat istiadat, tahayul atau mitos, yang dikenal dan diakui oleh sebagian besar masyarakat.
2.      Budaya politik dapat dilihat dari aspek doktrin yang menekankan pada materi, seperti sosialisme, demokrasi, atau nasionalisme dan dari aspek generik atau menekankan pada analisis bentuk, ciri‑ciri, dan peranan, seperti militan, terbuka, tertutup.
3.      Hakikat dan ciri budaya politik menyangkut masalah nilai-nilai, yaitu prinsip dasar yang melandasi suatu pandangan hidup yang berhubungan dengan suatu tujuan yang ingin dicapai.
4.      Bentuk budaya politik menyangkut sikap dan norma, yaitu sikap terbuka dan tertutup, dan tingkat militan seseorang terhadap orang lain dalam pergaulan masyarakat, pola kepemimpinan (konformitas atau mendorong inisiatif kebebasan, sikap terhadap mobilitas, (mempertahankan status quo atau mendorong mobilitas), prioritas kebijakan (menekankan ekonomi atau politik).
Dalam realitas politik, budaya politik memiliki beberapa bentuk Gabriel Almonddan Sidney Verba membedakan budaya politik berdasarkan sikap politik sebagai cerminan budaya politik, yaitu tentang dampak pemerintah terhadap kehidupan warga negara, kewajiban‑kewajiban warga negara terhadap pemerintah, dan harapan warga negara dari pemerintah. Dengan mengukur sikap politik, dapat dibedakan tiga bentuk budaya politik sebagai berikut :
1.      Budaya Politik Partisipan, yaitu budaya politik dimana warga negara mempunyai kesadaran tinggi dan membedakan perhatian terhadap sistem politik Warga negara memiliki keyakinan, bahwa mereka dapat mempengaruhi pengambilan kebijakan publik dan mereka memiliki protes, bila terdapat praktek pemerintahan yang tidak fair. Budaya politik ini pada umumnya terdapat pada masyarakat demokratik industrial yang dapat mendorong munculnya kompetisi partai politik.
2.      Budaya Politik Subyek, yaitu budaya politik dimana warga negara memiliki pemahaman dan perhatian terhadap sistem politik, namun memiliki keterlibatan secara pasif. Dalam budaya ini sulit untuk mengharapkan partisipasi politik warga negara dan tidak banyak menumbukan kontrol terhadap berjalannya, sistem politik. Budaya ini terdapat pada sistem otoriter, dimana walaupun ada partisipan politik namun sebagian besar rakyat hanya menjadi subyek yang pasif.
3.      Budaya Politik Parokialyaitu merupakan bentuk budaya politik yang paling rendah, dimana masyarakat tidak memiliki minat maupun kemampuan untuk berpartisipasi dalam politik. Dalam budaya ini ada kesulitan untuk membangun demokrasi, karena kompetensi dan keberdayaan politik yang tidak muncul. Budaya politik ini terdapat pada sistem demokratis pra‑industri.
7.      Elit Politik
Teori-teori klasik tentang eklit memberi tekanan pada sekelompok kecil yang mempunyai pengaruh besar datau kekuasaan politik besar dalam sebuah sistem politik.  Prinsip umum yang dijadikan pedoman dalam mengkaji konsep elit telah dikemukakan oleh Pareto, Mosca, dan Michels, antara lain :
1.      Kekuasaan politik. Gagasan Pareto tentang pemeringkatan orang berdasarkan pemilikan akan barang, yang berwujud kekayaan, kecakapan, atau kekuasaan politik merupakan hal yang menunjukan prinsip elit.
2.      Hakikatnya orang hanya dikelompokkan dalam dua kelompok, yaitu mereka yang memiliki kekuasaan politik penting dan yang tidak memiliki.
3.      Secara internal, elit bersifat homogen, bersatu dan memiliki kesadaran kelompok
4.      Elit mengatur sendiri kelangsungan hidupnya (self perpectuating) dan anggotanya berasal dari suatu lapisan masyarakat yang sangat terbatas.
5.      Kelompok elit pada hakikatnya bersifat otonom, kebal akan gugatan dari siapapun di luar kelompoknya mengenai keputusan yang dibuatnya.
Untuk mengkaji elit politik perlu diperhitungkan beberapa hal, yaitu; pertama, ruang lingkup kekuasaan. Dalam kaitan ini perlu dilihat jangkauan kekuasaan seseorang dalam pembuatan keputusan. Kedua; kualitas pengaruh, apakah mempunyai pengaruh langsung atau tidak langsung dan ketiga; reaksi dari aktor lain, yaitu  perlunya memperhitungkan reaksi dari  aktor-aktor lain, terutama kekuatan dari aktor lain.
8.      Stratifikasi Politik
Stratifikasi politik muncul karena ketidaksamaan kekuasaan yang dipunyai manusia. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: minat pada politik, pengetahuan dan pengalaman politik, kecakapan dan sumberdaya politik, partisipasi politik, kedudukan politik dan kekuasaan politik. Sebenarnya dalam sistem politik terdapat stratifikasi politik yang oleh Robert D. Putnam disusun dalam enam strata, yaitu:
Strata 1: Kelompok pembuat keputusan, yaitu orang-orang yang secara langsung terlibat dalam pembuatan kebijakan nasional
Strata 2: Kaum berpengaruh, yaitu individu-individu yang memiliki pengaruh tidak langsung atau implikasi yang kuat, biasa dimintakan nasehatnya, pendapatnya yang diperhitungkan oleh pembuat kebijakan.
Strata 3: Aktivis, yaitu warganegara yang mengambil bagian aktif dalam kehidupan politik  dan pemerintahan, meliputi anggota partai politik, birokrat tingkat menengah, editor surat kabar dan para penulis.
Stara 4: Publik peminat politik, yaitu orang-orang yang menganggap politik sebagai tontonan yang menarik. Biasanya terdiri dari orang-orang yang attentive public, yang memiliki banyak informasi, membentuk pendapatnya sendiri, memiliki wawasan luas dan  dapat mendiskusikannya dengan baik jalan permainan, walaupun jarang langsung terjun dalam praktik.
Strata 5: Kaum pemilih, adalah warga negara yang biasa dan hanya dapat mempengaruhi kehidupan politik nasional saat diselenggarakan pemilu.
Strata 6: Nonpartisipan, yaitu orang-orang yang hanya menjadi objek politik, bukannya aktor. Secara politik tidak punya kekuatan sama sekali, dan biasanya menghindari kehidupan politik atau menjadi terasing dari kehidupan politik.
9.      Pembangunan Politik
Pembangunan Politik berkaitan dengan semakin meningkatnya partisipasi politik rakyat, oleh karena itu Samuel P. Huntington mengemukakan lima model pembangunan politik, yaitu :
-       Model Liberal, yaitu pembangunan dan modernisasi yang diasumsikan dapat meningkatkan kekayaan masyarakat.
-       Model Pembangunan Bourgeois, adalah pembangunan politik yang memperhitungkan kepentingan politik bagi munculnya kelas menengah baru yang menjadi pusat kekuatan bagi tumbuhnya ekonomi.
-       Model Pembangunan Autokratikmernpakan model pembangunan politik dimana pemerintah menggunakan kekuatan negara untuk menekan partisipasi kelas menengah dan mengamankan dukungan kelas bawah.
-       Model Teknokratik, merupakan pembangunan politik yang bercirikan tingkat partisipasi politik yang rendah, tetapi tingkat investasi asing tinggi, dimana tingkat partisipasi ditekan agar pertumbuhan ekonomi tinggi.
-       Model Populismodel ini menekankan pada partisipasi politik yang tinggi dan adanya pemerataan ekonomi, walaupun bersamaan dengan pertumbuhan ekonomi yang rendah.
B.     Teori politik
memiliki dua makna: makna pertama menunjuk teori sebagai pemikiran spekulatif tentang bentuk dan tata cara pengaturan masyarakat yang ideal, makna kedua menunjuk pada kajian sistematis tentang segala kegiatan dalam masyarakat untuk hidup dalam kebersamaan. Contoh teori politik yang merupakan pemikiran spekulatif adalah teori politik Marxis-Leninis atau komunisme, contoh lain adalah teori politik yang berdasar pada pemikiran Adam Smith kapitalisme. Pemikiran Tan Malaka dalam tulisannya Madilog, merupakan contoh teori politik Indonesia. Nasakom yang diajukan Soekarno merupakan contoh lain.
Sedangkan teori politik sebagai hasil kajian empirik bisa dicontohkan dengan teoristruktural - fungsional yang diajukan oleh Talcot Parson (seorang sosiolog), antara lain diturunkan kedalam teori politik menjadi Civic Culture. Konsep sistem politik sendiri merupakan ciptaan para akademisi yang mengkaji kehidupan politik (sesungguhnya diturunkan dari konsep sistem sosial).
BAB 3
PENDEKATAN DALAM ILMU POLITIK
A.    Pengertian Pendekatan Ilmu Politik.
Menurut Vernon dan Dyke bahwa: Pendekatan (approach) adalah kriteria untuk menyeleksi masalah dan data yang relevan.  Di bawah ini dijelaskan secara singkat mengenai berbagai macam pendekatan yang digunakan dalam ilmu politik:
B.     Beberapa pendekatan dalam ilmu politik
1.      Pendekatan Legal/Institusional/Tradisional
Menurut Vernon dan Dyke bahwa: Pendekatan (approach) adalah kriteria untuk menyeleksi masalah dan data yang relevan.  Di bawah ini dijelaskan secara singkat mengenai berbagai macam pendekatan yang digunakan dalam ilmu politik:
1.      Pendekatan Legal/Institusional/Tradisional
Negara sebagai fokus utamanya, terutama dalam hal yuridis dan konstitusional.  Sehingga pendekatan ini juga disebut sebagai pendekatan legal atau legal-institusional. Pendekatan ini lebih bersifat statis dan deskriftif dibandingkan analitis.   Serta bersifat normatif dengan mengasumsikan norma-norma demokrasi barat.
Beberapa kelemahan Pendekatan Tradisional, antara lain:
1.      Kurang berpeluang dalam pembentukan teori-teori baru.
2.      Kurang memperhatiakan organisasi atau kelompok yang kurang formal seperti kelompok kepentingan dan media massa.
3.      Pembahasan kurang analitis karena lebih bersifat deskriptif.
4.       Lebih bersifat normatif, karena fakta dan norma kurang mampu dibedakan.
5.      Terlalu cenderung mendesak kekuasaan dimana kedudukan sebagai satu-satunya faktor penentu, sehingga hanya menjadi salah satu dari sekian banyak faktor penting yang ada dalam memutuskan sesuatu.
2.      Pendekatan Prilaku (Behavioral Approach)
Sebab munculnya pendekatan ini antara lain: Pertama, sikap deskriptif yang dalam  ilmu politik kurang memuaskan karena tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi sehari-hari.  Kedua, adanya rasa khawatir bahwa ilmu poltik tidak akan berkembang pesat dan tertinggal oleh ilmu-ilmu lain.  Ketiga, munculnya keraguan dikalangan pemerintah Amerika terhadap kemampuan sarjana ilmu politik untuk menerangkan fenomena politik.
            Salah satu pemikiran pokok dari pelopor-pelopor pendekatan perilaku bahwa tidak ada gunanya membahas lembaga-lembaga formal karena bahasan itu tidak banyak memberi informasi mengenai proses politik sebenarnya. Sebaliknya, lebih bermanfaat bagi mempelajari manusia itu sendiri serta perilaku politiknya, sebagai gejala yang benar-benar dapat diamati.
a.      Ciri-Ciri Pendekatan Tingkah Laku (Behavioral Approach):
1.      Pendekatan ini cenderung bersifat Interdisipliner, maksudnya tidak hanya menekankan pada kepentingan pribadi, tapi juga sosial, ekonomi dan budaya.
2.      Memiliki ciri khas yang revolusioner berupa orientasi kuat untuk mengilmiahkan ilmu politik.  Orientasi ini berkaitan dengan beberapa konsep pokok, oleh David Easton (1962) dan Albert Somit (1967), telah dikemukakan sebagai berikut:
-        Perlakuan dalam politik menampilkan suatu keteraturan (regularities).
-        Harus adanya suatu usaha untuk membedakan secara jelas antara norma dan fakta.
-        Setiap analisis harus bebas dari nilai (value-free) dan bebas dari nilai pribadi peneliti.
-        Penelitian  harus sistematis serta menuju kearah pembentukan teori (theory building).
-        Ilmu politik harus bersifat murni (pure science);
-        Generalisasi-generalisasi harus dapat dibuktikan keabsahan atau kebenarannya (verification).
3.      Adanya pandangan bahwa masyarakat dapat dilihat sebagai  suatu sistem sosial dan negara adalah suatu sistem politik yang menjadi subsistem dari sistem sosial.  Masing-masing saling berinteraksi dan bekerjasama untuk menunjang terselengaranya sistem tersebut.
Dijelaskan pula dua fungsi yang diselenggarakan oleh sistem politik.
-        Fungsi input sebagaimana dikemukakan oleh Almond berupa kapasitas (capacity function), fungsi konversi dan pemeliharaan (conversion and maintenance function), dan fungsi adapsi (adapsi function).  Sedangkan komunikasi dianggap sebagai cara untuk menyampaikan fungsi-fungsi tersebut.
-        Fungsi output, yaitu membuat peraturan (rule-making), mengaplikasikan peraturan (rule-application), dan memutuskan (secara hukum) peraturan (rule-adjudication).
b.      Kritik terhadap Pendekatan Perilaku
1.      Pendekatan ini terlalu steriil karena menolak masuknya nilai-nilai dan norma dalam penelitian.  (Eric Voegelin, Leo Strauss, dan John Hallowel).
2.      Mereka yang berada dibalik pendekatan prilaku tidak berusaha mencari jawaban atas pertanyaan yang mengandung nilai.
3.      Pendekatan prilaku tidak mempunyai relevansi dengan permasalahan politik yang ada sehingga lebih sering memusatkan permasalahan yang kurang penting.
4.       Pendekatan prilaku kurang peduli terhadap masalah-masalah penting yang tengah terjadi di masyarakat.
5.      Pendekatan perilaku telah membawa efek yang kurang menguntungkan, yakni mendorongpara ahli menekuni masalah-masalah yang kurang penting seperti pemilihan umum (voting studies) dan riset berdasarkan survey.(1960-an).
3.      Pendekatan Neo-Marxis
Hal yang menjadi fokus utama adalah kekuasaan serta konflik yang terjadi dalam negara. Menurut kalangan Neo-Marxis konflik antarkelas adalah proses yang sangat penting guna mendorong sebuah perubahaan dalam masyarakat.
Kritik Terhadap Pendekatan Neo-Marxis
1.      Banyak golongan Neo-Marxis adalah yang mempelajari Marx dimana keadaan dunia telah berubah.  Sehingga banyak masalah yang dianggap masalah pokok, hanya disinggung sepintas dan selebihnya tidak diperhatikan sama sekali.
2.      Para Neo-Marxis cenderung mengecam pemikiran para sarjana “borjuis” dibandingkan dengan membangun teori baru yang lebih mantap.
4.      Teori Ketergantungan (Dependency Theory)
Berpendapat bahwa imperialisme masih berlangsung sampai sekarang dengan sebuah dominasi ekonomi yang dilakukan oleh negara kaya terhadap negara yang kurang maju (underdeveloped). Dominasi ekonomi ini terlihat di mana pembangunan yang dilakukan Negara Dunia Ketiga selalu berkaitan dengan pihak Barat. Solusi yang dapat digunakan untuk menyelasikan masalah dominasi tersebut.  Pertama, penyelesaian masalah tersebut hanyalah melalui revolusi sosial secara global (Andre Gundar Frank, 1960-an).  Kedua, pembangunan independen mutlak terjadi, sehingga revolusi tidak mutlak terjadi (Henrique Cradoso, 1979).
5.      Pendekatan Pilihan Rasional (Rational Choice)
Inti dari Rational Choice ini adalah optimalisasi kepentingan dan efesiensi.  Aplikasi teori ini sangat kompleks karena menerapkan metode-metode ekonomi dalam kegiatan politik. Subtansi dasar mengenai doktrin Rational Choice ini telah dirumuskan oleh James B. Rule, sebagai berikut:
1.      Tindakan manusia (human action) pada dasarnya adalah “instrument”, agar prilaku manusia dapat dijelaskan sebagai usaha mencapai suatu tujuan yang sedikit banyak mempengaruhi apa yang diinginkannya.
2.      Para aktor merumuskan perilakunya melalui perhitungan rasional mengenai tindakan mana yang akan dipilih untuk memaksimalkan keuntungannya.
3.      Proses sosial berskala besar termasuk hal-hal seperti ratings, institusi dan praktik merupakan kalkulasi dari. Mungkin akibat dari pilihan kedua, atau pilihan N perlu dilacak.
Kritik Terhadap Pendekatan Rational Choice
1.      Pendekatan ini dianggap tidak memperhatikan kenyataan sekitar bahwa terkadang manusia dalam prilaku politiknya tidak rasional.  Karena dipengaruhi struktur budaya, agama, sejarah dan moralitas.  (para penganutstructural-functionalism)
2.      Pendekatan ini terlalu individualistic dan materialistic.
3.      Anggapan bahwa seharusnya pendekatan ini sebaiknya dianggap sebagai teori khusus (dalam situasi dan manusia tertentu), bukan yang berlaku umum.
6.      Pendekatan Institusionalisme Baru (New Institutionalism)
Perhatian utama lebih tertuju pada analisis ekonomi, kebijakan fiskal, moneter, dsb.  Pendekatan ini memandang bahwa negara dapat diperbaiki ke arah dan tujuan tertentu.  Pendekatan Institusional Baru juga dipicu oleh pendekatan behavioralis dan sangat penting bagi negara-negara yang ingin lepas dari rezim otoriter dan represif.
Robert E. Goden merumuskan Inti dari Institusionalisme Baru, sebagai berikut:
1.      Anggota dan kelompok melaksanakan proyeknya sesuai dengan konteks dan dibatasi secara kolektif.
2.      Pembatasan itu terdiri dari  institusi-institusi, yaitu a) pola norma dan pola peran yang telah berkembang dalam kehidupan sosial dan b) perilaku dari mereka yang memgang peran itu.
3.      Pembatasan ini pada dasarnya memberi keuntungan bagi individu dan kelompok dalam mengejar tujuan masing-masing.
4.      Hal itu disebabkan karena faktor yang membatasi kegiatan individu dan kelompok, juga mempengaruhi pembentukan prefensi dan motivasi dari indivdu dan kelompok itu sendiri.
5.      Pembatasan-pembatasan ini mempunyai akar historis, sebagai tindakan dan pilihan masa lalu. Pembatasan ini mewujudkan, memelihara dan memberi peluang serta kekuatan yang berbeda kepada individu dan kelompok masing-masing
7.      Pendekatan Institusional
Pendekatan filsafat politik menekankan pada ide-ide dasar seputar dari mana kekuasaan berasal, bagaimana kekuasaan dijalankan, serta untuk apa kekuasaan diselenggarakan. Pendekatan institusional menekankan pada penciptaan lembaga-lembaga untuk mengaplikasikan ide-ide ke alam kenyataan. Kekuasaan (asal-usul, pemegang, dan cara penyelenggaraannya) dimuat dalam konstitusi. Obyek konstitusi adalah menyediakan UUD bagi setiap rezim pemerintahan. Konstitusi menetapkan kerangka filosofis dan organisasi, membagi tanggung jawab para penyelenggara negara, bagaimana membuat dan melaksanakan kebijaksanaan umum. Dalam konstitusi dikemukakan apakah negara berbentuk federal atau kesatuan, sistem pemerintahannya berjenis parlementer atau presidensil. Negara federal adalah negara di mana otoritas dan kekuasaan pemeritah pusat dibagi ke dalam beberapa negara bagian. Negara kesatuan adalah negara di mana otoritas dan kekuasaan pemerintah pusat disentralisir.
Badan pembuat UU (legislatif) berfungsi mengawasi penyelenggaraan negara oleh eksekutif. Anggota badan ini berasal dari anggota partai yang dipilih rakyat lewat pemilihan umum. Badan eksekutif sistem pemerintahan parlementer dikepalai Perdana menteri, sementara di sistem presidensil oleh presiden. Para menteri di sistem parlementer dipilih perdana menteri dari keanggotaan legislatif, sementara di sistem presidensil dipilih secara prerogatif oleh presiden. Badan Yudikatif melakukan pengawasan atas kinerja seluruh lembaga negara (legislatif maupun eksekutif). Lembaga ini melakukan penafsiran atas konstitusi jika terjadi persengketaan antara legislatif versus eksekutif. 
Lembaga asal-muasal pemerintahan adalah partai politik. Partai politik menghubungkan antara kepentingan masyarakat umum dengan pemerintah via pemilihan umum. Di samping partai, terdapat kelompok kepentingan, yaitu kelompok yang mampu mempengaruhi keputusan politik tanpa ikut ambil bagian dalam sistem pemerintahan. Terdapat juga kelompok penekan, yaitu suatu kelompok yang secara khusus dibentuk untuk mempengaruhi pembuatan kebijaksanaan umum di tingkat parlemen. Dalam menjalankan fungsinya, eksekutif ditopang oleh (administrasi negara). Ia terdiri atas birokrasi-birokrasi sipil yang fungsinya elakukan pelayanan publik.
8.      Pendekatan Plural
Pendekatan ini memandang bahwa masyarakat terdiri atas beraneka ragam kelompok. Penekanan pendekatan pluralisme adalah pada interaksi antar kelompok tersebut. C. Wright Mills pada tahun 1961 menyatakan bahwa interaksi kekuasaan antar kelompok tersusun secara piramidal. Robert A. Dahl sebaliknya, pada tahun 1963 menyatakan bahwa kekuasaan antar kelompok relatif tersebar, bukan piramidal. Peneliti lain, yaitu Floyd Huter menyatakan bahwa karakteristik hubungan antar kelompok bercorak top-down (mirip seperti Mills).
9.      Pendekatan Struktural
Penekanan utama pendekatan ini adalah pada anggapan bahwa fungsi-fungsi yang ada di sebuah negara ditentukan oleh struktur-struktur yang ada di tengah masyarakat, buka oleh mereka yang duduk di posisi lembaga-lembaga politik. Misalnya, pada zaman kekuasaan Mataram (Islam), memang jabatan raja dan bawahan dipegang oleh pribumi (Jawa). Namun, struktur masyarakat saat itu tersusun secara piramidal yaitu Belanda dan Eropa di posisi tertinggi, kaum asing lain (Cina, Arab, India) di posisi tengah, sementara bangsa pribumi di posisi bawah. Dengan demikian, meskipun kerajaan secara formal diduduki pribumi, tetapi kekuasaan dipegang oleh struktur teratas, yaitu Belanda (Eropa).
Contoh lain dari strukturalisme adalah kerajaa Inggris. Dalam analisa Marx, kekuasaan yang sesungguhnya di Inggris ukan dipegang oleh ratu atau kaum bangsawasan, melainkan kaum kapitalis yang 'mendadak' kaya akibat revolusi industri. Kelas kapitalis inilah (yang menguasai perekonomian negara) sebagai struktur masyarakat yang benar-benar menguasai negara. Negara, bagi Marx, hanya alat dari struktur kelas ini.
10.  Pendekatan Developmental
Pendekatan ini mulai populer saat muncul negara-negara baru pasca perang dunia II. Pendekatan ini menekankan pada aspek pembangunan ekonomi serta politik yang dilakukan oleh negara-negara baru tersebut. Karya klasik pendekatan ini diwakili oleh Daniel Lerner melalui kajiannya di sebuah desa di Turki pada tahun 1958. Menurut Lerner, mobilitas sosial (urbanisasi, literasi, terpaan media, partisipasi politik) mendorong pada terciptanya demokrasi. Karya klasik lain ditengarai oleh karya Samuel P. Huntington dalam "Political Order in Changing Society" pada tahun 1968. Karya ini membantah kesimpulan Daniel Lerner. Bagi Huntington, mobilitas sosial tidak secara linear menciptakan demokrasi, tetapi dapat mengarah pada instabilitas politik. Menurut Huntington, jika partisipasi politik tinggi, sementara kemampuan pelembagaan politik rendah, akan muncul situasi disorder. Bagi Huntington, hal yang harus segera dilakukan negara baru merdeka adalah memperkuat otoritas lembaga politik seperti partai politik, parlemen, dan eksekutif.
Kedua peneliti terdahulu berbias ideologi Barat. Dampak dari ketidakmajuan negara-negara baru tidak mereka sentuh. Misalnya, negara dengan sumberdaya alam makmur megapa tetap saja miskin. Penelitian jenis baru ini diperkenalkan oleh Andre Gunder Frank melalui penelitiannya dalam buku "Capitalism and Underdevelopment in Latin America. Bagi Frank, penyebab terus miskinnya negara-negara 'dunia ketiga' adalah akibat : modal asing, perilaku pemerintah lokal yang korup, dan kaum borjuis negara satelit yang 'manja' pada pemerintahnya. Frank menyarankan agar negara-negara 'dunia ketiga' memutuskan seluruh hubungan dengan negara maju (Barat).
BAB 4
DEMOKRASI MENURUT  TERMIOLOGI KOMUNIS DAN SOSIALIS
A.    Demokrasi Menurut Terminologi Komunisme
Demokrasi konstitusional telah berkembang diberbagai negara di dunia hingga akhir abad 19 muncul sebuah ideologi yang mengembangkan konsep demokrasi yang bertentangan dengan azas pokok demokrasi konstitusional. Demokrasi dalam hal ini dipakai dalam istilah demokrasi proletar dan demokrasi Soviet hingga pada dekade lima puluhan timbul istilah demokrasi nasional. Seluruh istilah demokrasi tersebut berlandaskan aliran pikiran komunisme atau Marxisme-Leninisme. Para golongan yang mendukung demokrasi konstitusional (Internasional Commision of Jurish) mengecap demorkasi tersebut tidak demokratis
            Awal abad 19 keadaan buruk dialami buruh di Eropa Timur kemudian cendikiawan Robert Owen, Saint Simon dan Fourier mencoba untuk memperbaikinya. Pemikiran mereka hanya didorong oleh rasa perikemanusiaan tanpa adanya tindakan yang nyata dan tanpa strategi perbaikan, sehingga teori mereka disebut Sosialis Utopia. Karl Marx juga mengecam keadaan ekonomi dan sosial yang terjadi disekelilingnya, ia berpendapat masyarakat tidak dapat diperbaiki secara tambal sulam tetapi harus diubah secara radikal melalui pendobrakan sendi-sendinya. Karl Marx menamakan ajarannya Sosialisme Ilmiah (Scientific Socialism).
Marx tertarik oleh gagasan dialektik George Hegel untuk mengubah masyarakat secara radikal. Marx mengatakan bahwa “semua filsafat hanya menganalisa masyarakat, tetapi masalah sebenarnya ialah bagaimana mengubahnya”. Hegel berpendapat kebenaran keseluruhannya hanya ditangkap oleh pikiran manusia melalui proses dialektik (proses tesis melalui antithesis menuju sintesis) hingga kebenaran yang sempurna tertangkap. Proses ini terus berlangsung hingga tercapai sintesis yang paling tinggi dan lebih lengkap unsur kebenarannya dan kebenaran secara keseluruhan tersebut disebut Ide Mutlak (Absolute Idea). Oleh karena itu dialektika merupakan gerak maju dari taraf rendah ke taraf tinggi dengan suatu irama pertentangan dan persatuan.
Marx tertarik gagasan dialektik Hegel karena terdapat unsur kemajuan melalui konflik dan pertentangan, dan unsur inilah yang menyusun teorinya mengenai perkembangan masyarakat melalui revolusi. Awalnya Marx merumukan dahulu teori materialisme dialektis (dialectical materialism) kemudian menganalisa sejarah perkembangan masyarakat yang dinamakannya teori materialism historis (historical materialism) untuk melandasi teori sosial. Ia berkesimpulan menurut hukum ilmiah, dunia kapitalis akan mengalami revolusi proletar yang akan menghancurkan sendi-sendi masyarakat dan akan meratakan jalan untuk timbulnya masyarakat komunis.
Materialisme dialektis dari ajaran Hegel, Marx mengambil gagasan mengenai terjadinya pertentangan antara segi-segi yang berlawanan dan gagasan bahwa semua berkembang terus. Dalam hal ini Marx menolak bahwa hukum dialektik hanya berlaku dalam pikiran manusia saja, ia menegaskan bahwa hukum dialektik juga terjadi dalam dunia kebendaan (dunia materi) yang disebutnya Materialisme. Selanjutnya setiap benda maupun keadaan dalam tubuhnya menimbulkan segi-segi yang berlawanan dan bertentangan disebut kontradiksi, kemudian timbul keseimbangan dimana benda dan keadaan telah di negasi-kan hingga tercapainya negasi tertinggi maka selesailah perkembangan dialektis. Materialisme historis merupakan gagasan bahwa sejarah menunjukkan masyarakat masa lampau telah berkembang menurut hukum dialektis. Menurut Karl Marx perkembangan dialektik terjadi lebih dahulu dalam struktur bawah dari masyarakat kemudian menggerakkan struktur atas yang bersifat ekonomis.
Hukum dialektika menyatakan masyarakat telah berkembang menjadi masyarakat kapitalis. Gerak dialektis dimulai saat masyarakat bersifat primitif menjadi masyarakat berkelas, gerak ini disebabkan pertentangan antara masyarakat berkelas pertama (budak) kemudian terjadi pertentangan berubah menjadi masyarakat feodal lalu berubah menjadi kaum borjuasi dan berubah menjadi masyarakat kapitalis yang diakibatkan pertentangan kaum kapitalis dan kaum proletar sehingga gerak dialektis terakhir tercapai yaitu masyarakat komunis. Masyarakat komunis yang dicitakan oleh Marx merupakan masyarakat yang tidak ada kelas sosial dimana manusia bebas dari keterikatan kepada milik pribadi, tidak ada ada eksploitasi, penindasan. Dukungan terbesar atas ajaran Marx berasal dari negara Rusia yang dijadikan pola untuk membentuk masyarakat baru atas runtuhnya masyarakat lama melalui revolusi yang dilakukan oleh Lenin.
Abad ke 20 gagasan Karl Marx disesuaikan dengan perubahan politik dan sosial yang diberoi tafsiran khusus yang dinamakan Marxisme-Leninisme atau komunisme oleh pemimpin Rusia.
1.      Pandangan Mengenai Negara dan Demokrasi
Marx berpandangan bahwa negara sebagai suatu alat pemaksa (instrument of coercion) yang akhirnya akan melenyap sendiri dengan munculnya masyarakat komunis. Ia juga berpendapat bahwa negara hanya mesin yang dipakai satu kelas untuk menindas kelas lain, dan hanya merupakan lembaga trasnsisi yang dipakai untuk menindas lawan dengan kekerasan. Lenin setuju dengan pendapat Marx dan menganggap negara sebagai diktator proletariat serta berpandangan bahwa penindasan dengan kekerasan terhadap kaum penindas harus disingkkirkan dari demokrasi. Pandangan ini merupakan demokrasi untuk minoritas terhadap mayoritas yang tidak memiliki hak demokratis dan ia juga mengecam bahwa dikatator dan demokrasi adalah bertentangan satu sama lain. Tercapainya komunisme dinegara maka negara akan lenyap ketika orang bekerja menurut kesanggupan dan menerima menurut kebutuhannya.
Stalin mengungkapkan syarat melenyapkan negara yaitu syarat internal yaitu sistem ekonomi harus berdasarkan prinip ekonomi “distribusi menurut kebutuhan” dan syarat eksternal sebagai gagasan baru  pengepungan oleh negara-negara kapitalis harus berakhir dan sosialisme menang diseluruh dunia. Khurshchev mengatakan bahwa negara merupakan negara dari seluruh rakyat dimana hanya ada dua golongan yang bersahabat sehingga tidak ada kelas-kelas sosial yang antagonis karena itu tidak perlu lagi ada paksaan.
Komunisme tidak hanya merupakan sistem politik tetapi juga mencerminkan gaya hidup yang berdasarkan nilai-nilai tertentu yaitu: Gagasan monoisme (sebagai lawan dari pluralism); Kekerasan dipandang sebagai alat yang sah dan harus dipaku untuk mencapai komunisme; Negara merupakan alat untuk mencapai komunisme. Mekanisme untuk menyelenggarakan asas tersebut adalah Sistem satu partai yaitu diktator proletar sebenarnya merupakan diktator Partai komunis; Soviet tertinggi secara formal memegang semua kekuasaan yaitu legeslatif, eksekutif dan yudikatif sebab Marxisme-Leninisme menolak gagasan trias politca; Pemilihan umum dewasa ini bersifat rahasia tetapi tidak ada kemerdekaan politik dan pencalonan didasarkan atas sistem calon tunggal untuk setiap kursi, setiap calon ditetapkan oleh Partai Komunis.
2.      Demokrasi Rakyat
Demokrasi rakyat menurut istilah komunis adalah bentuk khsus demokrasi yang memenuhi fungsi diktator proletar.Menurut Georgi Dimitrov menyatakan bahwa demokrasi rakyat merupakan arah dalam masa transisi yang bertugas untuk menjamin peran negara kearah sosialisme. Lahirya demokrasi rakyat di masing-masing negara Eropa Timur lahir pada waktu yang berlainan. Demokrasi Rakyat memiliki ciri-ciri yaitu: Suatu wadah front persatuan (united front) yang merupakan landasan kerja sama dari partai komunis dengan golongan-golongan lainnya dalam penguasa; Penggunaan beberapa lembaga pemerintahan di negara lama. Gagasan demokrasi rakyat di Cina dipengaruhi oleh pemikiran Mao Zedong yang melancarkan Demokrasi Baru.
Tahun 1989 hingga 1991 semua negara komunis di Eropa Timur mengalami transisi politik fundamental, bergeser menjauh dari komunisme (Post-communism). Janor Kadar pemimpin Hongaria memperkenalkan New Economic Mechanism tahun 1968 dengan gagasan lebih radikal dari reformasi perekonomian yang pernah diterapkan di Eropa Timur. Proses liberalisasi berlangsung ditandai dengan kebebasan untuk melakukan kritik pada rezim yang berkuasa. Negara komunis yang masih bertahan dari 23 negara bekas komunis salah satunya adalah Cina. Situasi komunisme di China berbeda dengan situasi kebanyakan negara di Eropa Timur maupun Uni Soviet, karena ada faktor “keunikan China”.
Suksesi kepemimpinan Mao Zedong tidak berjalan mulus sehingga menyebabkan konsolidasi kekuasaan baru relative stabil dengan kendali kekuasaan Deng Xiaoping. Gagasan Deng Xiaoping dengan empat modernisasinya yaitu pertanian, industri, pertahanan serta iptek merupakan faktor mengapa komunisme China tidak runtuh dengan memprioritaskan reformasi ekonomi dan meningkatkan taraf hidup penduduk. Faktor kedua yang membuat China bertahan dengan paham Komunismenya dikarenakan relative independen dari pengaruh Uni Soviet; dan faktor ketiga adalah tradisi Confucian yang takut akan terjadi chaos dan anarki sebab ajara Confius di China mengajarkan harmoni dan kestabilan.
3.      Demokrasi Nasional (National Democratic State)
            Tahun 1950 kaum komunis meninjau kembali hubungan dengan negara-negara Asia dan Afrika. Harapan kaum komunis bahwa negara jajahan (bougeois democratic revolution) akan meluas menjadi revolusi proletar ternyata hampa belaka walaupun komunisme sebagai ideologi mengalami kemajuan. Pola perebutan kekuasaan secara langsung sesuai ajaran Lenin ditegaskan dalam Konferensi Calcutta gagal karena tidak mendapat dukungan rakyat. Hal ini mendorong kaum komunis untuk melahirkan konsepsi baru dengan perubahan sikap dalam politik negara komunis. Perubahan sikap tersebut didasarkan pada konsep kemenangan yang dicapai melalui “transisi damai” (peaceful transition) yaitu melalui saluran-saluran yang sah dan atas dasar kerjasama dengan kekuatan borjuasi yang ada. Demokrasi Nasional dianggap suatu tahapan dalam perkembangan negara demokrasi borjuis menjadi demokrasi rakyat sebagai bentuk diktator ploretariat. 
            Akhir tahun 1964 konsep Demokrasi Nasional tidak realistis karena adanya beberapa negara yang dianggap sudah matang untuk terbentuknya Demokrasi Nasional ada yang tidak memperlihatkan kemajuan kearah demokrasi rakyat hingga membubarkan partai komunis setempat. Sehingga golongan komunis kembali meninjau konsep Demokrasi Nasional dan menentukan sikap terhadap negar borjuis nasional yang tidak memihak partai komunis. Hal ini mengakibatkan dilepaskannya gagasan pokok yaitu peranan mutlak partai komunis serta pertentangan kelas dan dicetuskannya konsep mengenai demokrasi revolusioner. Adanya sikap transisi keerah jalan non-kapitalis merupakan pengaruh sistem sosialis dunia (Uni Soviet) dan sikap ini sangat dikecam oleh China karena telah secara langsung menolak konsep mengenai demokrasi revolusioner dan China mengecamnya sebagai Revisonis. China menyatakan bahwa masih diperlukan aliansi kaum petani dan kaum buruh dibawak pimpinan partai komunis dan menggunakan kekerasan untuk meruntuhkan pimpinan yang reaksioner, merebut kekuasaan negara dan mendirikan dictator proletariat.
            Revolusi kebudayaan hadir di China sebagai anda adanya perubahan sikap yang lebih lunak dari sikap pimpinan China yang awalnya kaku terhadap dunia luar dan hal ini dapat dilihat masuknya Republik Rakyat China menjadi anggota PBB. Perkembangan demokrasi di China sulit untuk diprediksi karena penerapan komunisme telah banyak sekali mengalami perkembangan. Upaya pembaharuan sistem politik di China yang dilakukan secara bertahap membuka keran kebebasan di tingkat lokal melalui pemilihan langsung dengan memilih kepala desa dan karakteristik sistempolitiknya telah mengarah pada soft authoritatianism yang tidak dicirikan sebagai totaliter dan otoriter.
4.      Kritik Terhadap Komunisme dan Runtuhnya Kekuasaan Komunis
Paham komunisme mendapat kecaman dari berbagai pihak yaitu kalangan non-lomunis dan kalangan anti komunis maupun dari kalangan komunis sendiri. Dari kalangn komunis kritik yang didapat terkait dengan pola Yugoslavia yang secara politis dan ekonomis merupakan penyimpangan yang paling jauh dari pola yang pernah digariskan oleh Uni Soviet. Kritik dari kalangan non-komunis terkait dengan unsure paksaan dan kekerasan kepada pembatasan atas kebebasan-kebebasan politik dan diabaikannya martabat perorangan yang ditetntukan dan dirimuskan oleh elite yang kecil.
            Kritik maupun perbedaan pendapat terjadi dikalangan ilmiawan yang dituliskan dalam sebuah buku bidang kesusastraan dan ilmiah yang berisi tentang kebebsan berpikir sebagai sesuatu yang oerlu untuk setiap masyarakat yang ingin maju. Para cendikiawan tersebut yaitu Andrei Synyavsky dihukum kerja paksa karena tulisannya diterbitkan diluar negeri dan dianggap anti-Soviet.
            Keruntuhan rezim komunis sejak tahun 1989 di berbagai negara memununculkan berbagai teori. Sebagai contoh buku Leslie Holmes mengenai beragam pendekatan dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya yang berkembang untuk menjelaskan kejatuhan rezim komunisme di berbagai negara terutama di Uni Soviet dan Eropa Timur. Dalam buku tersebut menjelaskan kejatuhan rezim komunis karena faktor Gorbachev, kegagalan ekonomi, peran kekuatan oposisi, kompetensi dengan negara barat, korekasi dan pemaknaan pada ajaran Marxisme, jangkauan wilayah, pengaruh terlalu luas, teori perbandingan tentang revolusi, teori perbandingan tentang modernisasi dan teori tentang krisi legitimasi. 
B.     Demokrasi Menurut Terminology Sosialis
Sosial demokrasi merupakanidiologi politikyang menggabungkan sosialismedengan unsur – unsur kapitalisme yang di anggap sesuai. Sosial Demokrasijuga dapat di katakan sebagai paham politik yang di sebut sebagai sosialis moderat yang berkembang pada abab ke 19. Ide sosial demokrasi ( sosdem ) berkembang dari gerakan – gerakan buruh di eropa, Tokoh yang dianggap berpengaruh mengembangkan ide sosial demokrasi ( sosdem ) adalah Eduard Bernstein. Lewat bukunya “Evolutionary Socialism (terbit tahun 1899)”, Bernstein menyerang ide-ide Marx yang memiliki berbagai kontradiksi internal dan bertentangan dengan demokrasi. Kaum sosialis, menurut Bernstein, harus mentransformasi masyarakat menuju keadilan sosial dengan cara-cara demokratis, bukan revolusioner seperti digagas Marx. Berbeda dengan Marx yang meyakini bahwa institusi negara akan menghilang digantikan kekuasaan proletariat, Bernstein berargumen bahwa institusi negara harus dipandang sebagai mitra.
Dengan demokrasi politik, negara akan bisa diyakinkan untuk mengakomodasi hak-hak ekonomi dan politik kelas masyarakat yang terpinggirkan oleh kapitalisme, Ide klasik sosial demokrasi(sosdem) adalah orientasi mengatasi kesenjangan sosial ekonomi, perluasan kesempatan partisipasi kaum yang kurang beruntung, mewujudkan keadilan sosial dan demokratisasi. Dua ciri khas utama dari pandangan sosdem klasik adalah pemanfaatan kekuasaan negara untuk meng-counter laju bisnis swasta dan fokus pada upaya mengurangi kesenjangan material, antara lain melalui pajak progresif serta pengarahan negara dalam pemberian jaminan pendidikan, kesehatan, pensiun dan jaminan kesejahteraan untuk warga negara. Sementara, ciri khas utama dari neoliberalisme menurut Giddens adalah pereduksian peran negara secara substansial dan reformasi sistem jaminan kesejahteraan untuk meningkatkan peran pasar didalam bidang jaminan-jaminan kesejahteraan.Sebagai alternatif bagi keduanya, Giddens mengemukakan gagasan sosdemnya yang menolak intervensi negara, menolak ”praktik persamaan ” sebagai cita-cita sosdem, dan mempromosikan redistribusi kesempatan sebagai solusi mengatasi ketidaksamaan.
Perbedaan Asas Sosial – Demokrat Dan Komunis
Banyak aliran – aliran yang juga berdasarkan ilmu sosialis, aliran yang menentang kapitalisme dan imperialisme, Tetapi aliran sosialis tidak begitu besar artinya di dalam perjuangan kaum buruh untuk menuntut perbaikan nasibnya, maka kita hanya mengupas sosial-demokrat dan komunis saja, kedua faham yang tidak asing lagi di dunia politik, Kedua faham atau isme ini di dalam hakikatnya tidak mengandung perbedaan satu sama lain, karena kedua isme ini berdiri di atas faham sosialisme atau lebih tegas lagi berdiri di atas faham Marxisme. Sosialisme dan komunisme mengaku menjadi pengikut Marx. Fase-teori mengajarkan bahwa masyarakat di jaman purbakala adalah Ur-komunis, artinya pergaulan hidup manusia di jaman purbakala diatur menurut cara tidak ada raja-raja atau kelas-kelas. Sesudah jaman ur-komunisme ini berlalalu, maka lahirlah jaman feodal. Sendi dasarnya pergaulan hidup jadi feodalistis, yakni masyarakat terbagi dalam kelas raja,dan “hamba”. Habis fase feodal ini tumbul fase kapitalisme. Mula-mula jaman voor-kapitalisme dan kemudian jadi kapitalisme modren, liberalism, neo-liberal. Jaman kapitalisme ini menuju ke fase-sosialisme. Fase-teori ini dianut oleh kaum sosial-demokrat dan juga oleh kaum komunis. Kedua aliran yang besar ini mula-mula berjuang bersama-sama di bawah “pimpinannya” Karl Marx. Lalu timbul pertanyaan mengapa sosialisme yang bersendi atas marxisme terpecah menjadi dua aliran yang menimbulkan faham – faham sendiri. Pada tahun 1889 sampai tahun 1914 dua aliran yakni sosialis dan komunis diikat oleh satu badan yang bernama Tweede-Internationale atau di dalam bahasa Indonesia ”Internasional-Kedua.” Tetapi dalam tahun 1914 persatuan partai kaum buruh ini terpecah menjadi dua aliran yang satu memisahkan diri menjadi sosial-demokrat dan yang lain menamakan dirinya kaum komunis. Perpecahan itu terjadi oleh karena kedua aliran ini tidak bisa akur pendiriannya satu sama lain tentang mufakat atau tidaknya kaum proletar terutama di negeri-negeri kapitalis turut menyokong peperangan dunia di tahun 1914. Kaum sosial-demokrat suka menyokong peperangan dunia, tetapi kaum komunis sama sekali anti peperangan. Kaum sosial-demokrat berpendapat bahwa kaum proletar harus turut menyokong pemerintahan dalam negeri jika ada musuh menyerang negerinya.
Kaum komunis mendirikan Internasionale sendiri ialah: "Derde-Internasionale” adalah Internasional-Ketiga di Moskow di bulan Maret 1919. Pemimpin-pemimpin terbesar dari kaum komunis ialah Lenin, Trotsky dan Zinoview, mengajarkan bahwa pergaulan hidup manusia tidak harus tumbuh sebagaimana sudah digambarkan di dalam teori-teorinya Karl-Marx, tetapi pergaulan hidup dapat mengadakan fase-sprong, artinya bahwa masyarakat yang masih berada di dalam fase feodal itu tidak harus melalui zaman kapitalisme lebih dulu untuk menuju ke jaman sosialisme. Kaum sosial-demokrat membantah teori fase-sprong ini. Karena menurut aliran sosial-demokrat fase-sprong ini disebutkan anti-Marxisme. Mereka mengajarkan bahwa tiap-tiap pergaulan hidup itu harus tumbuh menurut alam. Karl Kautsky, pemimpin sosial-demokrat berkata bahwa wet-evolusi—fase teori—yang digambarkan oleh Marx itu harus tunduk. Sosial-demokrat berkata: “Marx bilang, bahwa masyarakat bergerak melalui beberapa fase, yakni melalui beberapa tingkat. Dulu fase ur-komunisme, kemudian fase feodal (ningrat-ningratan), kemudian fase kapitalisme-modren, kemudian fase sosialisme. Tiap-tiap fase harus dilalui. Sesudah fase ur-komunis tidak boleh tidak tentu fase feodal. Sesudah fase feodal tidak boleh tidak tentu fase voor-kapitalisme, dan begitu seterusnya. masyarakat tidak bisa melompati suatu fase. Perbedaan yang kedua ialah bahwa tiap-tiap orang menurut kaum sosial-demokrat yang hidup di dalam suatu masyarakat adalah jadi anggota masyarakat dan oleh karena itu ia berhak mengeluarkan pikirannya, kemauannya dan cita-citanya tentang cara-cara masyarakat itu diatur. dengan kata lain pergaulan hidup itu harus diatur secara demokratis.
Tetapi kaum komunis mengajarkan bahwa demokrasi itu di dalam hakikatnya tidak memberi kemerdekaan kepada Rakyat. Di dalam praktiknya, kata mereka, demokrasi itu tidak ada. Dan jika demokrasi ini ada, kerakyatan itu tidaklah dapat memberi hak-hak kepada Rakyat untuk mengatur pergaulan hidup. demokrasi itu adalah perkataan omong kosong belakang oleh karena itu kaum komunis tidak mufakat dengan demokrasi tetapi mengajarkan bahwa hanyalah “diktator-proletariat” saja (artinya bahwa hanya kaum proletar saja yang mempunyai suara) yang dapat memberi kekuasaan hidup manusia bagi keselamatan masyarakat. kaum komunis berkata Diktato-proletariat itu adalah suatu alat untuk mendatangkan pergaulan hidup sosialis.




BAB 5
TATANAN POLITIK
A.    Tatanan Dunia Baru
Adalah istilah yang dipakai untuk menyebut periode sejarah modern manapun yang mengalami perubahan pemikiran politik dunia dankeseimbangan kekuasaan yang besar. Meski istilah ini memiliki banyak makna, istilah ini sering dikaitkan dengan arti ideologis pemerintahan global dalam upaya bersama untuk mengenali, memahami, dan menyelesaikan permasalahan dunia yang berada di luar kemampuan negara bangsa.
Salah satu peristiwa pertama yang melibatkan istilah ini adalah Empat Belas Pasal Woodrow Wilson dan usulan pembentukan Liga Bangsa-Bangsa setelahPerang Dunia I. Frasa ini semakin jarang digunakan pada akhir Perang Dunia II ketika menyebut rencana pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa dansistem Bretton Woods karena Liga Bangsa-Bangsa gagal mencegah Perang Dunia II. Namun demikian, banyak komentator yang menyebut tatanan yang ditetapkan para pemenang Perang Dunia II sebagai "tatanan dunia baru.
Di era modern, frasa ini sering dibahas menjelang akhir Perang Dingin. Presiden Mikhail Gorbachev dan George H. W. Bush menggunakan istilah ini untuk mendefinisikan sifat zaman pasca Perang Dingin dan semangat kerja sama kekuasaan besar yang diharapkan bisa terwujud. Rencana awal Gorbachev sangat beragam dan idealis, tetapi kemampuannya untuk melaksanakannya terhambat oleh krisis internal sistem Soviet. Visi Bush lebih jelas dan realistis, terkadang instrumental, dan sangat terkait dengan Perang Teluk.
B.     Macam-Macam Sistem Politik Di Berbagai Negara.
Selain dari sistem politik demokrasi, terdapat berbagai macam sistem politik yang dianut dari berbagai negara didunia. Sebelum membahas mengenai macam-macam sistem politik di berbagai negara, tahukah anda mengenai Pengertian Sistem Politik ? Secara Umum, Sistem Politik adalah interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam proses pembuatan dan pengambilan kebijakan yang mengikat tentang kebaikan bersama antara masyarakat yang berada dalam suatu wilayah tertentu.
Macam-macam sistem politik dari berbagai negara berdasarkan dari kebijakan negaranya masing-masing. Macam-macam sistem plitik tersebut adalah sebagai berikut:


a.      Absolutisme
Sistem politik dimana tidak ada batasan hukum, kebiasaan, atau moral atau kekuasaan pemerintah. Istilah tersebut secara umum dipergunakan untuk sistem politik yang dijalankan oleh seorang diktator, tetapi dapat pula digunakan pada sistem yang kelihatannya demokratis yang memberi kewenangan mutlak pada legislatif dan eksekutif. Sifat utama dari bentuk pemerintahan ini adalah dengan pemusatan kekuatan, kontrol kelompok sosial yang ketat, sehingga tidak adanya partai politik sebagai pesaing dan perwakilan rakyat menjadi oposisi.
b.      Anarkisme
Sistem politik yang bertentangan dengan semua bentuk pemerintahan. Para anarkis percaya bahwa dengan pencapaian tertinggi umat manusia adalah kebebasan individu untuk mengekspresikan dirinya, tidak hanya terbatas pada bentuk represi atau kontrol apapun. Mereka juga percaya bahwa kesempurnaan dari umat manusia tidak akan dicapai hingga semua pemerintahan dihapuskan dan setiap individu bebas sebebas-bebasnya. Namun salah satu batasan atas kebabasan itu adalah larangan melukai lain. Batan ini menimbulkan batasan lain. Jika umat manusia berusaha untuk menyakiti orang lain, semua individu lain yang berkelakuan baik memiliki hak untuk bersatu melawannya dan kelompok yang taat asas dapat menekan kelompok kriminal,walaupun hanya melalui kerja sama sukarela dan bukan melalui organisasi negara. 
c.       Koalisi
Kombinasi sementara kelompok atau individu yang dibentuk untuk mencapai tujuan tertentu melalui tindakan bersama. Istilah dari koalisi yang paling sering digunakan sehubungan dengan partai politik. Pemerintahan koalisi, yang sering ditemukan di negara-negara multipartai, seperti Italia dan prancis, dapat dibentuk ketika tidak ada satu partai tunggal yang cukup kuat untuk memperoleh mayoritas dalam pemilihan umum. Pemerintah yang terbentuk biasanya mendistribusikan pos-pos politik untuk mewakili seluruh anggota koalisi. 
d.      Persemakmuran (commonwealth)
Sistem terdiri dari rakyat satu komunitas yang terorganisasi secara politis dan bersifat independen atau semi independen, dimana pemerintah berfungsi berdasarkan persetujuan rakyat.
e.       Komunisme
Menurut teori, komunis dapat menciptakan masyarakat tanpa kelas yang kaya dan bebas, dimana semua orang menikmati status sosial dan ekonomi. Namun dalam pratiknya, rezim komunis mengambil bentuk pemerintah otoriter dan memaksa (coercive), yang tidak begitu peduli pada persoalan kelas buruh dan pada akhirnya berupaya untuk mempertahankan kekuasaan. 
f.       Demokrasi
Sistem politik dimana rakyat suatu negara memerintah melalui bentuk pemerintahan apapun yang mereka pilih. Dalam demokrasi modern, otoritas tertinggi dilakukan oleh perwakilan yang dipilih oleh rakyat. Perwakilan dapat dilanjutkan dengan pemilihan umum menurut prosedur hukum recall dan referendum.
g.      Despotisme
Sistem dimana terdapat penguasa absolut yang tidak dibatasi oleh proses konstitusional atas hukum apapun. Kata ini juga memiliki konotasi kebijakan yang kejam dan opresif. 
h.      Kediktatoran
Bentuk kediktatoran di masa modern adalah pemerintahan negara di tangan satu orang. Diktator sebenarnya adalah gelar magistrate pada masa Romawi Kuno, yang ditunjuk oleh Senat pada masa darurat, dan disahkan oleh comitia curiata. 
i.        Totalitarianisme
Sistem politik dan ideologi di mana semua aktivitas sosial, ekonomi budaya, politik, intelektual dan spiritual tunduk pada tujuan pemimpin sebuah negara. Dalam totalitarianisme modern, rakyat dibuat sepenuhnya tergantung pada kemauan dan ajakan partai politik dan pemimpinnya. Negara-negara totaliter modern dipimpin oleh seseorang pemimpin atau diktator yang mengotrol partai politik. 
j.        Fasisme
Ideologi politik modern yang beurpaya menciptakan kembali kehidupan sosial, ekonomi dan budaya sebuah negara berdasarkan rasa kebangsaan atau identitas etnis. Fasisme menolak ide liberal seperti hak individu dan kebebasan, dan sering menekan untuk membantu membatalkan pemilihan umum, legislatif, dan elemen yang lain. 
k.      Federalisme
Sistem politik nasional atau internasional di mana dua tingkat pemerintah mengontrol wilayah dan warga negara yang sama. Negara dengan sistem politik federal memiliki pemerintah pusat dan pemerinta-pemerintah yang didasarkan pada unit politik yang lebih kecil, yang biasanya disebut dengan negara bagian, provinsi atau wilayah. Unit poltik yang lebih kecil ini menyerahkan beberapa kekuasaan politik mereka kepada pemerintah pusat, demi kebaikan bersama.

l.        Monarki
Sistem dimana seseorang memilih hak keturunan untuk memimpin sebagai kepala negara seumur hidupnya. Istilah ini juga diterapkan pada negara yang diperintah. Kekuasaan monarki bervariasi dari absolut hingag sangat terbatas. Monarki meliputi penguasa, seperti raja dan ratu, kaisar, dan tsar atau sultan. 
n.      Perwakilan
Sistem di mana posisi eksekutig, legislatif, dan yudikatif dapat dipilih melalui suara rakyat. Dalam banyak hal, perwakilan langsung digunakan untuk tujuan legislatif saja. Di Indonesia dan Amerika Serikat ada pengecualian, yaitu prinsip yang sama diterapkan pula untuk posisi eksekutif dan yudikatif: presiden adalah perwakilan langsung rakyat. 
o.      Republik
Sistem yang didasarkan pada konsep bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, yang mendelegasikan kekuasaan untuk memimpin atas nama rakyat, untuk memiliki perwakilan dan pejabat negara. 
p.      Sosialisme
Sistem yang menuntut kepemilikan negara dan kontrol sarana produksi yang menguasai hajat hidup dan pemerataan kemakmuran. Sistem ini secara spesifik dicirikan oleh nasionalisasi sumber daya alam, industri besar, fasilitas perbankan dan kredir, serta hak milik publik;nasionalisasi cabang industri yang dimonopoli melihat monopoli sebagai sesuatu yang bertentangan dengan kemakmuran rakyat.
q.      Teokrasi
Sistem politik sebuah negara di mana Tuhan dianggap sebagai satu-satunya kedaulatan dan hukum kerajaan dipandang sebagai perintah Tuhan. Dapat juga dikembangkan bahwa teokrasi adalah sebuah negara, di mana kontrol berada di tangan para imam agama. 
r.       Pemerintahan dunia
Konsep organisasi politik global terpusat dan merupakan aturan hukum bersama yang menciptakan tatanan internasional dan mendorong perdamaian.


BAB 6
UUD 1945 DAN KONSTITUSIONALISME
UUD 1945 adalah hukum dasar tertulis yang mengikat pemerintah, lembaga-lembaga negara, lembaga masyarakat, dan juga mengikat setiap warga negara Indonesia dimanapun mereka berada dan juga mengikat setiap penduduk yang berada di wilayah Negara Republik Indonesia.
A.    Pengertian, Funngsi, dan Kedudukan UUD 1945
1.      Pengertian UUD 1945
Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Dasar 1945 angka I dinyatakan bahwa: “ Undang-undang Dasar suatu negara ialah hanya sebagian dari hukumnya dasar Negara itu. Undang-undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis, sedang disampingnya Undang-undang dasar itu berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan Negara meskipun tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan Negara meskipun tidak tertulis”. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan, pengertian kata Undang-Undang Dasar menurut UUD 1945, mempunyai pengertian yang lebih sempit daripada pengertian hukum dasar, Karena yang dimaksud Undang-undang Dasar adalah hukum dasar yang tertulis, sedangkan pengertiann hukum dasar mencakup juga hukum dasar yang tidak tertulis.
Di samping istilah undang-undang dasar, dipergunakan juga istilah lain yaitu Konstitusi. Istilah konstitusi berasal dari bahasa inggris constitution atau dari bahasa Belanda Constitutie. Kata konstitusi mempunyai pengertian yang lebih luas dari Undang-undang dasar karena pengertian Undang-undang Dasar hanya meliputi konstitusi yang tertulis saja, selain itu masih terdapat konstitusi yang tidak tertulis, yang tidak tercakup dalam pengertian Undang-undang Dasar. Selain hukum dasar yang tertulis yaitu UUD masih terdapat lagi hukum dasar yang tidak tertulis, tetapi berlaku dan dipatuhi oleh para pendukungnya, yaitu yang lazim disebut konvensi, yang berasal dari bahasa Inggris convention, yang dalam peristilahan ketatanegaraan disebut kebiasaan-kebiasaan ketatanegaraan. Misalnya , kebiasaan yang dilakukan oleh Presiden RI, setiap tanggal 16 agustus melakukan pidato kenegaraan di muka Sidang Paripurna DPR. Pada tahun 1945 hingga tahun 1949, karena adanya maklumat pemerintah tertanggal 14 November 1945, yang telah mengubah system pemerintahan dari cabinet presidensial ke cabinet parlementer. Tetapi apabila keadaan Negara bahaya atau genting, cabinet beruah menjadi presidensiil, dan sewaktu-waktu keadaan Negara menjadi aman kebinet berubeh kembali menjadi parlementer lagi. Terhadap tindakan-tindakan tersebut tidak ada peraturan yang tegas secara tertulis, pendapat umum cenderung melakukannya,, apabila tidak dilaksanakan, dianggap tidak benar.
Undang-Undang Dasar 1945 adalah keseluruhan naskah yang terdiri dari Pembukaan dan Pasal-Pasal (Pasal II Aturan Tambahan). Pembukaan terdiri atas 4 Alinea, yang di dalam Alinea keempat terdapat rumusan dari Pancasila, dan Pasal-Pasal Undang-Undang Dasar 1945 terdiri dari 20 Bab (Bab I sampai dengan Bab XVI) dan 72 Pasal (Pasal 1 sampai dengan pasal 37), ditambah dengan 3 Pasal Aturan Peralihan dan 2 pasal Aturan Tambahan. Bab IV tentang DPA dihapus, dalam amandemen keempat penjelasan tidak lagi merupakan kesatuan UUD 1945. Pembukaan dan Pasal-pasal UUD 1945 merupakan satu kebulatan yang utuh, dengan kata lain merupakan bagian-bagian yang satu sama lainnya tidak dapat dipisahkan.
2.      Motivasi Adanya UUD 1945
Motivasi yang menjasi latar belakang pembuatan UUD bagi negara yang satu berbeda dengan negara yang lain; hal ini dapat disebabkan karena beberapa hal, antara lain, sejarah yang dialami oleh bangsa yang bersangkutan, cara memperoleh kemerdekaan bangsanya, situasi dan kondisi pada saat menjelang kemerdekaan bangsanya, dan lain sebagainya.
Menurut pendapat Bryce, hal-hal yang menjadi alas an sehingga suatu negara memilliki UUD, terdpat beberapa macam, sebagai berikut :
1.      adanya kehendak para warganegara yang bersangkutan agar tejamin hak-haknya, dan bertujuan untuk mengatasi tindakan-tindakan para penguasa negara tersebut,
2.      adanya kehendak dari penguasa negara dan atau rakyatnya untuk menjamin agar terdapat pola atau system tertentu atas pemerintah negaranya,
3.      adanya kehendak para pembentuk negara baru tersebut agar terdapat kepastian tentang cara penyelenggaraan ketatanegaraannya,
4.      adanya kehendak dari beberapa negara semula masing-masing berdiri sendiri, untuk menjalin kerjasama.
Berdasarkan pendapat Bryce tersebut di atas, motivasi adanya UUD Negara Republik Indonesia, yang sekarang lebih dikenal UUD 1945 adalah adanya kehendak para Pembentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia sesaat setelah Proklamasi Kemerdekaan RI , tepatnya pada tanggal 18 agustus 1945. Hal ini ditujukan agar terjamin penyelenggaraan Ketatanegaraan NKRI secara pasti (adanya kepastiaan hukum), seperti menurut pendapat Bryce pada nomer 3 tersebut di atas, sehingga stabilitas nasional dapat terwujud. Terwujudnya ketatanegaraan yang pasti dan stabilitas nasional memberi makna bahwa system politik tertentu dapat dipertahankan, yaitu system politik menurut UUD 1945.
Suatu system politik, pada umumnya harus mempunyai kemempuan memenuhi lima fungsi utama, yaitu:
·         mempetahankan pola,
·         pengaturan dan penyelesaian ketegangan atau konflik,
·         penyesuaian,
·         pencapaian tujuan, dan
·         integrasi.
Dalam hal ini, system politik yang dianut oleh UUD 1945 dalam penyelenggaraan Pemerintahan Negara RI adalah merupakan suatu pola pemerintahan tertentu, dan apabila penyelenggaraan Pemerintahan Negara RI, tetap dilaksanakan berdasarkan UUD 1945, maka berarti system politik negara RI mempunyai kemampuan berfungsi mempertahankan pola tertentu, yaitu pola penyelenggaraan Pemerintahan Negara RI seperti ditentukan oleh UUD 1945.
3.      Kedudukan UUD 1945
Sebagai hukum dasar, UUD 1945 merupakan sumber hukum tertinggi dari keseluruhan produk hukum di Indonesia. Produk-produk hukum seperti undang-undang, peraturan pemerintah, atau peraturan presiden, dan lain-lainnya, bahkan setiap tindakan atau kebijakan pemerintah harus dilandasi dan bersumber pada peraturan yang lebih tinggi, yang pada akhirnya harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan UUD 1945. Tata urutan peraturan perundang-undangan pertama kali diatur dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, yang kemudian diperbaharui dengan Ketetapan MPR No. III/MPR/2000, dan terakhir diatur dengan Undang-undang No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dimana dalam Pasal 7 diatur mengenai jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan yaitu adalah sebagai berikut :
1.      Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
2.      Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,
3.      Peraturan Pemerintah,
4.      Peraturan Presiden,
5.      Peraturan Daerah. Peraturan Daerah meliputi : 
·         Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama dengan Gubernur;
·         Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota bersama Bupati/Walikota;
·         Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.
Undang-Undang Dasar bukanlah satu-satunya atau keseluruhan hokum dasar, melainkan hanya merupakan sebagian dari hukum dasar, masih ada hukum dasar yang lain, yaitu hukum dasar yang tidak tertulis. Hukum dasar yang tidak tertulis tersebut merupakan aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara -meskipun tidak tertulis – yaitu yang biasa dikenal dengan nama ‘Konvensi’. Konvensi merupakan aturan pelengkap atau pengisi kekosongan hukum yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan ketatanegaaan, dimana Konvensi tidak terdapat dalam UUD 1945 dan tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945.
4.      Sifat UUD 1945
Undang-undang dasar hanya memuat 37 Pasal. Pasal-pasal lain hanya memuat peralihan dan tambahan. Maka rencana ini sangat singkat jika dibandingkan dengan undang-undang dasar Pilipina. Maka telah cukup jika Undang-undang Dasar hanya memuat aturan-aturan pokok, hanya memuat garis-garis besar sebagai instruksi kepada pemerintah pusat dan penyelenggara negara lainnya untuk menyelenggarakan kehidupan bernegara. Hukum dasar yang tertulis hanya memuat aturan-aturan pokok, sedangkan aturan-aturan yang menyelenggarakan aturan pokok itu diserahkan kepeda undang-undang yang lebih mudah caranya membuat, merubah dan mencabut. Perlu senantiasa diingat dinamika kehidupan masyarakat dan negara Indonesia. Masyarakat dan negara Indonesia tumbuh, jaman berubah, oleh karena itu dinamika kehidupan masyarakat dan negara tidak bisa dihentikan. Berhubungan dengan hal ini, tidak bijak jika tergesa-gesa memberi kristalisasi, meberi bentuk (Gestaltung) kepada pikiran-pikiran yang mudah berubah. Sifat aturan yang tertulis itu mengikat. Oleh karena itu maakin supel (elastis) sifat aturan tersebut akan semakin baik. Jadi kita harus menjaga supaya system Undang-Undang Dasar tidak ketinggalan jaman. Jangan sampai kita membuat Undang-undang yang mudah tidak sesuai dengan keadaan (verouderd).
Sifat-sifat Undang-Undang Dasar 1945 adalah sebagai berikut :
·         Oleh karena sifatnya tertulis, maka rumusannya jelas, merupakan suatu hukum yang mengikat pemerintah sebagai penyelenggara negara, maupun mengikat bagi setiap warga negara.
·         Sebagaimana tersebut dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, bahwa UUD 1945 bersifat singkat dan supel, memuat aturan-aturan yaitu memuat aturan-aturan pokok yang setiap kali harus dikembangkan sesuai dengan perkembangan jaman,serta memuat hak-hak asasi manusia.
·         Memuat norma-norma, aturan-aturan, serta ketentuan-ketentuan yang dapat dan harus dilaksanakan secara konstitusional.
·         Undang-Undang Dasar 1945,dalam tertib hukum Indonesia,merupakan peraturan hukum positif yang tertinggi. Disamping itu, juga sebagai alat kontrol terhadap norma-norma hukum positif yang lebih rendah dalam hierarki tertib hukum Indonesia.
5.      Fungsi UUD 1945
Setiap sesuatu dibuat dengan memiliki sejumlah fungsi. Demikian juga halnya dengan UUD 1945. Telah dijelaskan bahwa UUD 1945 adalah hukum dasar tertulis yang mengikat pemerintah, lembaga-lembaga negara, lembaga masyarakat, dan juga mengikat setiap warga negara Indonesia dimanapun mereka berada dan juga mengikat setiap penduduk yang berada di wilayah Negara Republik Indonesia.
Sebagai hukum dasar, UUD 1945 berisi norma-norma dan aturan-aturan yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh semua komponen tersebut di atas. Undang-undang Dasar bukanlah hukum biasa, melainkan hukum dasar, yaitu hukum dasar yang tertulis. Sebagai hukum dasar, UUD 1945 merupakan sumber hukum tertulis. Dengan demikian setiap produk hukum sepertiundang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, ataupun bahkan setiap tindakan atau kebijakan pemerintah haruslah berlandaskan dan bersumber pada peraturan yang lebih tinggi, yang pada akhirnya kesemuanya peraturan perundang-undangan tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan UUD 1945, dan muaranya adalah Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara (Pasal 2 UU No. 10 Tahun 2004).
Dalam kedudukan yang demikian itu, UUD 1945 dalam kerangka tata urutan perundangan atau hierarki peraturan perundangan di Indonesia menempati kedudukan yang tertinggi. Dalam hubungan ini, UUD 1945 juga mempunyai fungsi sebagai alat kontrol, dalam pengertian UUD 1945 mengontrol apakah norma hukum yang lebih rendah sesuai atau tidak dengan norma hukum yang lebih tinggi. UUD 1945 juga berperan sebagai pengatur bagaimana kekuasaan negara disusun, dibagi, dan dilaksanakan. Selain itu UUD 1945 juga berfungsi sebagai penentu hak dan kewajiban negara, aparat negara, dan warga negara.
6.      Makna UUD 1945
Pokok-pokok Pikiran dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu :
1.      Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Menurut pengertian ini, difahami negara kesatuan, meliputi segenap bangsa Indonesia dan seluruhnya,. Jadi negara mengatasi segala paham golongan dan perseorangan. Negara menghendaki persatuan, meliputi segenap bangsa Indonesia seluruhnya.
2.      Negara hendak mewujudkan keadilan social bagi seluruh rakyat.
3.      Negara yang berkedaulatan rakyat berdasar atars kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan. Oleh karena itu system negara yang terbentuk dalam undang-undang dasar harus berdasar atas kedaulatan rakyat dan berdasar atas permusyawaratan perwakilan. Hal ini sesuai dengan sifat masyarakat Indonesia.
4.      Negara berdasar atas ke-Tuhanan yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
Oleh karena itu, UUD harus mengandung isi yang mewajibkan Pemerintah dan Penyelenggara negara untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur. Pokok-pokok pikiran tersebut meliputi suasana kebatinan dari UUD negara Indonesia. Pokok-pokok pikiran ini mewujudkan cita-cita hukum (Rechtidee) yang menguasai hukum dasar Negara baik hukum yang tertulis (UUD) maupun hukum yang tidak tertulis. Undang-undang Dasar menciptakan pokok pikiran ini dalam Pasal-Pasalnya.
B.     Konstitusionalisme
1.    Pengertian konstitusionalisme
Konstitusionalisme adalah suatu sistem yang terlembagakan, menyangkut pembatasan yang efektif dan teratur terhadap tindakan-tindakan pemerintah. Gagasan mengatur dan membatasi kekuasaan ini secara alamiah muncul karena adanya kebutuhan untuk merespon perkembangan peran relative kekuasaan umum dalam kehidupan umat manusia. Konstitusionalisme sebenarnya merupakan antitesis dari paham sentralisasi yang dulu marak berkembang di eropa pada abad pertenahan. Raja atau penguasa sebagai inti kekuasaan memerintah dengan tangan besi, sewenang-wenang. Perkembangan sentralisme ini mengambil bentuknya dalam doktrin ‘king-in-parliament’ yang pada pokoknya mencerminkan kekuasaan raja yang tidak terbatas. Perkembangan ini pada akhirnya menimbulkan kekecewaan dan ketidakpuasan di mata rakyat yang kemudian menginginkan reformasi konsep kekuasaan penguasa. Dari sinilah kemudian lahir istilah pembatasan kekuasaan yang dikenal dengan istilah konstitusionalisme. Sehingga tidak heran jika kemudian konstitusionalisme dianggap sebagai sebuah keniscayaan di zaman modern seperti sekarang.
Basis pokoknya adalah kesepakatan umum atau persetujuan  (consensus)  di  antara mayoritas rakyat  mengenai bangunan  yang  diidealkan  berkenaan  dengan  negara.  Organisasi negara itu diperlukan oleh warga masyarakat politik agar kepentingan mereka bersama dapat dilindungi atau dipromosikan melalui pembentukan dan penggunaan mekanisme yang disebut negara. Kata kuncinya adalah konsensus atau ‘general agreement’. Jika kesepakatan umum  itu runtuh, maka runtuh  pula  legitimasi  kekuasaan negara yang bersangkutan, dan pada gilirannya perang saudara dapat terjadi. Konsensus  yang menjamin tegaknya  konstitusionalisme  di  zaman modern pada umumnya dipahami bersandar pada tiga elemen:
·      Kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama (the general goals of society or general acceptance of the same philosophy of government). Ini berkenaan dengan cita-cita bersama yang sangat menentukan tegaknya konstitusi dan konstitusionalisme di suatu Negara. Karena cita-cita bersama itulah yang pada puncak abstraksinya paling mungkin mencerminkan kesamaan-kesamaan kepentingan di antara sesame warga masyarakat yang pada kenyataannya harus hidup di tengah pluralisme atau kemajemukan.
·      Kesepakatan tentang ‘the rule of law’ sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara (the basis of government). Bahwa basisi pemerintahan didasarkan atas aturan hokum dan konstitusi. Kesepakatan ke dua ini juga sangat prinsipal karena dalam setiap Negara harus ada keyakinan bersama bahwa apapun yang hendak dilakukan dalam konteks penyelenggaraan Negara haruslah di dasarkan atas ‘ruke of the game’ yang ditentukan bersama.
·      Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedur ketatanegaraan (the form of institutions and procedures). Kesepakatan ini berkenaan dengan:
a.    Bangunan organ Negara dan prosedur-prosedur yang mengatur kekuasaannya.
b.    Hubungan-hubungan antar organ Negara itu dengan sama lain.
c.    Hubungan antar organ-organ itu dengan warga Negara.
Dengan adanya kesepakatan itu, maka isi konstitusu dapat dirumuskan dengan mudah karena benar-benar mencerminkan keinginan bersama berkenaan dengan institusi kenegaraaan dan mekanisme ketatanegaraan yang hendak dikembangkan dalam kerangka kehidupan Negara berkonstitusi.  Keseluruhan  kesepakatan  tersebut  di  atas,  pada  intinya  menyangkut prinsip pengaturan dan pembatasan kekuasaan. Konstitusionalisme mengatur dua hubungan yang saling berkaitan satu sama lain, yaitu: Pertama, hubungan antara pemerintah dan warga Negara; dan Kedua: hubungan antara lembaga pemerintahan yang satu dengan lembaga pemerintahan yang lain. Karena itu, biasanya isi konstitusi dimaksudkan untuk mengatur mengenai tigal hal yang penting, yaitu:
a.    Menentukan pembatasan kekuasaan organ-organ Negara.
b.    Mengatur hubungan antara lembaga-lembaga Negara yang satu dengan yang lain.
c.    Mengatur hubungan kekuasaan antara lembaga-lembaga Negara dengan warga Negara
2.    Pembagian Konstitusi dan Kedudukan Konstitusi
Konstitusi memiliki beberapa klasifikasi dalam bebrapa persepektif sebagai berikut:
1.      Berdasarkan adanya dokumentasi kontitusi terbagi menjadi kontitusi tertulis dan tidak tertulis. Sebagamana namanya kontitusi tertulis adalah kontitusi yang tertuliskan dan terdokumentasikan dalam betuk tertulis. Menrut amos j.teaslee dalam bukunya kontitution of nation hampir semua negara di dunia mempunyai kontitusi terulis. Hanya Inggris dan Kanada yang tidak mempunyai kontitusi tertulis. Adapun konstitusi tertulis itu seperti halnya hukum tidak tertulis yang berdasarkan atas adat kebiasaan.
2.      Berdasarkan sifat kontitusi,K.C. Wheare, seorang ahli hukum kontitusi inggris,membagi konstitusi menjadi dua, yaitu kontitiusi riged(kaku) dan kontitusi yang flexibel. Konstitusi yang rigid adalah kontitusi yang bisa diamandemenkan, tetapi harus melalui proses khusus. Kekususan proses amandemen ini dimaksudkan agar tidak terlalau mudah dilakakukan sehinggan kontitusi tidak mudah berubah. Adapun kontitusi flexibel adalah kontitusi yang dapat diamandemen tanpa melalui proses khusus. Dengan mudahnya proses yang dilaakukan untuk mengubah kontitiusi, rakyat dapat mengusulkan amandemen kontitusi saat mereka menenmukan hal tidak sesuai dengan kontitusi tersebut.
3.      Berdasarkan subyek yang berhak mengamandemenkan kontitusi, K.C. Wheare membagi kontitusi menjadi dua. Pertama, kontitusi yang kompreme terhadap legislatif, yaitu tidak dapat diamandemen oleh badan legislatif. Kedua konstitusi yang tidak supreme terhadap legislatif, yaitu kontitusi yang dapat diubah oleh lembaga legislatif.
4.      Berdasarkan proses pendistribusuan kekuasaan pemerintah, K.C. Wheara membagi konstitusi menjadi dua yaitu konstitusi kesatuan adalah kekuasaan legislatif pusat dalam mengatur legislatif di bawahnya dan konstitusi federal adalah kekuasaan pemerintah dibagi antara pemerintah untuk seluruh negara dan pemerintah untuk negara negara bagian.




BAB 7
HAK ASASI MANUSIA dan HAK KONSTITUSIONAL
A.    Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia atau disingkat “HAM” merupakan hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia yang didapatkan sejak lahir dimana secara kodrati ham sudah melekat dalam diri manusia dan tak ada satupun orang yang berhak mengganggu gugat karena ham bagian dari anugrah tuhan, itulah keyakinan yang dimiliki oleh manusia yang sadar bahwa kita semua makhluk ciptaan tuhan yang memiliki derajat yang sama dengan manusia yang lainnya sehingga mesti berhak bebas dan memiliki martabat serta hak-hak secara sama. Mulai lahir, manusia telah mempunyai hak asasi yang mesti dijunjung tinggi dan diakui semua orang. Hak tersebut lebih penting dari hak seorang penguasa atau kepala suku. Hak asasi berasal dibanding tuhan yang maha tunggal, diberikan kepada manusia. Bakal tetapi, hak asasi acap kali dilanggar manusia bakal mempertahankan hak pribadinya.
Hak asasi manusia (ham) mucul dari keyakinan manusia itu sendiri bahwasanya semua manusia selaku makhluk rakitan tuhan adalah sama serta sederajat. Manusia dilahirkan lepas dan memiliki martabat juga hak-hak yang sama. Bagi dasar itulah manusia mesti diperlakukan secara sama setimpal dan beradab. Ham bersifat universal, artinya berlaku bakal semua manusia tanpa mebeda-bedakannya berdasarkan atas ras, keyakinan, suku dan bangsa (etnis).
Berbicara tentang hak asasi manusia (ham), cakupannya sangatlah luas, baik ham yang bersifat individual (perseorangan) maupun ham yang bersifat komunal atau kolektif (masyarakat). Upaya penegakannya juga sudah berlangsung berabad-abad, walaupun di berbagai belahan dunia termasuk indonesia, secara eksplisit baru terlihat sejak berakhirnya perang dunia ii, dan semakin intensif sejak akhir abad ke-20. Sudah banyak juga dokumen yang dihasilkan tentang hal itu, yang dari waktu ke waktu terus bertambah. Khusus dalam kehidupan kita berbangsa, sejak beberapa dasawarsa terakhir ini terlihat perkembangan yang cukup menggembirakan sehubungan dengan upaya penegakan dan pemenuhan ham ini. Misalnya kita melihat terbentuknya sejumlah komisi nasional ham; ada yang bersifat umum atau menyeluruh (yaitu komnas ham), dan ada juga yang bersifat khusus, misalnya untuk perempuan (komnas perempuan) dan untuk anak (komnas anak). Di bidang perundang-undangan, perkembangan terakhir yang patut dicatat antara lain adalah hasil amandemen ke-4 uud 1945 pada tahun 2002, yang antara lain membuat ditambahkannya satu bab khusus tentang ham (yaitu bab xa, yang terdiri dari 10 pasal, yaitu pasal 28 a -28 j. Bab dan pasal-pasal ini banyak menyerap (mengadopsi dan meratifikasi ) isi the universal declaration of human rights maupun dokumen-dokumen ham lainnya yang disusun dan disepakati secara internasional.
1.      Ciri Khusus Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia atau ham mempunya beberapa ciri-ciri khusus jika dibandingkan dengan hak-hak yang lainnya. Berikut ciri khusus hak asasi manusia. 
1.      Tidak dapat dicabut, ham tidak dapat dihilangkan atau diserahkan.
2.      Tidak dapat dibagi, semua orang berhak untuk mendapatkan semua hak, baik itu hak sipil, politik, hak ekonomi, sosial, dan budaya.
3.      Hakiki, ham merupakan hak asasi semua manusia yang sudah pada saat manusia itu lahir.
4.      Universal, ham berlaku bagi semua orang tanpa memandang status, suku, jenis kelamin, atau perbedaan yang lainnya. Persamaan merupakan salah satu dari berbagai ide hak asasi
2.      Sejarah Lahirnya Ham
a.      Piagam Madinah (Mekah).
Piagam madinah (bahasa arab: صحیفة المدینهshahifatul madinah) juga dikenal dengan sebutan konstitusi madinah, ialah sebuah dokumen yang disusun oleh nabi muhammad saw, yang merupakan suatu perjanjian formal antara dirinya dengan semua suku-suku dan kaum-kaum penting di yathrib (kemudian bernama madinah) pada tahun 622 masehi. Dokumen tersebut disusun sejelas-jelasnya dengan tujuan utama untuk menghentikan pertentangan sengit antara bani ‘aus dan bani khazraj di madinah. Untuk itu dokumen tersebut menetapkan sejumlah hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi kaum muslim, kaum yahudi, dan komunitas penyembah berhala di madinah; sehingga membuat mereka menjadi suatu kesatuan komunitas, yang dalam bahasa arab disebut ummah. Piagam madinah terdiri dari 47 pasal yang terdiri dari hal mukaddimah,dilanjutkan oleh hal-hal seputar pembentukan umat, persatuan seagama, persatuan segenap warga negara, golongan minoritas, tugas warga negara, perlindungan negara, pimpinan negara, politik perdamaian dan penutup. Disinilah kita bisa melihat peran dan fungsi muhammad sebagai seorang negarawan sekaligus seorang pemimpin negara yang besar dan berkualitas sepanjang sejarah peradaban manusia, disamping posisi beliau selaku seorang nabi dan rasul secara keagamaan.
b.      Hak Asasi Manusia di Yunani
Filosof yunani, seperti socrates (470-399 sm) dan plato (428-348 sm) meletakkan dasar bagi perlindungan dan jaminan diakuinya hak – hak asasi manusia. Konsepsinya menganjurkan masyarakat untuk melakukan sosial kontrol kepada penguasa yang zalim dan tidak mengakui nilai – nilai keadilan dan kebenaran. Aristoteles (348-322 sm) mengajarkan pemerintah harus mendasarkan kekuasaannya pada kemauan dan kehendak warga negaranya.
c.       Hak Asasi Manusia di Inggris
Inggris sering disebut–sebut sebagai negara pertama di dunia yang memperjuangkan hak asasi manusia. Tonggak pertama bagi kemenangan hak-hak asasi terjadi di inggris. Perjuangan tersebut tampak dengan adanya berbagai dokumen kenegaraan yang berhasil disusun dan disahkan. Dokumen-dokumen tersebut adalah sebagai berikut :
Magna Charta
Pada awal abad xii raja richard yang dikenal adil dan bijaksana telah diganti oleh raja john lackland yang bertindak sewenang–wenang terhadap rakyat dan para bangsawan. Tindakan sewenang-wenang raja john tersebut mengakibatkan rasa tidak puas dari para bangsawan yang akhirnya berhasil mengajak raja john untuk membuat suatu perjanjian yang disebut magna charta atau piagam agung.
Magna charta dicetuskan pada 15 juni 1215 yang prinsip dasarnya memuat pembatasan kekuasaan raja dan hak asasi manusia lebih penting daripada kedaulatan raja. Tak seorang pun dari warga negara merdeka dapat ditahan atau dirampas harta kekayaannya atau diasingkan atau dengan cara apapun dirampas hak-haknya, kecuali berdasarkan pertimbangan hukum. Piagam magna charta itu menandakan kemenangan telah diraih sebab hak-hak tertentu yang prinsip telah diakui dan dijamin oleh pemerintah. Piagam tersebut menjadi lambang munculnya perlindungan terhadap hak-hak asasi karena ia mengajarkan bahwa hukum dan undang-undang derajatnya lebih tinggi daripada kekuasaan raja.
Isi magna charta adalah sebagai berikut :
Ø  raja beserta keturunannya berjanji akan menghormati kemerdekaan, hak, dan kebebasan gereja inggris.
Ø  raja berjanji kepada penduduk kerajaan yang bebas untuk memberikan hak-hak sebagi berikut :
·         para petugas keamanan dan pemungut pajak akan menghormati hak-hak penduduk.
·         polisi ataupun jaksa tidak dapat menuntut seseorang tanpa bukti dan saksi yang sah.
·         seseorang yang bukan budak tidak akan ditahan, ditangkap, dinyatakan bersalah tanpa perlindungan negara dan tanpa alasan hukum sebagai dasar tindakannya.
·         apabila seseorang tanpa perlindungan hukum sudah terlanjur ditahan, raja berjanji akan mengoreksi kesalahannya.
Petition Of Rights
Pada dasarnya petition of rights berisi pertanyaan-pertanyaan mengenai hak-hak rakyat beserta jaminannya. Petisi ini diajukan oleh para bangsawan kepada raja di depan parlemen pada tahun 1628. Isinya secara garis besar menuntut hak-hak sebagai berikut :
Ø  pajak dan pungutan istimewa harus disertai persetujuan.
Ø  warga negara tidak boleh dipaksakan menerima tentara di rumahnya.
Ø  tentara tidak boleh menggunakan hukum perang dalam keadaan damai.
Hobeas Corpus Act
Hobeas corpus act adalah undang- undang yang mengatur tentang penahanan seseorang dibuat pada tahun 1679. Isinya adalah sebagai berikut :
Ø  seseorang yang ditahan segera diperiksa dalam waktu 2 hari setelah penahanan.
Ø  alasan penahanan seseorang harus disertai bukti yang sah menurut hukum.
Bill Of Rights
Bill of rights merupakan undang-undang yang dicetuskan tahun 1689 dan diterima parlemen inggris, yang isinya mengatur tentang :
Ø  kebebasan dalam pemilihan anggota parlemen.
Ø  kebebasan berbicara dan mengeluarkan pendapat.
Ø  pajak, undang-undang dan pembentukan tentara tetap harus seizin parlemen.
Ø  hak warga negara untuk memeluk agama menurut kepercayaan masing-masing .
Ø  parlemen berhak untuk mengubah keputusan raja.
d.      Hak Asasi Manusia Di Amerika Serikat
Pemikiran filsuf john locke (1632-1704) yang merumuskan hak-hak alam,seperti hak atas hidup, kebebasan, dan milik (life, liberty, and property) mengilhami sekaligus menjadi pegangan bagi rakyat amerika sewaktu memberontak melawan penguasa inggris pada tahun 1776. Pemikiran john locke mengenai hak – hak dasar ini terlihat jelas dalam deklarasi kemerdekaan amerika serikat yang dikenal dengan declaration of independence of the united states.
Revolusi amerika dengan declaration of independence-nya tanggal 4 juli 1776, suatu deklarasi kemerdekaan yang diumumkan secara aklamasi oleh 13 negara bagian, merupakan pula piagam hak – hak asasi manusia karena mengandung pernyataan “bahwa sesungguhnya semua bangsa diciptakan sama derajat oleh maha pencipta. Bahwa semua manusia dianugerahi oleh penciptanya hak hidup, kemerdekaan, dan kebebasan untuk menikmati kebhagiaan. John locke menggambarkan keadaan status naturalis, ketika manusia telah memiliki hak-hak dasar secara perorangan. Dalam keadaan bersama-sama, hidup lebih maju seperti yang disebut dengan status civilis, locke berpendapat bahwa manusia yang berkedudukan sebagai warga negara hak-hak dasarnya dilindungi oleh negara.
Declaration of independence di amerika serikat menempatkan amerika sebagai negara yang memberi perlindungan dan jaminan hak-hak asasi manusia dalam konstitusinya, kendatipun secara resmi rakyat perancis sudah lebih dulu memulainya sejak masa rousseau. Kesemuanya atas jasa presiden thomas jefferson presiden amerika serikat lainnya yang terkenal sebagai “pendekar” hak asasi manusia adalah abraham lincoln, kemudian woodrow wilson dan jimmy carter.
Amanat presiden flanklin d. Roosevelt tentang “empat kebebasan” yang diucapkannya di depan kongres amerika serikat tanggal 6 januari 1941 yakni :
Ø  kebebasan untuk berbicara dan melahirkan pikiran (freedom of speech and expression).
Ø  kebebasan memilih agama sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya (freedom of religion).
Ø  kebebasan dari rasa takut (freedom from fear).
Ø  kebebasan dari kekurangan dan kelaparan (freedom from want).
Kebebasan- kebebasan tersebut dimaksudkan sebagai kebalikan dari kekejaman dan penindasan melawan fasisme di bawah totalitarisme hitler (jerman), jepang, dan italia. Kebebasan – kebebasan tersebut juga merupakan hak (kebebasan) bagi umat manusia untuk mencapai perdamaian dan kemerdekaan yang abadi. Empat kebebasan roosevelt ini pada hakikatnya merupakan tiang penyangga hak-hak asasi manusia yang paling pokok dan mendasar.
e.       Hak Asasi Manusia Di Prancis
Perjuangan hak asasi manusia di prancis dirumuskan dalam suatu naskah pada awal revolusi prancis. Perjuangan itu dilakukan untuk melawan kesewenang-wenangan rezim lama. Naskah tersebut dikenal dengan declaration des droits de l’homme et du citoyen yaitu pernyataan mengenai hak-hak manusia dan warga negara. Pernyataan yang dicetuskan pada tahun 1789 ini mencanangkan hak atas kebebasan, kesamaan, dan persaudaraan atau kesetiakawanan (liberte, egalite, fraternite).
Lafayette merupakan pelopor penegakan hak asasi manusia masyarakat prancis yang berada di amerika ketika revolusi amerika meletus dan mengakibatkan tersusunnya declaration des droits de i’homme et du citoyen. Kemudian di tahun 1791, semua hak-hak asasi manusia dicantumkan seluruhnya di dalam konstitusi prancis yang kemudian ditambah dan diperluas lagi pada tahun 1793 dan 1848. Juga dalam konstitusi tahun 1793 dan 1795. Revolusi ini diprakarsai pemikir – pemikir besar seperti : j.j. rousseau, voltaire, serta montesquieu. Hak asasi yang tersimpul dalam deklarasi itu antara lain :


1. manusia dilahirkan merdeka dan tetap merdeka.
2.      manusia mempunyai hak yang sama.
3.      manusia merdeka berbuat sesuatu tanpa merugikan pihak lain.
4.      warga negara mempunyai hak yang sama dan mempunyai kedudukan serta pekerjaan umum.
5.      manusia tidak boleh dituduh dan ditangkap selain menurut undang-undang.
6.      manusia mempunai kemerdekaan agama dan kepercayaan.
7.      manusia merdeka mengeluarkan pikiran.
8.      adanya kemerdekaan surat kabar.
9.      adanya kemerdekaan bersatu dan berapat.
10.  adanya kemerdekaan berserikat dan berkumpul.
11.  Adanya kemerdekaan bekerja,berdagang, dan melaksanakan kerajinan.
12.  adanya kemerdekaan rumah tangga.
13.  adanya kemerdekaan hak milik.
14.  adanya kemedekaan lalu lintas.
15.  adanya hak hidup dan mencari nafkah.


f.       Hak Asasi Manusia Oleh PBB
Setelah perang dunia kedua, mulai tahun 1946, disusunlah rancangan piagam hak-hak asasi manusia oleh organisasi kerja sama untuk sosial ekonomi perserikatan bangsa-bangsa yang terdiri dari 18 anggota. Pbb membentuk komisi hak asasi manusia (commission of human right). Sidangnya dimulai pada bulan januari 1947 di bawah pimpinan ny. Eleanor rossevelt. Baru 2 tahun kemudian, tanggal 10 desember 1948 sidang umum pbb yang diselenggarakan di istana chaillot, paris menerima baik hasil kerja panitia tersebut. Karya itu berupa universal declaration of human rights atau pernyataan sedunia tentang hak – hak asasi manusia, yang terdiri dari 30 pasal. Dari 58 negara yang terwakil dalam sidang umum tersebut, 48 negara menyatakan persetujuannya, 8 negara abstain, dan 2 negara lainnya absen. Oleh karena itu, setiap tanggal 10 desember diperingati sebagai hari hak asasi manusia.
Universal declaration of human rights antara lain mencantumkan, bahwa setiap orang mempunyai hak :


Ø  Hidup
Ø  kemerdekaan dan keamanan badan
Ø  diakui kepribadiannya
Ø  memperoleh pengakuan yang sama dengan orang lain menurut hukum untuk mendapat jaminan hokum dalam perkara pidana, seperti diperiksa di muka umum, dianggap tidak bersalah kecuali ada bukti yang sah
Ø  masuk dan keluar wilayah suatu Negara
Ø  mendapatkan asylum
Ø  mendapatkan suatu kebangsaan
Ø  mendapatkan hak milik atas benda
Ø  bebas mengutarakan pikiran dan perasaan
Ø  bebas memeluk agama
Ø  mengeluarkan pendapat
Ø  berapat dan berkumpul
Ø  mendapat jaminan social
Ø  mendapatkan pekerjaan
Ø  berdagang
Ø  mendapatkan pendidikan
Ø  turut serta dalam gerakan kebudayaan dalam masyarakat
Ø  menikmati kesenian dan turut serta dalam kemajuan keilmuan


Majelis umum memproklamirkan pernyataan sedunia tentang hak asasi manusia itu sebagai tolak ukur umum hasil usaha sebagai rakyat dan bangsa dan menyerukan semua anggota dan semua bangsa agar memajukan dan menjamin pengakuan dan pematuhan hak-hak dan kebebasan- kebebasan yang termasuk dalam pernyataan tersebut. Meskipun bukan merupakan perjanjian, namun semua anggota pbb secara moral berkewajiban menerapkannya.
g.      Hak Asasi Manusia di Indonesia
Hak asasi manusia di indonesia bersumber dan bermuara pada pancasila. Yang artinya hak asasi manusia mendapat jaminan kuat dari falsafah bangsa, yakni pancasila. Bermuara pada pancasila dimaksudkan bahwa pelaksanaan hak asasi manusia tersebut harus memperhatikan garis-garis yang telah ditentukan dalam ketentuan falsafah pancasila. Bagi bangsa indonesia, melaksanakan hak asasi manusia bukan berarti melaksanakan dengan sebebas-bebasnya, melainkan harus memperhatikan ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam pandangan hidup bangsa indonesia, yaitu pancasila. Hal ini disebabkan pada dasarnya memang tidak ada hak yang dapat dilaksanakan secara multak tanpa memperhatikan hak orang lain.
Setiap hak akan dibatasi oleh hak orang lain. Jika dalam melaksanakan hak, kita tidak memperhatikan hak orang lain,maka yang terjadi adalah benturan hak atau kepentingan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
Negara republik indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat dan tidak terpisah dari manusia yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusisan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.
Berbagai instrumen hak asasi manusia yang dimiliki negara republik indonesia,yakni:
Ø  undang – undang dasar 1945.
Ø  ketetapan mpr nomor xvii/mpr/1998 tentang hak asasi manusia.
Ø  undang – undang nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia.
Di indonesia secara garis besar disimpulkan, hak-hak asasi manusia itu dapat dibeda-bedakan menjadi sebagai berikut :
Ø  hak – hak asasi pribadi (personal rights) yang meliputi kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan memeluk agama, dan kebebasan bergerak.
Ø  hak – hak asasi ekonomi (property rights) yang meliputi hak untuk memiliki sesuatu, hak untuk membeli dan menjual serta memanfaatkannya.
Ø  hak – hak asasi politik (political rights) yaitu hak untuk ikut serta dalam pemerintahan, hak pilih (dipilih dan memilih dalam pemilu) dan hak untuk mendirikan partai politik.
Ø  hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan ( rights of legal equality).
Ø  hak – hak asasi sosial dan kebudayaan ( social and culture rights). Misalnya hak untuk memilih pendidikan dan hak untukmengembangkan kebudayaan.
Ø  hak asasi untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan (procedural rights). Misalnya peraturan dalam hal penahanan, penangkapan, penggeledahan, dan peradilan.
Secara konkret untuk pertama kali hak asasi manusia dituangkan dalam piagam hak asasi manusia sebagai lampiran ketetapan permusyawarahan rakyat republik indonesia nomor xvii/mpr/1998.
B.     Hak Konstitusional Warga Negara Indonesia
a.      Hak Atas Kewarganegaraan
·         Hak atas status kewarganegaraan pasal 28d (4).
·         Hak atas kesamaan kedudukan di dalam hokum dan pemerintahan pasal 27 (1), pasal 28d (1), pasal 28d (3).
b.      Hak Atas Hidup
·         Hak untuk hidup serta mempertahankan hidup dan kehidupannya. Pasal 28a, pasal 28i (1).
·         Hak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang pasal 28b (2).
c.       Hak Untuk Mengembangkan Diri.
·         Hak untuk mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar, mendapat pendidikan, dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya. Pasal 28c (1).
·         Hak atas jaminan social memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat pasal 28h (3).
·         Hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosial pasal 28f.
·         Hak mendapat pendidikan pasal 31 (1), pasal 28c (1).
d.      Hak Atas Kemerdekaan Pikiran & Kebebasan Memilih
·         Hak atas kemerdekaan pikiran dan hati nurani pasal 28i (1).
·         Hak atas kebebasan meyakini kepercayaan pasal 28e (2).
·         Hak untuk bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya pasal 28e (1), pasal 29 (2).
·         Hak untuk bebas memilih pendidikan dan pengajaran , pekerjaan, kewarganegaraan, tempat tinggal pasal 28e (1).
·         Hak atas kebebasan berserikat dan berkumpul pasal 28e (3).
·         Hak untuk menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nurani pasal 28e (2).
e.       Hak Atas Informasi.
·         Hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi pasal 28f.
·         Hak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis swaluran yang tersedia pasal 28f.
f.       Hak Atas Kerja & Penghidupan Layak.
·         Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan pasal 27 (2).
·         Hak untuk bekerja dan mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja pasal 28d (2).
·         Hak untuk tidak diperbudak pasal 28i (1).
g.      Hak Atas Kepemilikan & Perumahan.
·         Hak untuk mempunyai hak milik pribadi pasal 28h (4).
·         Hak untuk bertempat tinggal pasal 28h (1).
h.      Hak Atas Kesehatan & Lingkungan Sehat.
·         Hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin pasal 28h (1).
·         Hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat pasal 28h (1).
·         Hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan pasal 28b (1).
i.        Hak Berkeluarga.
·         Hak untuk membentuk keluarga pasal 28b (1).
j.        Hak Atas Kepastian Hukum & Keadialan.
·         Hak atas pengakuan, jaminan dan perlindungan dan kepastian hokum yang adil pasal 28d (1).
·         Hak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum pasal 28d (1), pasal 27 (1).
·         Hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum pasal 28 (1).
k.      Hak Bebas Dari Ancaman, Diskriminasi & Kekerasan.
·         Hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi pasal 28g (1).
·         Hak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia pasal 28g (2).
·         Hak untuk bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apapun pasal 28i (2).
·         Hak untuk mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadialan. Pasal 28h (2).
l.        Hak Atas Perlindungan.
·         Hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaanya pasal 28g (1).
·         Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif pasal 28i (2).
·         Hak atas perlindungan identitas budaya dan hak masyarakat tradisional yang selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban pasal 28i (3).
·         Hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi pasal 28b (2), pasal 28i (2).
·         Hak untuk memperoleh suaka politik dari negara lain pasal 28g (2).
m.    Hak Memperjuangkan Hak.
·         Hak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif pasal 28c (2).
·         Hak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat pasal 28, pasal 28e (3).
n.      Hak Atas Pemerintahan.
·         Hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan pasal 28d (3), pasal 27 (1).





BAB 8

PEMBAGIAN KEKUASAAN SECARA HORIZONTAL DAN VERTICAL

Dalam sebuah praktek ketatanegaraan tidak jarang terjadi pemusatan kekuasaan pada satu tangan, sehingga terjadi pengelolaan sistem pemerintahan yang dilakukan secara absolut atau otoriter, sebut saja misalnya seperti dalam bentuk monarki dimana kekuasaan berada ditangan seorang raja. Maka untuk menghindari hal tersebut perlu adanya pembagian/pemisahan kekuasaan, sehingga terjadi kontrol dan keseimbangan diantara lembaga pemegang kekuasaan.

A.    Pengertian Pembagian Kekuasaan.
Pembagian kekuasaan terdiri dari dua kata, yaitu “pembagian” dan “kekuasaan”. Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) pembagian memiliki pengertian proses menceraikan menjadi beberapa bagian atau memecahkan (sesuatu) lalu memberikannya kepada pihak lain. Sedangkan kekuasaan adalah wewenang atas sesuatu atau untuk menentukan (memerintah, mewakili, mengurus, dsb) sesuatu. Sehingga secara harfiah pembagian kekuasaan adalah proses menceraikan wewenang yang dimiliki oleh Negara untuk (memerintah, mewakili, mengurus, dsb) menjadi beberapa bagian (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) untuk diberikan kepada beberapa lembaga Negara untuk menghindari pemusatan kekuasaan (wewenang) pada satu pihak/ lembaga.
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim memaknai pembagian kekuasaan berarti bahwa kekuasaan itu memang dibagi-bagi dalam beberapa bagian (legislatif, eksekutif dan yudikatif), tetapi tidak dipisahkan. Hal ini membawa konsekuensi bahwa diantara bagian-bagian itu dimungkinkan ada koordinasi atau kerjasama (Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1988: 140). Berbeda dengan pendapat dari Jimly Asshiddiqie yang mengatakan kekuasaan selalu harus dibatasi dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat checks dan balances dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi serta mengendalikan satu sama lain, namun keduanya ada kesamaan, yaitu memungkinkan adanya koordinasi atau kerjasama. Selain itu pembagian kekuasaan baik dalam arti pembagian atau pemisahan yang diungkapkan dari keduanya juga mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk membatasi kekuasaan sehingga tidak terjadi pemusatan kekuasaan pada satu tangan yang memungkinkan terjadinya kesewanang-wenangan. Pada hakekatnya pembagian kekuasaan dapat dibagi ke dalam dua cara, yaitu (Zul Afdi Ardian, 1994: 62):
1.      Secara vertikal, yaitu pembagian kekuasaan menurut tingkatnya. Maksudnya pembagian kekuasaan antara beberapa tingkat pemerintahan, misalnya antara pemerintah pusat dengan dan pemerintah daerah dalam negara kesatuan, atau antara pemerintah federal dan pemerintah negara bagian dalam suatu suatu negara federal.
2.      Secara horizontal, yaitu pembagian kekuasaan menurut fungsinya. Dalam pembagian ini lebih menitikberatkan pada pembedaan antara fungsi pemerintahan yang bersifat legislatif, eksekutif dan yudikatif.
1.      Pembagian Kekuasaan Menurut John Locke.
John Locke, dalam bukunya yang berjudul “Two Treaties of Goverment” mengusulkan agar kekuasaan di dalam negara itu dibagi dalam organ-organ negara yang mempunyai fungsi yang berbeda-beda. Menurut beliau agar pemerintah tidak sewenang-wenang, maka harus ada pembedaan pemegang kekuasaan-kekuasaan ke dalam tiga macam kekuasaan,yaitu:
1.      Kekuasaan Legislatif (membuat undang-undang).
2.      Kekuasaan Eksekutif (melaksanakan undang-undang).
3.      Kekuasaaan Federatif (melakukan hubungan diplomtik dengan negara-negara lain).
Pendapat John Locke inilah yang mendasari muncul teori pembagian kekuasaan sebagai gagasan awal untuk menghindari adanya pemusatan kekuasaan (absolut) dalam suatu negara.
2.      Konsep Trias Politica Montesquieu.
Menurut Montesquieu seorang pemikir berkebangsaan Perancis mengemukakan teorinya yang disebut trias politica. Dalam bukunya yang berjudul “L’esprit des Lois” pada tahun 1748 menawarkan alternatif yang agak berbeda dari pendapat John Locke. Menurut Montesquieu untuk tegaknya negara demokrasi perlu diadakan pemisahan kekuasaan negara ke dalam 3 organ, yaitu:
a.       Kekuasaan Legislatif (membuat undang-undang).
b.      Kekuasaan Eksekutif (melaksanakan undang-undang).
c.       Kekuasaaan yudikatif (mengadili bila terjadi pelanggaran atas undang-undang).
Konsep yang dikemukakan oleh John Locke dengan konsep yang dikemukakan oleh Montesquieu pada dasarnya memiliki perbedaan, yaitu:
a.       Menurut John Locke kekuasaan eksekutif merupakan kekuasaan yang mencakup kekuasaan yuikatif karena mengadili itu berarti melaksanakan undang-undang, sedangkan kekuasaan federatif (hubungan luar negeri) merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri.
b.      Menurut Montesquieu kekuasaan eksekutif mencakup kekuasaan ferderatif karena melakukan hubungan luar negeri itu termasuk kekuasaan eksekutif, sedangkan kekuasaan yudikatif harus merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri dan terpisah dari eksekutif.
c.       Pada kenyataannya ternyata, sejarah menunjukkan bahwa cara pembagian kekuasaan yang dikemukakan Montesquieu yang lebih diterima. Kekuasaan ferderatif diberbagai negara sekarang ini dilakukan oleh eksekutif melalui Departemen Luar Negerinya masing-masing (Moh. Mahfud MD, 2001: 73). Seperti halnya dalam praktek ketatanegaraan Indonesia selama ini. Mengenai pembagian kekuasaan seperti yang dikemukakan Montesquieu, yang membagi kekuasaan itu menjadi tiga kekuasaan, yaitu: legislatif, eksekutif, dan yudikatif, Jimly Asshiddiqie menjelaskan lagi mengenai cabang-cabang dari kekuasaan-kekuasaan itu.
Cabang kekuasaan legislatif terdiri dari:
a.       Fungsi Pengaturan (Legislasi).
b.      Fungsi Pengawasan (Control).
c.       Fungsi Perwakilan (Representasi).
Kekuasaan Eksekutif juga mempunyai cabang kekuasaan yang meliputi : 
a.       Sistem Pemerintahan.
b.      Kementerian Negara.
Begitu juga dengan kekuasaan Yudikatif mempunyai cabang kekuasaan sebagai berikut :
a.       Kedudukan Kekuasaan Kehakiman.
b.      Prinsip Pokok Kehakiman.
c.       Struktur Organisasi Kehakiman.
Jadi menurut Jimly Asshiddiqie kekuasaan itu masing-masing mempunyai cabang kekuasaan sebagai bagian dari kekuasaan yang dipegang oleh lembaga negara dalam penyelenggaraan negara.


3.      Pembagian Kekuasaan Di Indonesia.
Dalam ketatanegaraan Indonesia sendiri, istilah “pemisahan kekuasaan” (separation of power) itu sendiri cenderung dikonotasikan dengan pendapat Montesquieu secara absolut. Konsep pemisahan kekuasaan tersebut dibedakan secara diametral dari konsep pembagian kekuasaan (division of power) yang dikaitkan dengan sistem supremasi MPR yang secara mutlak menolak ide pemisahan kekuasaan ala trias politica Monstesquieu. Dalam sidang-sidang BPUPKI 1945, Soepomo misalnya menegaskan bahwa UUD 1945 tidak menganut doktrin trias politica dalam arti paham pemisahan kekuasaan, melainkan menganut sistem pembagian kekuasaan.
Di sisi lain Jimly Asshiddiqie, berpendapat bahwa setelah adanya perubahan UUD 1945 selama empat kali, dapat dikatakan sistem konstitusi kita telah menganut doktrin pemisahan itu secara nyata. Beberapa yang mendukung hal itu antara lain adalah :
1.      adanya pergeseran kekuasaan legislatif dari tangan Presiden ke DPR.
2.      diadopsinya sistem pengujian konstitusional atas undang-undang sebagai produk legislatif oleh Mahkamah Konstitusi. Dimana sebelumnya undang-undang tidak dapat diganggu gugat, hakim hanya dapat menerapkan undang-undang dan tidak boleh menilai undang-undang.
3.      diakui bahwa lembaga pelaksana kedaulatan rakyat itu tidak hanya MPR, melainkan semua lembaga negara baik secara langsung atau tidak langsung merupakan penjelmaan kedaulatan rakyat.
4.      MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, namun sebagai lembaga negara yang sederajat dengan lembaga negara lainnya.
5.      hubungan-hubungan antar lembaga negara itu bersifat saling mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip checks and balances.
Jadi berdasarkan kelima alasan tersebut, maka UUD 1945 tidak lagi dapat dikatakan menganut prinsip pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal maupun menganut ajaran trias politica Montesquieu yang memisahkan cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif secara mutlak dan tanpa diiringi oleh hubungan yang saling mengendalikan satu sama lain. Dengan perkataan lain, sistem baru yang dianut oleh UUD 1945 pasca perubahan keempat adalah sistem pemisahan kekuasaan berdasarkan prinsip checks and balances, sehingga masih ada koordinasi antar lembaga negara.
4.      latar Belakang Checks and Balances di Indonesia.
Penyelenggaraan kedaulatan rakyat sebelum perubahan UUD 1945 melalui sistem MPR dengan prinsip terwakili telah menimbulkan kekuasaan bagi presiden yang demikian besar dalam segala hal termasuk pembentukan MPR. Periode orde lama (1959-1965), seluruh anggota MPR(S) dipilih dan diangkat langsung oleh Presiden. Tidak jauh berbeda pula pada masa orde baru (1966-1998) dari 1000 orang jumlah anggota MPR, 600 orang dipilih dan ditentukan oleh Presiden. Hal tersbut menunjukan bahwa pada masa-masa itu MPR seakan-akan hanya menjadi alat untuk mempertahankan penguasa pemerintahan (presiden), yang mana pada masa itu kewenangan untuk memilih dan mengangkat Presiden dan/ atau Wakil Presiden berada di tangan MPR. Padahal MPR itu sendiri dipilih dan diangkat oleh Presiden sendiri, sehingga siapa yang menguasai suara di MPR maka akan dapat mempertahankan kekuasaannya.
Pengangkatan anggota MPR dari unsur Utusan Daerah dan unsur Utusan Golongan bagi pembentukan MPR dalam jumlah yang demikian besar juga dapat dilihat sebagai penyimpangan konstitusional, karena secara logika dalam hal kenyataan juga terlihat wakil yang diangkat akan patuh dan loyal kepada pihak yang mengangkatnya, sehingga wakil tersebut tidak lagi mengemban kepentingan daerah atau golongan yang diwakilinya. Akibatnya adalah wakil-wakil yang diangkat itu tidak lagi memiliki hubungan dengan yang diwakilinya. Namun terkait dengan hal itu, Presiden sendiri merupakan mandataris MPR yang harus bertanggung jawab kepadanya. Berdasarkan hal tersebut maka hubungan antara MPR dengan Presiden sangat sulit dilihat sebagai hubungan vertikal atau horizontal, jika terlepas dari MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara dan Presiden sebagai Lembaga Negara yang jelas mempunyai hubungan vertikal. Maka idealnya seluruh anggota MPR itu diplih rakyat melalui Pemilu. Dan di sisi lain sesuai dengan ketentuan UUD 1945, keberadaan MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara, dianggap sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakayat.
Konstruksi ini menunjukkan bahwa MPR merupakan Majelis yang mewakili kedudukan rakyat sehingga menjadikan lembaga tersebut sebagai sentral kekuasaan, yang mengatasi cabang-cabang kekuasaan lainnya. Adanya satu lembaga yang berkedudukan paling tinggi membawa konsekuensi seluruh kekuasaan lembaga-lembaga penyelenggara negara yang berada di bawahnya harus bertanggung jawab kepada MPR. Akibatnya konsep keseimbangan antara elemen-elemen penyelenggara negara atau sering disebut checks and balances system antar lembaga tinggi negara tidak dapat dijalankan.Pada sistem MPR tersebut, juga menimbulkan kekuasaan bagi presiden yang demikian besar dalam pembentukan undang-undang (fungsi Legislasi) yang seharusnya dipegang DPR. Hal tersebut dapat dilihat dari rumusan pasal 5 ayat (1) naskah asli UUD 1945 yang berbunyi: “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Berdasarkan rumusan tersebut, dapat dilihat bahwa MPR mendistribusikan kekuasaan membentuk undang-undang kepada Presiden, atau setidaknya memberikan kewenangan yang lebih kepada Presiden dalam fungsi legislasi dari pada DPR. Karena keadaan yang demikian sehingga pengawasan dan keseimbangan antar lembaga tinggi negara sangat lemah sekali. 
Orde reformasi yang dimulai pada bulan Mei 1998, yang terjadi karena berbagai krisis, baik krisis ekonomi, politik maupun moral. Gerakan reformasi itu membawa berbagai tuntutan, diantaranya adalah Amandemen UUD 1945, penghapusan doktrin dwi fungsi ABRI, penegakan hukum, HAM, dan pemberantasan KKN, serta mewujudkan kehidupan yang demokratis. Tuntutan itu muncul karena masyarakat menginginkan perubahan dalam sistem dan struktur ketatanegaraan Indonesia untuk memuwujdkan pemerintahan negara yang demokratis dengan menjamin hak asasi warga negaranya. Hasil nyata dari reformasi adalah dengan adanya perubahan UUD 1945 yang dilatar belakagi dengan adanya beberapa alasan, yaitu:
a.       Kekuasaan tertinggi di tangan MPR.
b.      Kekuasaan yang sangat besar pada Presiden.
c.       Pasal-pasal yang sifatnya terlalu “luwes” sehingga dapat menimbulkan multi tafsir.
d.      Kewenangan pada Presiden untuk mengatur hal-hal penting dengan undang-undang.
e.       Rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggaraan negara belum cukup didukung ketentuan konstitusi.
Hal-hal tersebut merupakan penyebab mengapa keseimbangan dan pengawasan terhadap lembaga penyelenggara negara dianggap sangat kurang (checks and balances system) tidak dapat berjalan sehingga harus dilakukan Perubahan UUD 1945 untuk mengatasi hal tersebut.
Perubahan UUD 1945 yang terjadi selama empat kali yang berlangsung secara berturutan pada tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002 telah membawa dampak yang besar terhadap stuktur ketatanegaraan dan sistem penyelenggaraan negara yang sangat besar dan mendasar. Perubahan itu diantara adalah menempatkan MPR sebagai lembaga negara yang mempunyai kedudukan yang sederajat dengan Lembaga Negara lainnya tidak lagi sebagai Lembaga Tertinggi Negara, pergeseran kewenangan membentuk undang-undang dari Presiden kepada DPR, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, mempetegas penerapan sistem presidensiil, pengaturan HAM, munculnya beberapa lembaga baru seperti Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial, dan lain sebagainya.
Terkait dengan perubahan kedudukan MPR setelah adanya Perubahan UUD 1945 Abdy Yuhana menjelaskan bahwa berdasarkan rumusan dari ketentuan Pasal 1 Ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945 yang berbunyi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” yang merupakan perubahan terhadap ketentuan Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 sebelumnya yang berbunyi “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”.
Dari hasil perubahan tersebut dapat dilihat bahwa konsep kedaulatan rakyat dilakukan oleh suatu Lembaga Tertinggi Negara, yaitu MPR yang dianggap sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia, sekarang melalui ketentuan tersebut telah dikembalikan kepada kepada rakyat untuk dilaksanakan sendiri. Konsekuensi dari ketentuan baru itu adalah hilangnya Lembaga Tertinggi Negara MPR yang selama ini dipandang sebagai pemegang sepenuhnya kedaulatan rakyat. Hal ini merupakan suatu perubahan yang bersifat fundamental dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, dengan begitu maka prinsip supremasi MPR telah berganti dengan prinsip keseimbangan antar lembaga negara (checks and balances). Rumusan tersebut juga memang sengaja dibuat sedemikian rupa untuk membuka kemungkinan diselenggarakannya pemilihan presiden secara langsung, agar sesuai dengan kehendak untuk menerapkan sistem pemerintahan presidensial (Abdy Yuhana, 2007: 139). Ni’matul Huda juga berpendapat bahwa dengan adanya pergeseran kewenangan membentuk undang-undang itu, maka sesungguhnya ditinggalkan pula teori “pembagian kekuasaan” (distribution of power) dengan prinsip supremasi MPR menjadi “pemisahan kekuasaan” (seperation of power) dengan prinsip checks and balances sebagai ciri melekatnya. Hal ini juga merupakan penjabaran lebih jauh dari kesepakatan untuk memperkuat sistem presidensial (Ni’matul Huda, 2003: 19). Dari dua pendapat tersebut maka dapat simpulkan bahwa Negara Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 hasil perubahan telah menganut teori “pemisahan kekuasaan” (seperation of power) untuk menjamin prinsip checks and balances demi tercapainya pemerintahan yang demokratis yang merupakan tuntutan dan cita-cita reformasi.

B.     Pembagian Kekuasaan Negara Secara Vertikal dan Horizontal Pada Negara Konfederasi, Negara Kesatuan, dan Negara Federal.

1.      Konfederasi
Konfederasi, menurut L. Oppenheim, adalah beberapa Negara yang berdaulat penuh yang untuk mempertahankan kemerdekaan ekstern dan intern, bersatu atas dasar perjanjian internasional yang diakui dengan menyelenggarakan beberapa alat perlengkapan tersendiri yang mempunyai kekuasaan tertentu terhadap negara anggota konfederasi, tetapu tidak terhadap warga negara-negara itu (L. Oppenheim dalam M. Budiarjo: 268). Dari pernyataan tersebut, secara singkat dapat diartikan bahwa konfederasi merupakan kumpulan negara-negara merdeka dan berdaulat, yang bersatu hanya karena satu kepentingan tertentu yang biasanya terletak di bidang politik luar negeri dan pertahanan bersama.
2.      Negara Kesatuan.
Negara Kesatuan, menurut C. F. Strong, adalah bentuk negara di mana wewenang legislatif tertinggi dipusatkan dalam satu badan legislatif nasional/pusat (C. F. Strong dalam M. Budiardjo: 269). Dengan kata lain, kekuasaan atau kedaulatan sepenuhnya ada di pemerintah pusat bukan di pemerintah daerah. Akan tetapi, di sisi lain, pemerintah pusat memiliki wewenang untuk membagi kekuasaan kepada daerah yang kita kenal sebagai hak otonomi atau desentralisasi. Adapun ciri-ciri mutlak Negara Kesatuan, menurut Strong, adalah adanya supremasi dari dewan perwakilan pusat dan tidak adanya badan-badan lainnya yang berdaulat (C. F. Stronf dalam M. Budiardjo: 270) 
3.      Negara Federal .
Negara Federal, menurut K. C. Wheare, ialah bahwa kekuasaan dibagi sedemikian rupa sehingga pemerintah federal dan pemerintah negara bagian dalam bidang-bidang tertentu adalah bebas satu sama lain (K.C. Wheare dalam M. Budiardjo:270). Pernyataan tersebut dapat diartikan, baik negara bagian maupun negara federal memiliki kedaulatan masing-masing. Kedaulatan negara federal adalah mengatur segala hal di luar kedaulatan Negara bagian dan berlaku untuk beberapa negara bagian lainnya. Adapun persyaratan sebuah Negara federal, menurut C. F. Strong, adalah adanya perasaan sebangsa di antara kesatuan-kesatuan politik yang hendak membentuk federasi itu dan keinginan pada kesatuan-kesatuan politik yang hendak membentuk federasi untuk mengadakan ikatan terbatas (C. F. Strong dalam M. Budiardjo:271).
Perbedaan antara Konfederasi dan Negara Federal .
Untuk membedakan antara konfederasi dan negara federal, kita dapat melihat dari, di mana letak kedaulatannya. Seperti apa yang telah dijelaskan di atas, kedaulatan konfederasi terletak di negara-negara pesertanya, sedangkan kedaulatan federal terletak pada federasi itu sendiri bukan di negara bagiannya. Hal ini senada dengan pernyataan Edwad M. Sait, yaitu, negara-negara peserta konfederasi tetap merdeka sepenuhnya atau berdaulat, sedangkan negara-negara yang tergabung dalam konfederasi kehilangan kedaulatanya (E. M. Sait dalam M. Budiardjo:272).
Pandangan yang lain membedakan konfederasi dan negara federal berdasarkan keterikatan warga negara oleh peraturan pusat. Jika seorang warga  negara sebuah negara bagian langsung terikat oleh peraturan organ pusat maka negara tersebut adalah federasi, jika tidak maka konfederasi. Hal tersebut dikemukakan oleh R. Kraneunberg.
Perbedaan antara Federasi dan Negara Kesatuan.
Mengenai perbedaan antara federasi dan negara kesatuan, pernyataan R. Kraunbergburg cukuplah representative menurut penulis. Adapun pernyataannya kurang lebih berbunyi bahwa sebuah negara bagian dalam federasi memiliki wewenang untuk menciptakan undang-undang dan bentuk organisasinya sendiri, sedangkan pemerintahan daerah pada sebuah negara kesatuan tidaklah memiliki wewenang secara penuh melainkan harus mengikuti garis besar yang telah ditetapkan oleh negara tersebut.
Partisipasi Politik dan Sistem Pemilihan Umum
a.      Partisipasi Politik
Definisi partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang unutk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pimpinan negara dan, secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy).
1.      Partisipasi Politik di Negara Demokrasi
Konsep partisipasi politik bertolak dari paham bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, yang dilaksanakan melalui kegiatan bersama untuk menetapkan tujuan-tujaun serta masa depan masyarakat itu dan untuk menentukan orang-orang yang akan memegang tampuk pimpinan.
Ada dua piramida pola partisipasi :
1.      Piramida pasrtispasi I, oleh Milbrath dan Goel, masyarakat terbagi dalam tiga kategori, yaitu :
-        Pemain (Gladiators) : 5-7% populasi termasuk gladiators, yaitu orang yang sangat aktif dalam dunia politik.
-        Penonton (Spectators) : 60% aktif secara minimal, termasuk memakai hak pilihnya.
-        Apatis (Aphatetics) : 33% populasi termasuk aphatetics, yaitu orang yang tidak aktif sama sekali, termasuk tidak memakai hak pilihnya.
2.      Piramida partisipasi II, oleh David F Roth dan Frank L. Wilson, masyarakat terbagi dalam empat kategori, yaitu:
-        Aktivis (Activist) : The Devient (termasuk di dalamnya pembunuh dengan maksud politik, pembajak, dan teroris); pejabat public atau calon pejabat public; Fungsionaris partai politik pimpinan kelompok kepentingan.
-        Partisipan (Participant) : orang yang bekerja untuk kampanye; anggota partai secara aktif; Partisipan dalam kelompok kepentingan dan tindakan-tindakan yang bersifat politis; Orang yang terlibat dalam komunitas proyek.
-        Penonton (Onlookers) : Orang yang menghadiri reli-reli politik; Anggota dalam kelompok kepentingan; Pe-lobby; Pemilih; Orang yang terlibat dalam diskusipolitik; Pemerhati dalam pembangunan politik..
-        Apolitis (Apoliticals)
2.      Partisipasi Politik di Negara Otoriter
Pada masa lampau, partisipasi diakui kewajarannya karena secara formal kekuasaan ada di tangan rakyat. Akan tetapi tujuan utama partisipasi olitik massa dalam masa pendek masyarakt adalah merombak masyarakat yang terbelakang menjadi masyarakat yang modern, produktif, kuat, dan berideologi kuat. Uni Soviet adalah salah satu negara yang berhasil mencapai persentasevoter turnout (persentase orang yang menggunakan hak pilihnya) yang sangat tinggi, yaitu selalu mencapai 99%. Namun sistemnya berbeda dengna negara demokrasi, terutama karena hanya ada satu calon untuk setiap satu kursi yang diperebutkan, dan para calon itu harus melalui proses penyaringan yang ditentukan dan diselenggarakan oleh Partai Komunis.
3.      Partisipasi Politik di Negara Berkembang.
Kebanyakan negara berkembang ingin cepat-cepat melaksanakan pembangunan untuk mengejar keterbelakangannya karena dianggap bahwa berhasil atau tidaknya pembangunan banyak bergantung pada partisipasi rakyat. Di beberapa negara berkembang, partisipasi yang bersifat otonom (lahir dari diri mereka sendiri) masih terbatas. Hal ini menyebabkan pemerintah menghadapai masalah bagaimana untuk meningkatkan partispasi itu, sebab jika partisipasi mengalami jalan buntu, dapat terjadi dua hal, yaitu menimbulkan ”anomi” atau justru ”revolusi”. Masalah lain adalah di beberapa negara berkembang yang proses pembangunannya agak lancar. Di sana perluasan urbanisasi serta jaringan pendidikan dan meningkatnya komunikasi menggerakkan banyak kelompok untuk aktif dalam proses politik sehingga terjadi peningkatan tuntutan terhadap pemerintah yang sangat mencolok. Kesenjangan antara tujuan sosial dan cara-cara mencapai tujuan itu dapat menimbulkan perilaku ekstrem seperti teror dan pembunuhan.
Jalan yang paling baik untuk mengatasi krisis partisipasi adalah peningkatan inkremental dan bertahap seperti yang dilakukan Inggris pada abad ke-19. cara demikian akan memberikan kesempatan dan waktu kepada institusi maupun kepada rakyat untuk menyesuaikan diri. Di negara-negara berkembang, setiap usaha pembangunan akan selalu dibarengi dengan gejala-gejala sosial. Kalaupun stabilitas berhasil dicapai, sifatnya mungkin akan tetap kurang stabil bila dibandingkan dengan negara-negara yang sudah kuat dan mantap kehidupan politiknya.
b.      Social Movements dan Kelompok Kepentingan
Yaitu tantangan kolektif oleh orang-orang yang mempunyai tujuan bersama berbasis solidaritas, (yang dilaksanakan) melalui interaksi secara terus menerus dengan para elite, lawan-lawannya, dan pejabat-pejabat (T. Tarow, Power in Movement, 1994). Sementara itu definisi kelompok kepentingan adalah suatu organisasi yang berusaha untuk mempengaruhi kebijakan publik dalam suatu bidang yang penting untuk anggota-anggotanya.
Beberapa Jenis Kelompok
1.      Kelompok Anomi, yaitu individu-indivi (tidak punya organisasi) yang terlibat merasa mempunyai perasaan frustasi dan ketidakpuasan yang sama. Ketidakpuasan ini diungkapkan melalui demonstrasi dan pemogokan yang tak terkontrol, yang kadang-kadang berakhir dengan kekerasan.
2.      Kelompok Nonasosiasional, yaitu kelompok yang tumbuh berdasarkan rasa solidaritas pada sanak saudara, kerabat, agama, wilayah, kelompok etnis, dan pekerjaan. Contohnya adalah Paguyuban Pasundan.
3.      Kelompok Institusional, yaitu kelompok-kelompok formal yang berada dalam atau bekerja secara erat dengan pemerintah seperti birokrasi dan kelompok militer. Contoh di Amerika adalah military industrial complex di mana Pentagon bekerja sama dengan industri pertahanan. Contoh di Indonesia adalah Dharma Wanita, KOPRI, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI)
4.      Kelompok Asosiasional, yaitu terdiri atas serikat buruh, kamar dagang, asosiasi etnis dan agama. Organsasi-organisasi ini dibentuk dengan tujuan yang eksplisit, mempunyai organisasi yang baik dengan staf yang bekerja dengan penuh waktu.
5.      Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), yaitu organisasi yang didirikan oleh perorangan ataupun sekelompok orang yang secara sukarela yang memberikan pelayanan kepada masyarakat umum tanpa bertujuan untuk memperoleh keuntungan dari kegiatannya.
c.       Sistem Pemilihan Umum
Pemilihan Umum adalah proses pemilihan orang atau kelompok orang untuk mengisi jabatan-jabatanpolitik tertentu. Dalam ilmu politik, dikenal bermacam-macam sistem pemilihan, tetapi umumnyan berkisar pada dua prinsip,yaitu :
1.      Single-member Constituency (Sistem Distrik), yaitu satu daerah pemilihan memilih satu wakil.
2.      Multi-member Constituency (system Proporsional), yaitu satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil.
Keuntungan dan kelemahan Sistem Distrik
Keuntungan :
1.      Sistem ini lebih mendorong ke arah integrasi parati-partai politik karena kursi yang diperebutkan adalah satu.
2.      Fragmentasi partai dan kecenderungan membentuk partai baru dapat dibendung.
3.      Wakil yang dipilih dapat dikenal oleh komunitasnya.
4.      Bagi partai besar sistem ini menguntungkan karena dapat merai suara dari pemilih-pemilih lain sehingga memperoleh kedudukan mayoritas.
5.      Tidak perlu diadakan koalisi karena mudah bagi suatu partai untuk memperoleh kedudukan mayoritas.
6.      Sederhana dan murah untuk diselenggarakan
Kelemahan :
1.      Kurang memperhatikan kepentingan partai-partai kecil dan golongan minoritas.
2.      Kurang representatif : partai yang calonnya kalah dalam satu distrik kehilangan suara yang telah mendukungnya.
3.      Kurang efektif dalam masyarakat yang plural karena terbagi dalam kelompok etnis, religius, dan tribal.
4.      Si Wakil kemungkinan akan lebih memperhatikan kepentingan distrik daripada kepentingan nasional.
Keuntungan dan kelemahan sistem proporsional
Kuntungan :
1.      Sistem ini representatif karena jumlah kursi dalam parlemen sesuai dengan jumlah suara masyarakat yang diperlukan dalam pemilihan umum.
2.      Lebih demokratis dalam arti lebih egalitarian karena praktis tanpa ada distorsi, yaitu kesenjangan antara suara nasional dan jumlah kursi dalam parlemen, tanpa suara yang hilang.
Kelemahan :
1.      Kurang mendorong partai-partai untuk berintegrasi atau bekerja sama satu sama lain.
2.      Sistem ini mempermudah fragmentasi partai.
3.      Sistem ini memberikan kedudukan yang kuat kepada pimpinanpartai karena pimpinan partai menentukan daftar calon melalui Sistem Daftar.
4.      Wakil yang terpilih kemungkinan renggang ikatannya dengan konstituen.
5.      Karena banyaknya partai, sulit bagi satu partai unutk memperoleh suara atau kedudukan mayoritas (50% + satu).
d.      Sistem Pemilihan Umum di Indonesia
·         Tahun 1955:
Menggunakan sistem proporsional. Jumlah anggota DPR ditetapkan berdasarkan imbangna jumlah penduduk. Tiap 300.000 penduduk diwakli oleh satu anggota DPR. Menggunakan Stelsel Daftar Mengikat dan Stelse Daftar Bebas. Calon yang terpilih adalah yang memperoleh suara sesuai BPPD (Bilangan Pembagi Pemilih Daftar)
·         Tahun 1971-1999:
Menggunakan sistem proporsional dengan Stelsel Daftar Tertutup. Pemilih memberikan suara hanya kepada partai, dan partai akan memberikan suaranya kepada calon dengan nomor urut teratas. Suara akan diberikan kepada urutan berikutnya bila calon dengan nomor urut teratas telah memilik suara cukup untuk kuota satu kursi. Pada pemilihan tahun-tahun ini setiap anggota DPR mewakili 400.000 penduduk.
2004:
Ada satu lembaga baru, yaitu DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Untuk pemilihan umum DPD digunakan system distrik dengan wakil 4 kursi steiap provinsi). Pesertanya adalah individu dan daerah pemilihannya adalah wilayah provinsi. Untuk pemilihan DPR dan DPRD digunakan sistem proporsional dengan Stelsel Daftar Terbuka sehingga pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung kepada calon yang dipilih. Dari sudut pandang gender, Pemilihan Umum 2004 secara tegas memberi peluan lebih besar secara afirmatif bagi peran perempuan. Pasal 65 UU No. 12/2003 menyatakan calon anggota DPR dan DPRD dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% untuk setiap daerah pemilihan.
Kemudian juga ada prosedur selektif partai-partai yang akan menjadi peserta pemilihan umum. Ada sejumlah syarat, baik administratif maupun substansial, yang harus dipenuhi oleh setiap partai untuk bisa menjadi peserta.





BAB 9
TRIAS POLITIKA
A.    Pengertian
Trias Politika merupakan konsep pemerintahan yang kini banyak dianut diberbagai negara di aneka belahan dunia. Konsep dasarnya adalah, kekuasaan di suatu negara tidak boleh dilimpahkan pada satu struktur kekuasaan politik melainkan harus terpisah di lembaga-lembaga negara yang berbeda. Trias Politika yang kini banyak diterapkan adalah, pemisahan kekuasaan kepada 3 lembaga berbeda: Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif.
Legislatif adalah lembaga untuk membuat undang-undang; Eksekutif adalah lembaga yang melaksanakan undang-undang; dan Yudikatif adalah lembaga yang mengawasi jalannya   pemerintahan   dan   negara   secara   keseluruhan,  menginterpretasikan undang-undang jika ada sengketa, serta menjatuhkan sanksi bagi lembaga ataupun perseorangan manapun yang melanggar undang-undang. Dengan terpisahnya 3 kewenangan di 3 lembaga yang berbeda tersebut, diharapkan jalannya pemerintahan negara tidak timpang, terhindar dari korupsi pemerintahan oleh satu lembaga, dan akan memunculkan mekanisme check and balances (saling koreksi, saling mengimbangi). Kendatipun demikian, jalannya Trias Politika di tiap negara tidak selamanya serupa, mulus atau tanpa halangan.

B.     Sejarah Trias Politika

Pada masa lalu, bumi dihuni masyrakat pemburu primitif yang biasanya mengidentifikasi diri sebagai suku. Masing-masing suku dipimpin oleh seorang kepala suku yang biasanya didasarkan atas garis keturunan ataupun kekuatan fisik atau nonfisik yang dimiliki. Kepala suku ini memutuskan seluruh perkara yang ada di suku tersebut. Pada perkembangannya, suku-suku kemudian memiliki sebuah dewan yang diisi oleh para tetua masyarakat. Contoh dari dewan ini yang paling kentara adalah pada dewan-dewan Kota Athena (Yunani). Dewan ini sudah menampakkan 3 kekuasaan Trias Politika yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Bahkan di Romawi Kuno, sudah ada perwakilan daerah yang disebut Senat, lembaga yang mewakili aspirasi daerah-daerah. Kesamaan dengan Indonesia sekarang adalah Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Namun, keberadaan kekuasaan yang terpisah, misalnya di tingkat dewan kota tersebut mengalami pasang surut. Tantangan yang terbesar adalah persaingan dengan  kekuasaan  monarki  atau  tirani. Monarki  atau  Tirani  adalah kekuasaan absolut yang berada di tangan satu orang raja. Tidak ada kekuasaan yang terpisah di keduanya. Pada abad Pertengahan (kira-kira tahun 1000 – 1500 M), kekuasaan politik menjadi persengketaan antara Monarki (raja/ratu), pimpinan gereja, dan kaum bangsawan. Kerap kali Eropa kala itu, dilanda perang saudara akibat sengketa kekuasaan antara tiga kekuatan politik ini. Sebagai koreksi atas ketidakstabilan politik ini, pada tahun 1500 M mulai muncul semangat baru di kalangan intelektual Eropa untuk mengkaji ulang filsafat politik yang berupa melakukan pemisahan kekuasaan. Tokoh-tokoh seperti John Locke, Montesquieu, Rousseau, Thomas Hobbes, merupakan contoh dari intelektual Eropa yang melakukan kaji ulang seputar bagaimana kekuasaan di suatu negara/kerajaan harus diberlakukan.
Untuk keperluan mata kuliah ini, cukup akan diberikan gambaran mengenai 2 pemikiran intelektual Eropa yang berpengaruh atas konsep Trias Politika. Pertama adalah John Locke yang berasal dari Inggris, sementara yang kedua adalah Montesquieu, dari Perancis.

C.    Teori Pembagian Kekuasaan Trias Politika

a.      Teori Pembagian Kekuasaan Menurut John Locke (1632-1704)

Pemikiran John Locke mengenai Trias Politika ada di dalam Magnum Opus (karya besar) yang ia tulis dan berjudul Two Treatises of Government yang terbit tahun 1690. Dalam karyanya tersebut, Locke menyebut bahwa fitrah dasar manusia adalah “bekerja (mengubah alam dengan keringat sendiri)”  dan “memiliki milik (property)." Oleh sebab itu, negara yang baik harus dapat melindungi manusia yang bekerja dan juga melindungi milik setiap orang yang diperoleh berdasarkan hasil pekerjaannya tersebut. Mengapa Locke menulis sedemikian pentingnya masalah kerja ini?

Dalam masa ketika Locke hidup, milik setiap orang, utamanya bangsawan, berada dalam posisi yang rentan ketika diperhadapkan dengan raja. Kerap kali raja secara sewenang-wenang melakuka akuisisi atas milik para bangsawan dengan dalih beraneka ragam. Sebab itu, kerap kali kalangan bangsawan mengadakan perang dengan raja akibat persengkataan milik ini, misalnya peternakan, tanah, maupun kastil. Negara ada dengan tujuan utama melindungi milik pribadi dari serangan individu lain, demikian tujuan negara versi Locke. Untuk memenuhi tujuan tersebut, perlu adanya kekuasaan terpisah, kekuasaan yang tidak melulu di tangan seorang raja/ratu. Menurut Locke, kekuasaan yang harus dipisah tersebut adalah Legislatif, Eksekutif dan Federatif.
Kekuasaan Legislatif adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang. Hal penting yang harus dibuat di dalam undang-undang adalah bahwa masyarakat ingin menikmati miliknya secara damai. Untuk situasi ‘damai’ tersebut perlu terbit undang-undang yang mengaturnya. Namun, bagi John Locke, masyarakat yang dimaksudkannya bukanlah masyarakat secara umum melainkan kaum bangsawan. Rakyat jelata tidak masuk ke dalam kategori stuktur masyarakat yang dibela olehnya. Perwakilan rakyat versi Locke adalah perwakilan kaum bangsawan  untuk berhadapan dengan raja/ratu Inggris. Eksekutif adalah kekuasaan untuk melaksanakan amanat undang-undang. Dalam  hal  ini  kekuasaan Eksekutif  berada  di  tangan  raja/ratu  Inggris.  Kaum bangsawan tidak melaksanakan sendiri undang-undang yang mereka buat, melainkan diserahkan ke tangan raja/ratu. Federatif adalah kekuasaan menjalin hubungan dengan negara-negara atau kerajaan-kerajaan lain. Kekuasaan ini mirip dengan Departemen Luar Negara di masa kini. Kekuasaan ini antara lain untuk membangun liga perang, aliansi politik luar negeri, menyatakan perang dan damai, pengangkatan duta besar, dan sejenisnya. Kekuasaan ini oleh sebab alasan kepraktisan, diserahkan kepada raja/ratu Inggris.
Dari pemikiran politik John Locke dapat ditarik satu simpulan, bahwa dari 3 kekuasaan yang dipisah, 2 berada di tangan raja/ratu dan 1 berada di tangan kaum bangsawan. Pemikiran Locke ini belum sepenuhnya sesuai dengan pengertian Trias Politika di masa kini. Pemikiran Locke kemudian disempurnakan oleh rekan Perancisnya, Montesquieu.
Montesquieu (nama aslinya Baron Secondat de Montesquieu) mengajukan pemikiran politiknya setelah membaca karya John Locke. Buah pemikirannya termuat di dalam magnum opusnya, Spirits of the Laws, yang terbit tahun 1748. Sehubungan dengan konsep pemisahan kekuasaan, Montesquieu menulis sebagai berikut : “Dalam tiap pemerintahan ada tiga macam kekuasaan: kekuasaan legislatif; kekuasaan eksekutif, mengenai hal-hal yang berkenan dengan dengan hukum antara bangsa; dan kekuasan yudikatif yang mengenai hal-hal yang bergantung pada hukum sipil. Dengan kekuasaan pertama, penguasa atau  magistrat mengeluarkan hukum yang telah dikeluarkan. Dengan kekuasaan kedua, ia membuat damai atau perang, mengutus atau menerima duta, menetapkan keamanan umum dan mempersiapkan untuk melawan invasi. Dengan kekuasaan ketiga, ia menghukum penjahat, atau memutuskan pertikaian antar individu- individu. Yang akhir ini kita sebut kekuasaan yudikatif, yang lain kekuasaan eksekutif negara.
Dengan demikian, konsep Trias Politika yang banyak diacu oleh negara- negara di dunia saat ini adalah Konsep yang berasal dari pemikir Perancis ini. Namun, konsep Trias Politika ini terus mengalami persaingan dengan konsep- konsep kekuasaan lain semisal Kekuasaan Dinasti (Arab Saudi), Wilayatul Faqih (Iran), Diktatur Proletariat (Korea Utara, Cina, Kuba).
D.    Teori-Teori Dalam Trias Politica
Teori teori dalam Trias Politika di dasari dengan teori fungsi legislatif, fungsi eksekutif, fungsi yudikatif baik teori oleh Locke maupun Montesqiueu.
a.       Lembaga Legislatif
Dilihat dari kata Legislate yang bermakna lembaga yang bertugas membuat undang-undang. Namun tidak hanya sebatas membuat undang-undang, melainkan juga merupakan wakil rakyat atau badan parlemen. Pernyataan ini didasari oleh teori kedaulatan rakyat yaitu teori yang bertentangan dengan teori monarki dan absolutisem. Jadi hakikatnya badan legislatif digunakan untuk mencegah terjadinya tindakan sikap absolut dari pemerintah pusat atau presiden.
Adapun fungsi dari badan legislatif sebagai berikut:
1.      Question Hour/Pertanyaan Parlemen
Anggota legislatif diizinkan mengajukan pertanyaan kepada pemerintahn pusat mengenai hal-hal yang perlu ditanyakan yang jelasnya berkaitan dengan nasib rakyat.
2.      Interpelasi
Hak anggota legislatif untuk meminta keterangan pada kebijakan pemerintah pusat terutama yang telah dilaksanakan di lapangan.
3.      Engquete/Angket
Hak untuk anggota legislatif untuk melakukan penyelidikan sendiri dengan cara membentuk panitia penyelidik.
4.      Mosi
Hak kontrol yang memiliki potensi besar untuk menjatuhkan lembaga eksekutif.
b.      Lembaga Eksekutif
Secara umum arti lembaga eksekutif adalah pelaksanaan pemerintah yang dikepalai oleh presiden yang dibantu pejabat, pegawai negeri, baik sipil maupun militer. Sedangkan wewenang menurut Meriam Budiardjo mencangkup beberapa bidang:
1.      Diplomatik: menyelenggarakan hubungan diplomatik dengan negara-negara lainnya.
2.      Administratif: melaksanakan peraturan serta perundang-undangan dalam administrasi negara.
3.      Militer: mengatur angkatan bersenjata, menjaga keamanan negara dan melakukan perang bila di dalam keadaan yang mendukung.
4.      Legislatif: membuat undang-undang bersama dewan perwakilan.
5.      Yudikatif:memberikan grasi dan amnesti
v  Tipe Lembaga eksekutif terbagi menjadi dua, yakni:
1.      Hareditary Monarch yakni pemerintahan yang kepala negaranya dipilih berdasarkan keturunan. Contohnya adalah Inggris dengandipilihnya kepala negara dari keluarga kerajaan.
2.      Elected Monarch adalah kepala negara biasanya president yang dipilih oleh badan legislatif ataupun lembaga pemilihan.
v  Sistem Lembaga Eksekutif terbagi menjadi dua:
1.      Sistem Pemerintahan Parlementer
Kepala negara dan kepala pemerintahan terpisah. Kepala pemerintahan dipimpin oleh perdana menteri, sedangkan kepala negara dipimpin oleh presiden. Tetapi kepala negara disini hanya berfungsi sebagai simbol suatu negara yang berdaulat.
2.      Sistem Pemerintahan Presidensial
Kepala pemerintahan dan kepala negara, keduanya dipengang oleh presiden.
c.       Lembaga Yudikatif
Lembaga ini merupakan lembaga ketiga dari tatanan politik Trias Politica yang berfungsi mengontrol seluruh lembaga negara yang menyimpang atas hukum yang berlaku pada negara tersebut. Fungsi Lembaga Yudikatif  adalah sebagai alat penegakan hukum, penyelesaian penyelisihan, hak menguji apakah peraturan hukum sesuai atau tudak dengan UUD dan landasan Pancasila, serta sebagai hak penguji material.
E.     Konsep Trias Politica
Konsep Trias Politica atau pembagian kekuasaan menjadi tiga pertama kali dikemukakan oleh John Locke dalam karyanya Treatis of Civil Government (1690) dan kemudian oleh Baron Montesquieu dalam karyanya L'esprit des Lois (1748). Konsep ini adalah yang hingga kini masih berjalan di berbagai negara di dunia. Trias Politica memisahkan tiga macam kekuasaan:
1.      Kekuasaan Legislatif tugasnya adalah membuat undang-undang
2.       Kekuasaan Eksekutif tugasnya adalah melaksanakan undang-undang
3.      Kekuasaan Yudikatif tugasnya adalah mengadili pelanggaran undang-undang
Dari pemikiran politik John Locke dapat ditarik satu simpulan, bahwa terdiri dari tiga kekuasaan yang dipisah, yakni dua berada di tangan raja atau ratu dan satu berada di tangan kaum bangsawan. Pembagian konsep Trias Politica pemikiran John Locke ini belum sepenuhnya sesuai dengan pengertian Trias Politica di masa kini.
Pemikiran Locke kemudian disempurkan oleh rekan Perancisnya, Montesquieu. Pembagiankonsep Trias Politica menurut Montesquieu terbagi menjadi tiga kekuasaan yang terdiri dari kekuasaan yang mengatur dan menetukan peraturan, kekuasaan yang melaksanakan peraturan, dan kekuasaan yang mengawasi peraturan. Adapun pendistribusian dari ketiga macam kekuasaan tersebut diatur oleh badan-badan pemerintahan yang berbeda. Kekuasaan untuk yang mengatur dan menentukan peraturan diberikan kepada badan legislatif, dan kekuasaan yang melaksanakan peraturan diberikan kepada badan eksekutif, serta kekuasaan yang mengawasi peraturan diberikan kepada badan yudikatif.
a.      Fungsi-fungsi Kekuasaan Legislatif
Legislatif adalah struktur politik yang fungsinya membuat undang-undang. Di masa kini, lembaga tersebut disebut dengan Dewan Perwakilan Rakyat (Indonesia), House of Representative (Amerika Serikat), ataupun House of Common (Inggris). Lembaga-lembaga ini dipilih melalui mekanisme pemilihan umum yang diadakan secara periodik dan berasal dari partai-partai politik. Melalui apa yang dapat kami ikhtisarkan dari karya Michael G. Roskin, et.al, termaktub beberapa fungsi dari kekuasaan legislatif sebagai berikut : Lawmaking, Constituency Work, Supervision and Critism Government, Education, dan Representation.
Lawmaking adalah fungsi membuat undang-undang. Di Indonesia, undang-undang yang dikenal adalah Undang-undang Ketenagakerjaan, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-undang Guru Dosen, Undang-undang Penanaman Modal, dan sebagainya. Undang-undang ini dibuat oleh DPR setelah memperhatikan masukan dari level masyarakat.
Constituency Work adalah fungsi badan legislatif untuk bekerja bagi para pemilihnya. Seorang anggota DPR/legislatif biasanya mewakili antara 100.000 s/d 400.000 orang di Indnesia. Tentu saja, orang yang terpilih tersebut mengemban amanat yang sedemikian besar dari sedemikian banyak orang. Sebab itu, penting bagi seorang anggota DPR untuk melaksanakan amanat, yang harus ia suarakan di setiap kesempatan saat ia bekerja sebagai anggota dewan. Berat bukan?
Supervision and Criticism Government, berarti fungsi legislatif untuk mengawasi jalannya pelaksanaan undang-undang oleh presiden/perdana menteri, dan segera mengkritiknya jika terjadi ketidaksesuaian. Dalam menjalankan fungsi ini, DPR melakukannya melalui acara dengar pendapat, interpelasi, angket, maupun mengeluarkan mosi kepada presiden/perdana menteri.
Education, adalah fungsi DPR untuk memberikan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat. Anggota DPR harus memberi contoh bahwa mereka adalah sekadar wakil rakyat yang harus menjaga amanat dari para pemilihnya. Mereka harus selalu memberi pemahaman kepada masyarakat mengenai bagaimana cara melaksanakan kehidupan bernegara yang baik. Sebab, hampir setiap saat media massa meliput tindak-tanduk mereka, baik melalui layar televisi, surat kabar, ataupun internet.
Representation, merupakan fungsi dari anggota legislatif untuk mewakili pemilih. Seperti telah disebutkan, di Indonesia, seorang anggota dewan dipilih oleh sekitar 300.000 orang pemilih. Nah, ke-300.000 orang tersebut harus ia wakili kepentingannya di dalam konteks negara. Ini didasarkan oleh konsep demokrasi perwakilan. Tidak bisa kita bayangkan jika konsep demokrasi langsung yang diterapkan, gedung DPR akan penuh sesak dengan 300.000 orang yang datang setiap hari ke Senayan. Bisa-bisa hancur gedung itu. Masalah yang muncul adalah, anggota dewan ini masih banyak yang kurang peka terhadap kepentingan para pemilihnya. Ini bisa kita lihat dari masih banyaknya demonstrasi-demonstrasi yang muncul di aneka isu politik.
b.      Fungsi-fungsi Kekuasaan Eksekutif
Eksekutif adalah kekuasaaan untuk melaksanakan undang-undang yang dibuat oleh Legislatif. Fungsi-fungsi kekuasaan eksekutif ini garis besarnya adalah : Chief of state, Head of government, Party chief, Commander in chief, Chief diplomat, Dispenser of appointments, dan Chief legislators. Eksekutif di era modern negara biasanya diduduki oleh Presiden atau Perdana Menteri. Chief of State artinya kepala negara, jadi seorang Presiden atau Perdana Menteri merupakan kepada suatu negara, simbol suatu negara. Apapun tindakan seorang Presiden atau Perdana Menteri, berarti tindakan dari negara yang bersangkutan. Fungsi sebagai kepala negara ini misalnya dibuktikan dengan memimpin upacara, peresmian suatu kegiatan, penerimaan duta besar, penyelesaian konflik, dan sejenisnya.
Head of Government, artinya adalah kepala pemerintahan. Presiden atau Perdana Menteri yang melakukan kegiatan eksekutif sehari-hari. Misalnya mengangkat menteri-menteri, menjalin perjanjian dengan negara lain, terlibat dalam keanggotaan suatu lembaga internasional, menandatangi surat hutang dan pembayarannya dari lembaga donor, dan sejenisnya. Di dalam tiap negara, terkadang terjadi pemisahaan fungsi antara kepala negara dengan kepala pemerintahan. Di Inggris, kepala negara dipegang oleh Ratu Inggris, demikian pula di Jepang. Di kedua negara tersebut kepala pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri. Di Indonesia ataupun Amerika Serikat, kepala negara dan kepala pemerintahan dipegang oleh Presiden.
Party Chief berarti seorang kepala eksekutif sekaligus juga merupakan kepala dari suatu partai yang menang pemilu. Fungsi sebagai ketua partai ini lebih mengemuka di suatu negara yang menganut sistem pemerintahan parlementer. Di dalam sistem parlementer, kepala pemerintahan dipegang oleh perdana menteri yang berasal dari partai yang menang pemilu. Namun, di negara yang menganut sistem pemerintahan presidensil terkadang tidak berlaku kaku demikian. Di masa pemerintahan Gus Dur (di Indonesia) menunjukkan hal tersebut. Gus Dur berasal dari partai yang hanya memenangkan 9% suara di Pemilu 1999, tetapi ia menjadi presiden. Selain itu, di sistem pemerintahan parlementer, terdapat hubungan yang sangat kuat antara eksekutif dan legislatif oleh sebab seorang eksekutif dipilih dari komposisi hasil suara partai dalam pemilu. Di sistem presidensil, pemilu untuk memilih anggota dewan dan untuk memilih presiden terpisah.
Commander in Chief adalah fungsi mengepalai angkatan bersenjata. Presiden atau perdana menteri adalah pimpinan tertinggi angkatan bersenjata. Seorang presiden atau perdana menteri, meskipun tidak memiliki latar belakang militer memiliki peran ini. Namun, terkadang terdapat pergesekan dengan pihak militer jika yang menjadi presiden ataupun perdana menteri adalah orang bukan kalangan militer. Sekali lagi, ini pernah terjadi di era Gus Dur, di mana banyak instruksi-instruksinya kepada pihak militer tidak digubris pihak yang terakhir, terutama di masa kerusuhan sektarian (agama) yang banyak terjadi di masa pemerintahannya.
Chief Diplomat, merupakan fungsi eksekutif untuk mengepalai duta-duta besar yang tersebar di perwakilan negara di seluruh dunia. Dalam pemikiran trias politika John Locke, termaktub kekuasaan federatif, kekuasaan untuk menjalin hubungan dengan negara lain. Demikian pula di konteks aplikasi kekuasaan eksekutif saat ini. Eksekutif adalah pihak yang mengangkat duta besar untuk beroperasi di negara sahabat, juga menerima duta besar dari negara lain.
Dispensen Appointment merupakan fungsi eksekutif untuk menandatangani perjanjian dengan negara lain atau lembaga internasional. Dalam fungsi ini, penandatangan dilakukan oleh presiden, menteri luar negeri, ataupun anggota-anggota kabinet yang lain, yang diangkat oleh presiden atau perdana menteri.
Chief Legislation, adalah fungsi eksekutif untuk mempromosikan diterbitkannya suatu undang-undang. Meskipun kekuasaan membuat undang-undang berada di tangan DPR, tetapi di dalam sistem tata negara dimungkinkan lembaga eksekutif mempromosikan diterbitkannya suatu undang-undang oleh sebab tantangan riil dalam implementasi suatu undang-undang banyak ditemui oleh pihak yang sehari-hari melaksanakan undang-undang tersebut.
c.       Fungsi-fungsi Kekuasaan Yudikatif
Kekuasaan Yudikatif berwenang menafsirkan isi undang-undang maupun memberi sanksi atas setiap pelanggaran atasnya. Fungsi-fungsi Yudikatif yang bisa dispesifikasikan kedalam daftar masalah hukum berikut: Criminal law (petty offensemisdemeanor,felonies); Civil law (perkawinan, perceraian, warisan, perawatan anak); Constitution law(masalah seputar penafsiran kontitusi); Administrative law (hukum yang mengatur administrasi negara); International law (perjanjian internasional).
Criminal Law, penyelesaiannya biasanya dipegang oleh pengadilan pidana yang di Indonesia sifatnya berjenjang, dari Pengadilan Negeri (tingkat kabupaten), Pengadilan Tinggi (tingkat provinsi, dan Mahkamah Agung (tingkat nasional). Civil law juga biasanya diselesaikan di Pengadilan Negeri, tetapi khusus umat Islam biasanya dipegang oleh Pengadilan Agama. 
Constitution Law, kini penyelesaiannya ditempati oleh Mahkamah Konstitusi. Jika individu, kelompok, lembaga-lembaga negara mempersoalkan suatu undang-undang atau keputusan, upaya penyelesaian sengketanya dilakukan di Mahkamah Konstitusi.
Administrative Law, penyelesaiannya dilakukan di Pengadilan Tata Usaha Negara, biasanya kasus-kasus sengketa tanah, sertifikasi, dan sejenisnya.
International Law, tidak diselesaikan oleh badan yudikatif di bawah kendali suatu negara melainkan atas nama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
F.     Pengawasan Terhadap Trias Politica
Dalam rangka menjamin bahwa masing- masing kekuasaan tidak melampaui batas kekuasaannya maka diperlukan suatu sistem checks and balances system (sistem pengawasan dan keseimbangan). Dalam checks and balances system, masing-masing kekuasaan saling mengawasi dan mengontrol. Checks and balances system merupakan suatu mekanisme yang menjadi tolak ukur kemapanan konsep negara hukum dalam rangka mewujudkan demokrasi.
G.    Prinsip Check and Balance
Upaya pengawasan dan keseimbangan antara badan-badan yang mengatur Trias Politicamemiliki prinsip-prinsip dengan berbagai macam fariasi, misalnya:
a.       The four branches: legislatif, eksekutif, yudikatif, dan media. Di sini media di gunakan sebagai bagian kekuatan demokrasi keempat karena media memiliki kemampuan kontrol, dan memberikan informasi.
b.       Di Amerika Serikat, tingkat negara bagian menganut Trias Politica sedangkat tingkat negara adalah badan yudikatif.
c.       Di Korea Selatan, dewan lokal tidak boleh intervensi
d.      Sementara itu, di Indonesia, Trias Politica tidak di tetapkan secara keseluruhan. Legislatif di isi dengan DPR, eksekutif di isi dengan jabatan presiden, dan yudikatif oleh mahkamah konstitusi dan mahkamah agung.
Contoh Negara yang Menerapkan Check and Balance
Di Amerika Serikat sebagai kiblat konsep checks and balances system, dalam hal pelaksanaan fungsi kontrol kekuasaan Eksekutif terhadap Legislatif, Presiden diberi kewenangan untuk memveto rancangan undang- undang yang telah diterima olehCongress (semacam MPR), akan tetapi veto tersebut dapat dibatalkan oleh Congressdengan dukungan 2/3 suara dari House of Representative (semacam DPR) dan Senate(semacam lembaga utusan negara bagian)




Bab 10
PARTISIPASI POLITIK
A.    Pengertian Partisipasi Politik
Partisipasi politik adalah aktivitas warganegara yang bertujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan politik. Partisipasi politik dilakukan orang dalam posisinya sebagai warganegara, bukan politikus ataupun pegawai negeri. Sifat partisipasi politik ini adalah sukarela, bukan dimobilisasi oleh negara ataupun partai yang berkuasa. Menurut Samuel P. Hontington dan Joan Nelson dalam bukunya Partisipasi Politik di Negara Berkembang, 1994 : 6, partisipasi politik adalah kegiatan warga (private citizen) yang bertujuan mempengaruhi keputusan oleh pemerintah. Menurut Michael Rush dan Phillip Althoff dalam bukunya Pengantar Sosiologi dan Politik, 1993 : 23, partisipasi politik adalah keterlibatan individu sampai pada bermacam- macam tingkatan di dalam sistem politik. Menurut Ramlan Surbekti dalam bukunya Memahami Ilmu Politik, 1984 : 140 bahwa partisipasi politik adalah keikutsertaan warga negara biasa dalam menentukan segala keputusan yang menyangkut atau mempengaruhi kehidupannya.
Ruang bagi partisipasi politik adalah sistem politik. Sistem politik memiliki pengaruh untuk menuai perbedaan dalam pola partisipasi politik warganegaranya. Pola partisipasi politik di negara dengan sistem politik Demokrasi Liberal tentu berbeda dengan di negara dengan sistem Komunis atau Otoritarian. Bahkan, di negara-negara dengan sistem politik Demokrasi Liberal juga terdapat perbedaan, seperti yang ditunjukkan Oscar Garcia Luengo, dalam penelitiannya mengenai E-Activism: New Media and Political Participation in Europe. Warganegara di negara-negara Eropa Utara (Swedia, Swiss, Denmark) cenderung lebih tinggi tingkat partisipasi politiknya ketimbang negara-negara Eropa bagian selatan (Spanyol, Italia, Portugal, dan Yunani).
B.     Landasan Partisipasi Politik
Landasan partisipasi politik adalah asal-usul individu atau kelompok yang melakukan kegiatan partisipasi politik. Huntington dan Nelson membagi landasan partisipasi politik ini menjadi :
  1. kelas – individu-individu dengan status sosial, pendapatan, dan pekerjaan yang serupa.
  2. kelompok atau komunal – individu-individu dengan asal-usul ras, agama, bahasa, atau etnis yang serupa.
  3. lingkungan – individu-individu yang jarak tempat tinggal (domisilinya) berdekatan.
  4. partai – individu-individu yang mengidentifikasi diri dengan organisasi formal yang sama yang berusaha untuk meraih atau mempertahankan kontrol atas bidang-bidang eksekutif dan legislatif pemerintahan, dan
  5. golongan atau faksi – individu-individu yang dipersatukan oleh interaksi yang terus menerus antara satu sama lain, yang akhirnya membentuk hubungan patron-client, yang berlaku atas orang-orang dengan tingkat status sosial, pendidikan, dan ekonomi yang tidak sederajat.
C.    Bentuk Partisipasi Politik
Jika mode partisipasi politik bersumber pada faktor “kebiasaan” partisipasi politik di suatu zaman, maka bentuk partisipasi politik mengacu pada wujud nyata kegiatan politik tersebut. Samuel P. Huntington dan Joan Nelson membagi bentuk-bentuk partisipasi politik menjadi :
  1. Kegiatan Pemilihan – yaitu kegiatan pemberian suara dalam pemilihan umum, mencari dana partai, menjadi tim sukses, mencari dukungan bagi calon legislatif atau eksekutif, atau tindakan lain yang berusaha mempengaruhi hasil pemilu;
  2. Lobby – yaitu upaya perorangan atau kelompok menghubungi pimpinan politik dengan maksud mempengaruhi keputusan mereka tentang suatu isu;
  3. Kegiatan Organisasi – yaitu partisipasi individu ke dalam organisasi, baik selaku anggota maupun pemimpinnya, guna mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah;
  4. Contacting – yaitu upaya individu atau kelompok dalam membangun jaringan dengan pejabat-pejabat pemerintah guna mempengaruhi keputusan mereka, dan
  5. Tindakan Kekerasan (violence) – yaitu tindakan individu atau kelompok guna mempengaruhi keputusan pemerintah dengan cara menciptakan kerugian fisik manusia atau harta benda, termasuk di sini adalah huru-hara, teror, kudeta, pembutuhan politik (assassination), revolusi dan pemberontakan.
Kelima bentuk partisipasi politik menurut Huntington dan Nelson telah menjadi bentuk klasik dalam studi partisipasi politik. Keduanya tidak membedakan apakah tindakan individu atau kelompok di tiap bentuk partisipasi politik legal atau ilegal. Sebab itu, penyuapan, ancaman, pemerasan, dan sejenisnya di tiap bentuk partisipasi politik adalah masuk ke dalam kajian ini. Klasifikasi bentuk partisipasi politik Huntington dan Nelson relatif lengkap. Hampir setiap fenomena bentuk partisipasi politik kontemporer dapat dimasukkan ke dalam klasifikasi mereka. Namun, Huntington dan Nelson tidak memasukkan bentuk-bentuk partisipasi politik seperti kegiatan diskusi politik, menikmati berita politik, atau lainnya yang berlangsung di dalam skala subyektif individu.
D.    Partisipasi Politik di Beberapa Bentuk Negara
1.      Partisipasi Politik di Negara Otoriter
Di negara-negara otoriter seperti komunis pada masa lampau, partisipasi massa umumnya diakui kewajarannya, karena secara formal kekuasaan ada ditangan rakyat. Akan tetapi tujuan utama partisipasi massa dalam masa pendek masyarakat adalah merombak masyarakat yang terbelakang menjadi masyarakat modern, produktif, kuat, dan berideologi kuat. Hal ini memerlukan disiplin dan pengarahan ketat dari monopoli partai politik.
Terutama, persentase partisipasi yang tinggi dalam pemilihan umum di anggap dapat memperkuat keabsahan sebuah rezim di mata dunia. Karena itu, rezim otoriter selalu mengusahakan agar persentase pemilih mencapai angka tinggi. Dalam pemilihan umum angka partisipasi hampir selalu mencapai lebih dari 99%.  Akan tetapi perlu di ingat bahwa sistem pemilihan umumnya berbeda dari sistem di negara demokrasi, terutama karena hanya ada satu calon untuk setiap kursi yang diperebutkan, dan para calon itu harus melampaui suatu proses penyaringan yang ditentukan dan diselenggarakan oleh partai Komunis.
Dan itu membutuhkan disiplin dan pengarahan ketat dari monopoli partai politik. Presentase partai politik menjadi tinggi di sini sebab rezim yang ada benar-benar ingin  menunjukan ke absahannya. Dan disini sangat berbeda dengan negara demokrasi. Sebab hanya ada satu calon dari setiap kursi untuk di perebutkan. Dan para calon tersebut harus melewati proses penyaringan yang di selnggarakan oleh partai komunis.
Di sini partisipasi politik juga dapat dilakukan dengan memasuki organisasi-organisasi yang berada dalam kontrol partai. Pemerintah juga menghadapi dilema tentang bagaimana memperluas partisipasi tanpa mengendorkan kontrol. Sebab akan ada bahaya timbulnya konflik yang merusak stabilitas pemerintahan.
Negara-negara otoriter yang sudah mapan menghadapi dilema bagaimana memperluaskan partisipasi tanpa kehilangan kontrol yang dianggap mutlak diperlukan untuk tercapainya masyakat yang didambakan. Jika control dikendorkan untuk meningkatkan partisipasi, maka ada bahaya bahwa akan timbul konflik yang menganggu stabilitas.
Hal ini terjadi di Uni Soviet pada tahun 1956 pada saat Krushchev melancarkan gerakan “Garis Baru” dalam rangka “Destalinisasi” kehidupan politik. Dua puluh tahun kemudian pada akhir tahun 80-an, keterbukaan yang dicanangkan oleh Gorbachev melaluiglasnost (keterbukaan dalam rangka reformasi politik) dan perestroika (reformasi ekonomi) ternyata mengakibatkan pecahnya Uni Soviet menjadi beberapa negara pada tahun 1991. Pada saat itu pula kebanyakan negara komunis di Eropa Timur lainnya, termasuk Uni Soviet, bergabung dengan negara-negara Barat dan Menerapkan model demokrasi.
Pengendoran juga terjadi di China pada thun 1956/1957. Pada awal dicetuskannya gerakan “Kampaye Seratus Bunga” masyarakat diperbolehkan untuk menyampaikan kritik. Akan tetapi pengendoran control tidak berlangsung lama, karena ternyata tajamnya kritik yang disuarakan dianggap menganggu stabilitas nasional. Setelah terjadi peristiwa Tiananmen Square pada tahun 1989 – ketika itu beberapa ratus mahasiswa kehilangan nyawa dalam benturan dengan aparat-pemerintah memperketat kontrol kembali.
Sistem Politik Otoriter :
  1. Pemusatan kekuasaan pada satu atau sekelompok orang.
  2. Pemerintahan tidak berdasarkan konstitusional
  3. Negara berdasarkan kekuasaan
  4. Pembentukan pemerintahan tidak berdasar musyawarah, tetapi melalui dekrit
  5. Pemilu tidak demokratis. pemilu dijalankan hanya untuk memperkuat keabsahan penguasa atau pemerintah negara
  6. Sistem satu partai politik atau ada beberapa parpol tapi hanya ada satu porpol yang memonopoli kekuasaan
  7. Menejemen pemerintahan tertutup
  8. Tidak ada perlindungan HAM , hak monoritas ditindas
  9. Pers tidak bebas dan sangat dibatasi
  10. Badan peradilan tidak bebas dan bisa diintervensi oleh penguasa
2.      Partisipasi Politik di Negara Demokrasi
Tidak seperti di negara komunis yang hanya memilki satu partai, disini ada dua atau lebih partai. Jadi partisipasi politik menjadi gambaran tentang kepedulian masyarakat tentang keadaan pemerintahan atau keadaan politik. Disini jadi dapat diklasifikasikan menurut intensitas masing-masing kelompok masyarakat terhadap kegiatan politik. Seperti adanya kelompok yang benar-benar aktif secara intensif dalam dunia politik seperti pejabat publik atau pejabat publik, elit parpol, ketua kelompok kepentingan bahkan ada yang memasukan teroris dalam kelompok ini. Ada pula kelompok yang berpartisipasi dalam kegiatan politik secara temporer. Seperti tim sukses saat kampanye, anggota partai politik, dll. Ada pula yang di sebut penonton, sebab hanya seperti pengawas dan tidak banyak terlibat dalam kegiatan politik, seperti pe-lobby, pemilih dalam pemilu, orang yang terlibat diskusi politik, dan pengamat dalam pembangunan politik. Dan yang terakhir adalah kelompok yang sama sekali tak peduli dengan keadaan politik yang di sebut golongan apolitis.
Kegiatan yang dapat dikategorikan partisipasi politik menunjukkan pelbagai bentuk dan intensitas. Biasanya diadakan pembedaan jenis partisipasi menurut frekuensi dan intensitasnya. Orang yang mengikuti kegiatan secara tidak intensif, yaitu kegiatan yang tidak banyak menyita waktu dan yang biasanya tidak berdasarkan prakarsa sendiri (seperti memberikan suara dalam pemilihan umum) besar sekali jumlahnya. Sebaliknya, kecil sekali jumlah orang yang secara aktif dan sepenuh waktu melibatkan diri dalam politik. Kegiatan sebagai aktivis politik ini mencakup anatara lain menjadi pimpinan partai atau kelompok kepentingan. Suatu bentuk partisipasi yang paling mudah diukur intensitasnya adalah perilaku warga negara dalam pemilihan umum, antara lain melalui perhitungan persentase orang yang mengggunakan hak pilihnya (voter turnout) dibanding dengan jumlah seluruh warga negara yang berhak memilih. Penelitian mengenai partisispasi politik diluar pemebrian suara dalam pemilihan umum dilakukan oleh Gabriel A.Almond dan Sidney Verba.
Dari hasil penelitiannya yang dituangkan dalam karya klasik Civic Culture ditemukan beberapa hal yang menarik. Dibanding dengan warga negara di beberapa Eropa Barat, orang Amerika tidak terlalu bergairah untuk memberi suara dalam pemilihan umum. Akan tetapi mereka lebih aktif mencari pemecahan pelbagai masalah masyarakat serta lingkungan melalui kegiatan lain, dan meggabungkan diri dengan organisasi-organisasi seperti organisasi politik, bisnis, profesi, petani, dan sebagainya. Meluasnya ruang lingkup aktivitas pemerintah sering merangsang timbulnya tuntutan-tuntutan yang terorganisasi akan kesempatan untuk ikut serta dalam pembuatan keputusan politik. Jenis Partisipasi Politik Partisipasi politik sangat terkait erat dengan seberapa jauh demokrasi diterapkan dalam pemerintahan. Negara yang telah stabil demokrasinya, maka biasanya tingkat partisipasi politik warganya sangat stabil, tidak fluktuatif. Negara yang sedang meniti proses transisi dari otoritarianisme menuju demokrasi disibukkan dengan frekuensi partisipasi yang meningkat tajam, dengan jenis dan bentuk partisipasi yang sangat banyak, mulai dari yang bersifat “konstitusional” hingga yang bersifat merusak sarana umum. Karena begitu luasnya cakupan tindakan warga negara biasa dalam menyuarakan aspirasinya, maka tak heran bila bentuk-bentuk partisipasi politik ini sangat beragam. Secara sederhana, jenis partisipasi politik terbagi menjadi dua:
Pertama, partisipasi secara konvensional di mana prosedur dan waktu partisipasinya diketahui publik secara pasti oleh semua warga.
Kedua, partisipasi secara non-konvensional. Artinya, prosedur dan waktu partisipasi ditentukan sendiri oleh anggota masyarakat yang melakukan partisipasi itu sendiri.
Di negara demokrasi, partisipasi dapat ditunjukan di pelbagai kegiatan. Biasanya dibagi – bagi jenis kegiatan berdasarkan intensitas melakukan kegiatan tersebut. Ada kegiatan yang yang tidak banyak menyita waktu dan yang biasanya tidak berdasarkan prakarsa sendiri besar sekali jumlahnya dibandingkan dengan jumlah orang yang secara aktif dan sepenuh waktu melibatkan diri dalam politik. Kegiatan sebagai aktivis politik ini mencakup antara lain menjadi pimpinan partai atau kelompok kepentingan. Di Negara yang menganut paham demokrasi, bentuk partisipasi politik masyarakat yang paling mudah diukur adalah ketika pemilihan umum berlangsung. Prilaku warga Negara yang dapat dihitung itensitasnya adalah melalui perhitungan persentase orang yang menggunakan hak pilihnya (voter turnout) dibanding dengan warga Negara yang berhak memilih seluruhnya. 
Sistem Politik Demokrasi
  1. Adanya pembagian kekuasaan
  2. Pemerintahan konstitusional atau berdasarkan hukum
  3. Pemerintahan mayoritas
  4. Pemilu bebas atau demokratis
  5. Parpol lebih dari satu
  6. Managemen terbuka
  7. Pers bebas
  8. Perlindungan terhadap HAM dan adanya jaminan Hak minoritas
  9. Peradilan bebas tidak memihak
  10. Penempatan pejabat pemerintahan dengan Merit sistem
  11. Kebiaksanaan pemerintah dibuat badan perwakilan politik tanpa paksaan
  12. Konstitusi atau UUD yang demokratis.
  13. Penyelesain masalah secara damai melalui musyawarah atau perundingan
3.      Partisipasi Politik Di Negara Berkembang
Kebanyakan negara baru yang berkembang ingin mengejar pembangunan untuk mengejar ketertinggalan mereka. Dan mereka cenderung membutuhkan partisipasi politik politik dari masyarakat untuk menangani masalah-masalah yang di timbulkan dari perbedaan etnis, ras, suku, dan agama. Yang diharapkan akan membentuk identitas nasional dan loyalitas kepada negara.namun di beberapa negara berkembang partisipasi secara sukarela sangat sulit di temui. Dan ini menjadi masalah, sebab jika peningkatan partisipasi gagal maka dapat terjadi 2 hal. Yakni “anomi” atau malah “revolusi”. Sedang dalam negara yang pembangunannya agak lancar, dimana banyak terjadi peningkatan urbanisasi, pendidikan, dan komunikasi massa mengakibatkan peningkatan partisipasi yang drastis juga. Melalui bermacam-macam organisasi. Sehingga terjadi peningkatan tuntutan pada pemeintah yang dapat mengakibatkan rusaknya stabilitas nasional menurut elit-elit politik, padahal kestabilan nasional sangat di butuhkan untuk menjalankan kebijakan publik. Hingga, jalan yang paling baik ialah dengan peningkatan secara bertahap, sehinga institusi dan rakyat dapat membiasakan diri.




BAB 11
PARTAI POLITIK
A.    Pengertian Partai Politik
Dalam kamus bahasa indonesia partai diartikan sebagai pihak; segolongan orang; perkumpulan yang seasas; sehaluan, setujuan dan sebagainya dalan ketatanegaraan; sekumpulan arang dagangan yang tak tentu banyaknya. Secara umum pengertian partai adalah sekumpulan orang yang terikat satu sama lain oleh sebuah ideologi dan aturan tertentu untuk meraih tujuan-tujuan tertentu yang akan dicapainya. Artinya, ideologi yang mendasari keberadaan dan gerak serta peran partai itulah yang akan menentukan jenis dan warna partai tersebut dalam sebuah masyarakat. Karenanya, ketika berbincang tentang partai politik Islam maka partai tersebut berarti menjadikan Islam sebagai landasan pembangun dan landasan gerak langkah serta landasan penentuan tujuan-tujuannya.
Dalam undang-undang partai politik yang disahkan oleh negara menyatakan bahwa Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
B.     Sejarah Partai Politik di Indonesia
Partai politik adalah organisasi politik yang menjalani ideologi tertentu atau dibentuk dengan tujuan khusus. Bisa juga di definisikan, perkumpulan (segolongan orang-orang) yang seasas, sehaluan, setujuan di bidang politik. Baik yang berdasarkan partai kader atau struktur kepartaian yang dimonopoli oleh sekelompok anggota partai yang terkemuka. Atau bisa juga berdasarkan partai massa, yaitu partai politik yang mengutamakan kekuatan berdasarkan keunggulan jumlah anggotanya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), partai politik berarti perkumpulan yang didirikan untuk mewujudkan ideologi politik tertentu. Dalam sejarah Indonesia, keberadaan Partai politik di Indonesia diawali dengan didirikannya organisasi Boedi Oetomo (BO), pada tahun 1908 di Jakarta oleh Dr. Wahidin Soediro Hoesodo dkk. Walaupun pada waktu itu BO belum bertujuan ke politik murni, tetapi keberadaan BO sudah diakui para peneliti dan pakar sejarah Indonesia sebagai perintis organisasi modern. Dengan kata lain, BO merupakan cikal bakal dari organisasi massa atau organisasi politik di Indonesia.
Pada masa penjajahan Belanda, partai-partai politik tidak dapat hidup tentram. Tiap partai yang bersuara menentang dan bergerak tegas, akan segera dilarang, pemimpinnya ditangkap dan dipenjarakan atau diasingkan. Partai politik yang pertama lahir di Indonesia adalah Indische Partij yang didirikan pada tanggal 25 Desember 1912, di Bandung. Dipimpin oleh Tiga Serangkai, yaitu Dr. SetiabudiDr. Cipto Mangunkusumo, dan Ki Hadjar Dewantara. Tujuan partai itu adalah Indonesia lepas dari Belanda. Partai itu hanya berusia 8 bulan karena ketiga pemimpin masing-masing dibuang ke Kupang, Banda, dan Bangka, kemudian diasingkan ke Belanda.
C.    Idiologi Politik
Dalam ilmu sosial, Ideologi politik adalah sebuah himpunan ide dan prinsip yang menjelaskan bagaimana seharusnya masyarakat bekerja, dan menawarkan ringkasan order masyarakat tertentu. Ideologi politik biasanya mengenai dirinya dengan bagaimana mengatur kekuasaan dan bagaimana seharusnya dilaksanakan.Teori komunis Karl MarxFriedrich Engels dan pengikut mereka, sering dikenal dengan marxisme, dianggap sebagai ideologi politik paling berpengaruh dan dijelaskan lengkap pada Contoh ideologo lainnya termasuk: anarkisme, kapilalisme, komunisme, komunitarianisme, konservatisme,neoliberalisme, demokrasi, fasisme, nasionalisme, nazizme, liberalisme, libertanialisme, sosialisme, dan democrat social. Ideologi adalah seperangkat tujuan dan ide-ide yang mengarahkan pada satu tujuan, harapan, dan tindakan. Jadi, ideologi politik dapat diartikan sebagai seperangkat tujuan dan ide yang menjelaskan bagaimana suatu rakyat bekerja, dan bagaimana cara mengatur kekuasaan.
1.      Liberalisme
Lambang Partai Buruh Inggris. Merupakan partai massa Inggris. Partai massa merupakan kebalikan dari partai kader karena mereka lebih menekankan pada pencarian jumlah dukungan yang banyak di masyarakat atau dengan kata lain lebih menekankan aspek kuantitas. Kelemahan partai massa adalah bahwa disiplin anggota biasanya lemah, juga lemahnya ikatan organisasi sesame anggota, bahkan kadang kala tidak saling kenal, karena luasnya dukungan dari berbagai golongan dan lapisan masyarakat. Kebebasan telah muncul sejak adanya manusia di dunia, karena pada hakikatnya manusia selalu mencari kebebasan bagi dirinya sendiri. Bentuk kebebasan dalam politik pada zaman dahulu adalah penerapan demokrasi di Athena dan Roma. Tetapi, kemunculan liberalisme sebagai sebuah paham pada abad akhir abad 17.
Liberalisme berasal dari kata liberalis yang berarti bebas. Dalam liberalisme, kebebasan individu, pembatasan kekuasaan raja (pemerintah), dan persaingan pemilik modal (kapital). Karena itu, liberalisme dan kapitalisme terkadang dilihat sebagai sebuah ideologi yang sama. Liberalisme muncul pada abad ke akhir abad 17, berhubungan dengan runtuhnya feodalisme di Eropa dan dimulainya zaman Renaissance, lalu diikuti dengan gerakan politik masa Revolusi Prancis. Liberalisme pada zaman ini terkait dengan Adam Smith, dikenali sebagai liberalisme klasik. Pada masa ini, kerajaan (pemerintahan) bersifat lepas tangan, sesuai dengan konsep Laissez-Faire. Konsep ini menekankan bahwa kerajaan harus memberi kebebasan berpikir kepada rakyat, tidak menghalang pemilikan harta indidvidu atau kumpulan, kuasa kerajaan yang terbatas dan kebebasan rakyat. Seruan kebebasan ini dikumandangkan setelah sebelumnya pada abad 16 dan awal abad 17, Reformasi Gereja dan kemajuan ilmu pengetahuan menjadikan masyarakat yang tertekan dengan kekuasaan gereja ingin membebaskan diri dari berbagai ikatan, baik agama, sosial, dan pemerintahan. Menurut Adam Smith, liberal berarti bebas dari batasan (free from restraint), karena liberalisme menawarkan konsep hidup bebas dari pengawasan gereja dan raja.
Di Inggris, setelah beberapa kali berlangsung perang Napoleon, liberalisme kembali berpengaruh dengan bangkitnya Benthamites dan Mazhab Manchester. Keberhasilan terbesar liberalisme terjadi di Amerika, hingga menjadi dominan sejak tahun 1776 sampai sekarang. Dengan liberalisme, Amerika sekarang menjadi sebuah negara yang besar dan dianggap polisi dunia. Di sana kebebasan dijunjung tinggi karena hak-hak tiap warganya dijamin oleh pemerintah. Sehingga jangan heran kalau tingkat kompetisi di sana sangat tinggi.
2.      Kapitalisme
Kapitalisme (capitalism) berasal dari kata kapital (capital), yang berarti modal. Modal disini maksudnya adalah alat produksi, seperti tanah dan uang. Jadi, arti kapitalisme adalah ideologi di mana kekuasaan ada di tangan kapital atau pemilik modal, sistem ekonomi bebas tanpa batas yang didasarkan pada keuntungan, di mana masyarakat bersaing dalam batasan-batasan ini. Menurut cara pandang kapitalisme, setiap individu bukanlah bagian dari masyarakat, tetapi merupakan suatu pihak yang harus berjuang untuk kepentingan sendiri. Dalam perjuangan ini, faktor penentunya adalah produksi. Produsen unggul akan tetap bertahan, dan produsen lemah akan tersingkir.
Kapitalisme berawal pada zaman feodal di Mesir, Babilonia, dan Kekaisaran Roma. Ahli ilmu sosial menyebut kapitalisme pada zaman ini sebagai commercial capitalism (kapitalisme komersial). Kapitalisme komersial berkembang ketika pada zaman itu perdagangan lintas suku dan kekaisaran sudah berkembang dan membutuhkan sistem hukum ekonomi untuk menjamin keadilan perdagangan ekonomi yang dilakukan oleh para pedagang, tuan tanah, kaum rohaniwan. Kapitalisme berlanjut menjadi sebuah hukum dan kode etik bagi kaum pedagang. Karena terjadi perkembangan kompetisi dalam sistem pasar, keuangan, dan lain-lain, maka diperlukan hukum dan etika yang relatif mapan. Para pedagang membuka wacana baru tentang pasar. Setiap membicarakan pasar, mereka membicarakan tentang komoditas, dan nilai lebih yang akan menjadi keuntungan bagi pedagang. Pandangan kaum pedagang dan perkembangan pasar menyebabkan berubahnya sistem ekonomi feodal yang dimonopoli tuan tanah, bangsawan, dan rohaniwan. Ekonomi mulai menjadi bagian dari perjuangan kelas menengah, dan mulai berpengaruh. Periode ini disebut dengan kapitalisme industri. Ada tiga tokoh yang berpengaruh besar pada periode ini, yaitu Thomas Hobbes, John Locke, dan Adam Smith.
Thomas Hobbes menyatakan bahwa setiap orang secara alamiah akan mencari pemenuhan kebutuhan bagi dirinya sendiri. John Locke berpendapat bahwa manusia itu mempunyai hak milik personalnya. Adam Smith menganjurkan pasar bebas dengan aturannya sendiri, dengan kata lain, tidak ada campur tangan pemerintah di dalam pasar. Teori-teori dari para tokoh tersebut semakin berkembang dengan adanya Revolusi Industri. Pada perkembangannya, kapitalisme memasuki periode kapitalisme lanjut, yaitu lanjutan dari kapitalisme industri. Pada periode ini, kapitalisme tidak hanya mengakumulasikan modal, tapi juga investasi. Selanjutnya, kapitalis menyadari bahwa pertumbuhan ekonomi tidak hanya berdasarkan pada faktor produksi, tetapi juga faktor jasa dan kestabilan sistem masyarakat. Kapitalisme berkembang tidak hanya untuk terus mendapatkan keuntungan, tetapi juga menjadi lahan pendapatan yang cukup bagi para konsumennya. Tetapi karena pada praktiknya kapitalisme lebih banyak merugikan kaum kelas bawah, muncullah sosialisme yang dipelopori oleh Karl Marx.
3.      Sosialisme
Sosialisme adalah paham yang bertujuan mengubah bentuk masyarakat dengan menjadikan perangkat produksi menjadi milik bersama, dan pembagian hasil secara merata disamping pembagian lahan kerja dan bahan konsumsi secara menyeluruh. Dalam sosialisme setiap individu harus berusaha untuk mendapatkan layanan yang layak untuk kebahagiaan bersama, karena pada hakikatnya, manusia hidup bukan hanya untuk bebas, tapi juga saling menolong. Sosialisme yang kita kenal saat ini Sosialisme sebenarnya telah lahir sebelum dicetuskan oleh Karl Marx. Orang yang pertama kali menyuarakan ide sosialisme adalah Francois Noel Babeuf, pada abad 18. Kemudian muncul tokoh lain seperti Robert Owen di Inggris, Saint Simon dan Fourier di Perancis. Mereka mencoba memperbaiki keadaan masyarakat karena terdorong oleh rasa perikemanusiaan tetapi tidak dilandasi dengan konsep yang jelas dan dianggap hanya angan-angan belaka, karena itu mereka disebut kaum sosialis utopis.
Karl Marx juga mengecam keadaan masyarakat di sekelilingnya, tapi ia menggunakan hukum ilmiah untuk mengamati perkembangan masyarakat, bukan sekadar harapan dan tuntutan seperti yang dilakukan oleh kaum sosialis utopis. Marx menamakan idenya sebagai sosialisme ilmiah. Setelah itu, pada abad 19, sosialisme ilmiah marx diadopsi oleh Lenin, hingga tercipta komunisme. Komunisme lebih radikal daripada sosialisme, karena dalam komunisme diajarkan untuk memberontak dan merebut kekuasaan dengan Partai Komunis sebagai pemimpinya. Inilah yang lebih dikenal sebagai sosialisme sampai saat ini.
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap ideologi politik mempunyai dampak besar bagi kehidupan manusia. Dalam sistem liberalisme dan kapitalisme manusia hidup berkompetisi dalam kebebasan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dan negara tidak boleh mencampuri hidup pribadi warga negaranya, namun di sisi lain, rakyat kelas bawah seringkali menjadi pihak yang dirugikan. Sedangkan sosialisme lebih mementingkan kesejahteraan yang merata bagi rakyatnya, dengan mengorbankan hak milik pribadi warga negaranya.
4.      Idiologi Politik Yang Lain
Ø  Anarkisme / anti otoriter, atau maupun Anomie, a-: tanpa, dan nomos: hukum atau peraturan, tanpa norma, tanpabudaya, tanpa adat, keadaan yang kacau, tanpa peraturan. Seperti acara tanpa program. Anomie juga merupakan bentuk penyimpangan masyarakat dan penyimpangan sosial karena ketidak pedulian terhadap aturan yang berlaku, yang seharusnya mengikat perilaku mereka agar menyimpang dari aturan. Beberapa contoh anarkisme:
·         Crypto-anarchism
·         Collectivist anarchism
·         Anarcha-feminism
Ø  Feminisme
·         Anarcha-feminism
·         Psychoanalytic feminism
·         Socialist feminism
·         Separatist feminism
·         Anarko-Sindikalisme, percaya terhadap metode aksi langsung, instant sindikalisme, candak langsung (dengan atau tanpa negosiasi rundingan) — yaitu, aksi yang secara langsung memperoleh keuntungan, sebagai lawan dari aksi tak langsung, seperti memilih perwakilan untuk duduk dalam pemerintahan.
D.    Sistem dan Klasifikasi Partai Politik
a.      Sistem Partai Politik
1.      Sistem satu partai / Sistem partai tunggal
Dalam system ini terdapat dua variasi : pertama, di Negara tersebut hanya terdapat satu partai yang boleh hidup dan berkembang. Kedua , partai tunggal mendominasi kehidupan kepartaian, tidak ada suasana bersaing karena partai lainnya harus menerima kepemimpinan dari partai tersebut. Beberapa Negara baru, terutama di Negara Afrika, juga mengambil system partai tunggal. Pilihan mereka didasarkan pertimbangan perlu adanya Integrasi Nasional yang kuat. Pada umumnya Negara – Negara baru mengalami ancaman perpecahan karena masalah golongan, suku, ras dan agama yang sangat berbeda dan saling bersaing. Diharapkan masalah perpecahan dan perbedaan dapat di atasi bila ada partai politik yang kuat serta dominant, karena di kuatirkan dengan tidak adanya partai yang kuat maka mudah terjadi perpecahan yang dapat mengancam kelangsungan hidup berbangsa. Dilain pihak, dengan system satu partai yang kuat dapat mematikan aspirasi dari kelompok-kelompok kecilyang terjelma dalam partai-partai kecil. Dengan kata lain aspirasi mereka dikuatirkan akan tenggelam karena dominasi partai besar tersebut.
Giovanni Sartori, seorang pakar studi partai politik menegaskan bahwa tipe partai tunggal tidak bias di masukkan dalam kategori system kepartaian, karena suatu system pada dasarnya membutuhkan lebih dari satu unit untuk dapat bekerja sebagai system.
2.      Sistem dua partai
Pengertian dua partai merujuk pada 3 kemungkinan :
1.     memang hanya dua partai besar yang mendominasi sementara partai-partai lain terlalu kecil untuk memiliki signifikansi politik
2.     Adanya dua partai di mana salah satu berperan sebagai partai berkuasa sedangkan yang lain menjadi oposisi secara bergantian.
3.     Adanya satu partai dominant yang biasanya memerintah sendiri dengan sebuah partai lain yang selalu menjadi kekuatan oposan.
Negara-negara yang terkenal dengan system dua partai ialah Inggris (dengan partai konservafatif dan partai buruh) dan Amerika Serikat (dengan partai Republik dan Partai Demokrat). Sistem dua partai di Inggris di anggap paling ideal. Sistem dua partai dapat berjalan di Inggris karena didukung oleh beberapa factor di antaranya masyarakat yang homogen, tradisi politik yang sudah berakar sebagai dasar budaya politik Inggris serta pengawasan terhadap aturan permainan politik sebagai consensus masyarakat yang harus di taati oleh segenap lapisan masyarakat. Sistem dua partai biasanya dilaksanakan dengan pemilihan yang berdasarkan atas system simple majority di mana setiap daerah pemilihan hanya diwakili oleh satu wakil.
Kekuatan Sistem dua partai adalah memudahkan terbentuknya integrasi nasional, karena partai yang kecil lebih cenderung bergabung dengan salah satu partai yang dominan jika partai yang besar itu merasa perlu mendapatkan dukungan tambahan, atau bergabung dengan partai kecil lain (misalnya Partai Liberal dan Partai Sosial Demokrat di Inggris yang membentuk koalisi yang disebut ALLIENCE). Keuntungan lain adalah adanya pengawasan (control) yang terus menerus dari partai oposisi. Kelemahan dari system ini adalah memudahkan timbulnya polarisasi antara partai yang berkuasa dan partai yang beroposisi. Bahaya ini terutama bias muncul di Negara-negara yang kadar consensus nasionalnya masih rendah, seperti di banyak Negara dunia ketiga.
3.      Sistem multi partai
Pengertian sistem banyak partai menunjuk adanya lebih dari dua partai. Negara-negara seperti Belanda, Belgia dan Norwegia menjalankan sistem multi partai sejak lama. Dalam pelaksanaanya, perlu dibentuk pemerintahan koalisi dari beberapa partai karena tidak ada partai yang cukup kuat untuk membentuk suatu pemerintahan yang mandiri. Adakalanya usaha membentuk pemerintah koalisi mengalami kegagalan karena partai-partai yang berupaya membentuk pemerintah koalisi tidak mencapai persetujuan.
Sistem banyak partai ini sering ditemukan dalam Negara-negara yang memakai system pemilihan berdasarkan perwakilan berimbang (proportional representation). Sistem ini memberi kesempatan kepada partai kecil untuk memenangakan beberapa kursi. Partai kecil dapat menarik keuntungan jika dapat membentuk pemerintahan koalisi. Secara proporsional mereka dapat ikut menentukan terbentuknya pemerintah yang akan membuat kebijakan umum. Kelemahan sistem banyak partai yang paling utama adalah bahwa banyaknya partai yang merupakan wakil kelompok dan golongan menyulitkan terbentuknya konsensus nasional.
Dari pembahasan system kepartaian di atas dapat kita tarik beberapa kesimpulan :
1.      Masing-masing system punya kelemahan dan kekuatan.
2.      Masing-masing system menuntut terpenuhinya beberapa prasyarat agar system tsb dapat berjalan dengan baik di suatu Negara.
3.      Setiap Negara mempunyai latar belakang sejarah dan tradisi politik yang sangat berpengaruh dalam pemilihan system kepartaian Negara tsb.
4.      Banyak Negara baru, termasuk Indonesia, pernah mengalami masa kepartaian dengan berbagai bentuk dan variasinya. Dengan katablain system kepartaian selalu berkembang sesuai kebutuhan dan tuntutan masyarakat. Dapat dikatakan bahwa pembangunan politik biasanya diikuti oleh perkembangan kehidupan system kepartainnya.
4.      Sistem Multi Partai di Inggris
Inggris menggunakan sistem dwipartai. Di Inggris berdiri 2 partai yang saling bersaing dan memerintah. Partai tersebut adalah:
·         Partai Buruh dan
·         Partai Konservatif.
Partai yang menang dalam pemilu dan mayoritas di parlemen merupakan partai yang memerintah, sedangkan partai yang kalah menjadi partai oposisi. Sistem kepartaian telah berlangsung sejak abad ke-18. Banyak partai politik di UK namun hanya ada 2 partai besar, yaitu: Partai Konservatif dan Partai Buruh yang selalu bergantian memegang Pemerintahan. Partai terbesar ketiga adalah Partai Liberal Demokrat (LDP). Baik Partai Buruh maupun Partai Konservatif mempunyai pendukung tradisional. Partai Konservatif mempunyai pendukung kuat di daerah pedesaan, sedangkan Partai Buruh mempunyai pendukung kuat di daerah perkotaan, perindustrian, pertambangan dan pemukiman kelas pekerja. Wilayah Wales dan wilayah Skotlandia juga merupakan daerah pendukung kuat Partai Buruh. Sejak Perang Dunia Kedua berakhir, Partai Konservatif telah berhasil memenangkan pemilu sebanyak delapan kali, terakhir pada pemilu tahun 1992. Sedangkan Partai Buruh telah memenangkan tujuh pemilu, termasuk pemilu terakhir pada tahun 2007.
Negara Inggris dikenal sebagai induk parlementaria (the mother of parliaments) dan pelopor dari sistem parlementer. Inggrislah yang pertama kali menciptakan suatu parlemen workable. Artinya, suatu parlemen yang dipilih oleh rakyat melalui pemilu yang mampu bekerja memecahkan masalah sosial ekonomi kemasyarakatan. Melalui pemilihan yang demokratis dan prosedur parlementaria, Inggris dapat mengatasi masalah sosial sehingga menciptakan kesejahteraan negara (welfare state). Sistem pemerintahannya didasarkan pada konstitusi yang tidak tertulis (konvensi). Konstitusi Inggris tidak terkodifikasi dalam satu naskah tertulis, tapi tersebar dalam berbagai peraturan, hukum dan konvensi. Dan berdasarkan Konstitusinya, Inggris menganut sistem dwipartai, yaitu terdapat 2 partai yang saling bersaing dan memerintah.
Budaya politik rakyat Inggris adalah partisipatif dalam proses politik, mendukung otoritas pemerintah yang sedang berkuasa, dan mendukung penegakan rule of law. Hal inilah yang menyebabkan pemerintah menjadi relatif stabil, karena pemerintah konsisten menjalankan apa yang diamanatkan rakyat kepadanya. Pemerintah yang tengah berkuasa pun mendapat legitimasi penuh dari rakyat. Rakyat Inggris memiliki loyalitas tinggi terhadap kerajaan. Rakyat Inggris juga merupakan pecinta tradisi kerajaan, hal ini bisa dilihat dari antusiasme mereka dalam acara-acara besar kerajaan, misalnya pernikahan. Bagi rakyat Inggris, tradisi kerajaan merupakan tradisi yang harus dijaga. Tradisi kerajaan juga menjadi kebanggaan rakyat Inggris yang hingga kini masih mereka pegang teguh.
5.      Kedudukan monarki kerajaan dan politik di Inggris
Pada dasarnya monarki adalah system pemerintahan yang di lakukan oleh kerajaan. Tapi ada beberapa hal yang membedakan monarki di inggris dengan monarki di Negara lain. inggris menganut system monarki yang kekuasaan nya tidak mutlak di pegang oleh ratu. Ada beberapa eleman lain yang terkait jika mengambil kebijakan. Ada beberapa pokok dasar hokum yang harus di patuhi oleh roda pemerintahan inggris. Antara lain : adanya oposisi, ratu adalah symbol keagungan tapi tidak boleh ikut campur dalam kebijakan politik, system dwi partai, ddl.
Inggris menunjukan bahwa monarki yang mereka anut tidak tergantung terhadap kekuasaan raja atau ratu. Mereka hanyalah symbol di agungkan , tapi tidak punya kekuatan dalam pemerintahan . itulah kenapa setiap kebijakan politik inggris selalu di lakukan oleh perdana menteri yang di pilih.
6.      Sistem Dua Partai di Amerika Serikat
Sampai sekarang Amerika masih memiliki sistem dua partai (two-party system), yakni :
·         Partai Republik dan
·         Partai Demokrat.
Sejak tahun 1852, kedua partai ini menguasai dan memenangi pemilihan Presiden Amerika Serikat dan sejak tahun 1856 kedua partai ini juga mengendalikan kongres Amerika Serikat. Kedua partai ini tentunya memiliki pendukungan masing-masing. Seperti partai republik yang cederung di dukung oleh kalangan kulit putih dan demokrat cenderung di dukung oleh kalangan kulit hitam. Partai Demokrat memposisikan dirinya sebagai “sayap kiri” yang berasaskan prinsip liberalisme, sedangkan dari kubu Republik memposisikan dirinya sebagai “sayap kanan” yang bersifat konservatis. Tentunya partai itu sendiri tentunya memiliki peranan dan fungsi tertentu dalam sistem politik Amerika Serikat. Partai tentunya berfungsi untuk merekrut kandidat baik untuk lokal, negara bagian dan national offices. Partai juga berfungsi untuk melatih dan membantu para kandidat dalam berbagai macam kampanye, partai mendapatkan dan menggunakan dana kampanye. Selain itu partai juga membantu menarik pemilih untuk memilih kandidat melalui organisasi sukarelawan rakyat, bank telpon, dll. Partai juga memudahkan atau menyederhanakan pemilu (Melusky 2000, 98). Fungsi lainnya yakni sebagai suatu grup mereka berusaha untuk berpartisipasi dan mempengaruhi jalannya pemerintahan, dengan kandidat anggota terpilih yang mempunyai posisi di pemerintahan. Partai politik ini juga berfungsi untuk membentuk dan mempengaruhi opini public, tujuannya agar public mendukung serta memberikan vote pada partai tersebut. Di bidang legislative partai juga mempunyai fungsi yakni sebagai partai mayoritas atau minoritas, anggota memberikan vote berdasarkan kepentingan partai. Partai juga turut mempengaruhi keputusan hukum, hal ini berkaitan dengan posisi, apabila hakim tersebut adalah seorang democrat, maka ia akan berpikiran dengan cara democrat, sebaliknya apabila hakim tersebut seorang republic, maka ia akan berpikiran dengan cara republik.
Selain fungsi, partai juga mempunyai peran yakni di antaranya mencapai kekuatan politik di pemerintahan, biasanya melalui kampanye pemilihan berusaha untuk mencari basis pendukung dengan penyampaian ide-ide mereka. Partai tentunya memiliki suatu ideology dan visi yang berbeda-beda namun tidak tertutup kemungkinan partai tersebut berkoalisi dengan partai lainnya. Partai juga berperan sebagai wadah bagi orang-orang yang memiliki interest terhadap dunia politik dan ingin berpartisipasi dalam mewujudkan kesamaan kepentingan mereka. Selain dua partai besar yang menguasai Amerika yakni democrat dan republic, ada pula suatu partai yang disebut sebagai “third party”. Partai ketiga ini berfungsi sebagai wadah bagi orang-orang yang memiliki visi lain di luar republic dan democrat. Partai ketiga ini cenderung mengambil simpati orang-orang dengan mengangkat suatu isu yang spesifik misalnya tentang lingkungan yang diusung oleh Green Party. Partai ketiga ini juga memiliki kedudukan di kongres, dua partai besar yakni republic dan democrat biasanya membentuk aliansi dengan para pendukung partai ketiga agar dua partai besar ini mendapatkan suara dari partai ketiga.
Berdasarkan paparan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa partai politik di Amerika Serikat memiliki beberapa peran dan fungsi. Dengan adanya peran dan fungsi tersebut diharapkan partai politik mampu menjalankannya sehingga akan terbentuk situasi politik yang kondusif dan segala kegiatan di Kongres berjalan dengan semestinya. Partai politik juga turut mempengaruhi jalannya pemerintahan. Selain mempunyai peran dan fungsi, tentunya partai politik tersebut juga memiliki tanggung jawab yakni menjunjung nilai demokratis dalam dunia perpolitikan Amerika. Utamanya, partai politik sebagai suatu wadah mampu untuk menampung ide-ide baik dari anggota maupun masyarakat dan berusaha untuk mewujudkannya. Amerika Serikat dengan dua partai besarnya yakni Demokrat dan Republik dengan segala perbedaannya tetap memiliki suatu peran dan fungsi yang sama yakni bagaimana mewujudkan Amerika agar memiliki situasi yang stabil melalui pengaruh partai mereka terhadap sistem pemerintahan dengan segala konflik yang ada .
b.      Klasifikasi Partai Politik
Klasifikasi partai politik dapat didasarkan atas beberapa hal antara lain :
Dari segi komposisi, fungsi keanggotaan dan dasar ideologinya. Dalam klasifikasi berdasarkan komposisi dan fungsi keanggotaan, partai politik dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu partai kader dan partai massa. Partai kader biasanya lebih mementingkan keketatan, disiplin dan kualitas anggota. Kelemahan partai kader ini teutama dalam mencari dukungan, biasanya mereka kalah dalam persaingan mengumpulkan jumlah dukungandi masyarakat luas karena dianggap anggota partai kader terbatas pada kelompok-kelompok tertentu. Partai massa merupakan kebalikan dari partai kader karena mereka lebih menekankan pada pencarian jumlah dukungan yang banyak di masyarakat atau dengan kata lain lebih menekankan aspek kuantitas. Kelemahan partai massa adalah bahwa disiplin anggota biasanya lemah, juga lemahnya ikatan organisasi sesame anggota, bahkan kadang kala tidak saling kenal, karena luasnya dukungan dari berbagai golongan dan lapisan masyarakat. Perkembangn partai massa sebenarnya berawal dari partai kader. Partai – partai kader yang sebelumnya masih terbatas keanggotaannya pada kalangan tertentu mulai membuka diri untuk keanggotaan yang lebih luas.
Pada tahun 1966, Otto von Kircheimer menambahkan lagi sebuah jenis partai berdasarkan keanggotaannya, yang disebut partai catch-all. Partai jenis ini adalah perkembangan lebih lanjut dari partai massa. Pada tahun 1980-an, Richard S. katz dan Peter Mair menambahkan lagi sebuah jenis partai berdasarkan perkembangan kecenderungan Negara-negara Barat untuk memberikan subsidi bagi partai-partai politik yang ada dan meningkatnya peran media elektronik dalam kampanye pemilu. Katz dan Mair mengutip kesuksesan kerja sama tiga partai politik Austria (the socialist Party, the people’s Party and the freedom Party), yang berhasil mempertahankan kemenangannya dalam pemilu selama bertahun-tahun.
Klasifikasi partai politik dapat juga didasarkan atas sifat dan orientasinya. Dalam hal ini partai politik dibagi atas partai lindungan dan partai ideologi atau asas. Partai lindungan umumnya memiliki organisasi nasional yang kendor, meskipun pada tingkat lokal sering kalicukup ketat. Partai ideologi atau partai asas, adalah partai yang mengikat diri pada ideologi atau asas tertentu dalam menyusun program kerja partainya. Klaus von Beyme pada tahun 1985 dalam bukunya Political Parties in western Democracies, mengklasifikasikan 9 kelompok partai yang selama ini berkembang di Eropa Barat berdasarkan ideologinya (familles spiritualles) yaitu :
1.      Partai Liberal dan Radikal.
2.      Partai Konservatif.
3.      Partai Sosialis dan Sosial Demokrat.
4.      Partai Kristen Demokrat.
5.      Partai Komunis.
6.      Partai Agraris.
7.      Partai Regional dan Etnis.
8.      Partai Ekstrim Kanan.
9.      Gerakan Ekonomi/Lingkungan.
Von Beyme tidak menutup kemungkinan bahwa ada partai-partai politik dengan ideologi lain yang kemudian tidak bisa dimasukkan dalam klasifikasi yang ia buat. Orientasi para pemilih tersebut bisa dikelompokan menjadi empat klasifikasi yang muncul dalam masyarakat bersamaan dengan perkembangan sosial politik di Negara itu sendiri, yaitu:
1.      Pusat daerah (centre-periphery)
2.      Negara gereja (state-church)
3.      Ladang Industri (land-industri)
4.      Pemilik modal pekerja (owner-worker)
E.     Fungsi dan Struktur Partai Politik
a.      Fungsi Partai Politik
Sesuai dengan isi pada Pembukaan UUD 1945 dan Batang Tubuh UUD 1945 bahwa Indonesia menganut sistem multi partai yaitu sistem yang pada pemilihan kepala negara atau pemilihan wakil-wakil rakyatnya dengan melalui pemilihan umum yang diikuti oleh banyak partai. Sistem multi partai dianut karena keanekaragaman yang dimiliki oleh negara Indonesia sebagai negar kepulaaan yang di dalamnya terdapat perbedaan ras, agama, atau suku bangsa adalah kuat,golongan-golongan masyarakat lebih cenderung untuk menyalurkan ikatan-ikatan terbatas (primodial) tadi dalam saru wadah saja.
Di dalam sistem demokrasi yang ada di Indonesia. Partai politik diselenggarakan dengan tujuan sebagai berikut:
1.      Sarana Komunikasi Politik
Yang dimaksud fungsi partai politik sebagai sarana komunikasi politik adalah partai politik menjalankan tugas menyalurkan berbagai pendapat dan aspirasi masyarakat kepada pemerintah. Langkah-langkah yang ditempuh partai politik dalam menjalankan fungsi ini seperti berikut.
·         Partai politik menampung pendapat-pendapat dan aspirasi-aspirasi yang datang dari masyarakat.
·         Partai politik menggabungkan pendapat-pendapat dan aspirasi masyarakat yang senada.
·         Selanjutnya, partai politik merumuskan pendapat-pendapat atau aspirasi-aspirasi masyarakat sebagai usul kebijaksanaan. Usul kebijaksanaan tersebut dimasukkan dalam program partai untuk diperjuangkan atau disampaikan kepada pemerintah agar dijadikan kebijakan publik (public policy).
2.         Sarana Sosialisasi Politik
Sosialisasi politik dapat diartikan sebagai upaya pemasyarakatan politik agar dikenal, dipahami, dan dihayati oleh masyarakat. Usaha sosialisasi politik berkaitan erat dengan usaha partai politik untuk menguasai pemerintahan melalui kemenangan dalam pemilihan umum. Dalam usaha menguasai pemerintahan, partai politik harus memperoleh dukungan seluas mungkin. Oleh karena itu, partai politik berusaha menciptakan ”image” kepada masyarakat luas bahwa ia memperjuangkan kepentingan umum. Itulah upaya sosialisasi politik yang dapat dilakukan oleh partai politik. 
Bentuk sosialisasi politik lain yang dapat dilakukan oleh partai politik seperti berikut. Partai politik berusaha mendidik anggota-anggotanya menjadi manusia yang sadar akan tanggung jawabnya sebagai warga negara dan menempatkan kepentingan diri sendiri di bawah kepentingan nasional. Selain itu, partai politik juga berupaya memupuk identitas nasional dan integrasi nasional. 
Proses sosialisasi dapat dilakukan dengan berbagai cara. Misalnya, dengan ceramah-ceramah penerangan, kursus kader, dan kursus penataran. Biasanya proses sosialisasi berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama dan berkesinambungan. Ibaratnya, sosialisasi berjalan berangsur-angsur sejak kanak-kanak sampai dewasa.
3.      Sarana Rekrutmen Politik
Partai politik mempunyai tanggung jawab melaksanakan rekrutmen politik. Artinya, partai politik berfungsi untuk mencari dan mengajak orang yang berbakat untuk turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai. Dalam pengertian ini berarti partai politik turut serta memperluas partisipasi politik dalam masyarakat. Usaha rekrutmen politik ini dapat dilakukan dengan cara kontak pribadi, persuasi (pendekatan), dan menarik golongan muda untuk dididik menjadi kader yang akan menggantikan pemimpin lama pada masa mendatang.
4.      Sarana Pengatur Konflik
Dalam kehidupan demokrasi, terjadinya gejolak-gejolak sosial seperti persaingan dan perbedaan pendapat dalam masyarakat merupakan satu hal yang wajar terjadi. Mengapa demikian? Alasannya, dalam kehidupan demokrasi terdapat jaminan kebebasan untuk berpendapat dan berorganisasi. Dalam hal berpendapat dan berorganisasi, setiap orang mempunyai pandangan masing-masing yang berbeda antara orang yang satu dengan orang yang lain.  Perbedaan itulah yang kadang menjadi penyebab timbulnya persaingan dan berkembang menjadi konflik (masalah). Jika sudah demikian, partai politik segera menjalankan fungsinya sebagai pengatur konflik. Partai politik berusaha menyelesaikan konflik secara damai dan berusaha menjadi penengah yang bersifat netral.
5.      Sarana Artikulasi Kepentingan
Fungsi partai politik sebagai sarana artikulasi politik maksudnya adalah partai politik bertugas menyatakan kepentingan warga masyarakat kepada pemerintah dan badan-badan politik yang lebih tinggi. Contoh bentuk artikulasi kepentingan yang dilakukan oleh partai politik adalah pengajuan permohonan secara individual kepada anggota dewan kota, parlemen, pejabat pemerintahan, atau dalam masyarakat tradisional kepada kepala desa atau kepala suku.
6.      Sarana Agregasi Kepentingan
Dalam fungsi ini, tugas partai politik adalah merumuskan program politik yang mencerminkan gabungan tuntutan-tuntutan dari partai-partai politik yang ada dalam pemerintahan dan menyampaikannya kepada badan legislatif. Selain itu, partai politik juga melakukan tawar-menawar dengan calon-calon pejabat pemerintah yang diajukan dalam bentuk penawaran pemberian dukungan bagi calon-calon pejabat pemerintah dengan imbalan pemenuhan kepentingan-kepentingan partai politik.
b.      Struktur Partai Politik
Di bawah ini adalah beberapa penjabaran apa yang dimaksud dengan kelompok kepentingan, kelompok elit, kelompok birokrasi dan massa.
1.      Kelompok Kepentingan
Kelompok kepentingan (intrest group) adalah suatu kelompok yang mempunyai tujuan untuk memperjuangkan “kepentingan” dan mempengaruhi lembaga-lembaga politik agar mendapatkan keputusan yang menguntungkan atau menghindarkan keputusan yang merugikan. Kelompok ini tidak berusaha untuk menempatkan wakil-wakilnya dalam dewan perwakilan rakyat, melainkan cukup mempengaruhi satu atau beberapa partai di dalamnya atau instansi pemerintah atau menteri yang berwenang. Contohnya kelompok-kelompok
2.      Kelompok Elit
Kelompok elit adalah kelompok yang terorganisisr yajgn anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuannya yaitu untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik, biasanya dengan cara konstitusional Contohnya yaitu elit politik yang di dalamnya terdapat kader-kader yang nantinya akan dipilih melalui pemilihan ketua umum partai. Pemilihan ini diikuti oleh anggota-anggota yang terdaftar di dalam partai tersebut.
3.      Kelompok Birokrasi
Suatu kelompok yang memiliki peranan dalam prroses terciptanya suatu kebijakan umum yang diambil dari bawah ke atas atau dari atas ke bawah yang keputusan itu sangat bermanfaat. Contohnya Pembuatan SKCK yang prosesnya dimulai dari tingkata terkecil yaitu RT, RW dan dilanjutkan Kelurahan sebelum SKCK dibuat di POLSEK ataupun POLRES.
4.      Massa
Massa merupakan sekumpulan orang yang berpatisipasi dalam proses pemilihan pemimpin-pemimpin politik dan turutn serta secara langsung atau tidak langsung dalam pembentukan kebijakan umum yang merupakan tujuan dari terbentuknya partai politik.
F.     Tipe Partai Politik
Tipe-tipe partai politik dari para ahli cukup banyak, dan ini cukup membingungkan. Namun, aneka klasifikasi tipe partai politik tersebut diakibatkan sejumlah sudut pandang. Misalnya, ada yang mengkaitkan dengan kesejarahan, hubungan sosial, berakhirnya perang ideologi, dan sebagainya.
Tulisan ini sengaja akan memuat sejumlah pandangan para ahli ilmu politik mengenai klasifikasi partai politik. Salah satu yang melakukannya adalah Richard S. Katz. Katz membagi tipe partai politik menjadi 4 tipe, yaitu:
1.      Partai Elit – Partai jenis ini berbasis lokal, dengan sejumlah elit inti yang menjadi basis kekuatan partai. Dukungan bagi partai elit ini bersumber pada hubungan client (anak buah) dari elit-elit yang duduk di partai ini. Biasanya, elit yang duduk di kepemimpinan partai memiliki status ekonomi dan jabatan yang terpandang. Partai ini juga didasarkan pada pemimpin-pemimpin faksi dan elit politik, yang biasanya terbentuk di dalam parlemen.
2.      Partai Massa – Partai jenis ini berbasiskan individu-individu yang jumlahnya besar, tetapi kerap tesingkirkan dari kebijakan negara. Partai ini kerap memobilisasi massa pendukungnya untuk kepentingan partai. Biasanya, partai massa berbasiskan kelas sosial tertentu, seperti “orang kecil”, tetapi juga bisa berbasis agama. Loyalitas kepada partai lebih didasarkan pada identitas sosial partai ketimbang ideologi atau kebijakan.
3.      Partai Catch-All – Partai jenis ini di permukaan hampir serupa dengan Partai Massa. Namun, berbeda dengan partai massa yang mendasarkan diri pada kelas sosial tertentu, Partai Catch-All mulai berpikir bahwa dirinya mewakili kepentingan bangsa secara keseluruhan. Partai jenis ini berorientasi pada pemenangan Pemilu sehingga fleksibel untuk berganti-ganti isu di setiap kampanye. Partai Catch-All juga sering disebut sebagai Partai Electoral-Professional atau Partai Rational-Efficient.
4.      Partai Kartel - Partai jenis ini muncul akibat berkurangnya jumlah pemilih atau anggota partai. Kekurangan ini berakibat pada suara mereka di tingkat parlemen. Untuk mengatasi hal tersebut, pimpinan-pimpinan partai saling berkoalisi untuk memperoleh kekuatan yang cukup untuk bertahan. Dari sisi Partai Kartel, ideologi, janji pemilu, basis pemilih hampir sudah tidak memiliki arti lagi.
5.      Partai Integratif - Partai jenis berasal dari kelompok sosial tertentu yang mencoba untuk melakukan mobilisasi politik dan kegiatan partai. Mereka membawakan kepentingan spesifik suatu kelompok. Mereka juga berusaha membangun simpati dari setiap pemilih, dan membuat mereka menjadi anggota partai. Sumber utama keuangan mereka adalah dari iuran anggota dan dukungan simpatisannya. Mereka melakukan propaganda yang dilakukan anggota secara sukarela, berpartisipasi dalam bantuan-bantuan sosial.
G.    Peranan Wanita Dalam Partai Politik
Sebelum lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia, peran perempuan sudah dalam dunia politik sudah ada, karena Sejarah Indonesia mencatat seorang tokoh bernama Gayatri Rajapatni (Ratu di atas segala Ratu) yang wafat pada tahun 1350 yang diyakini sebagai perempuan di balik kebesaran Kerajaan Majapahit. Majapahit merupakan kerajaan Hindu-Budha yang di mata banyak orang tidak mungkin memberikan ruang bagi perempuan untuk berpolitik. Tetapi hasil kajian yang dilakukan oleh mantan Dubes Canada untuk Indonesia (Earl Dark, ia juga sebagai sejarawan) membuktikan, bahwa puncak kejayaan Majapahit tercapai karena peran sentral Gayatri, istri Raden Widjaya, ibunda ratu ketiga Majapahit, Tribhuwanatungga-dewi, sekaligus nenek dari Hayamwuruk, raja terbesar di sepanjang sejarah Kerajaan Majapahit. Gayatri tidak pernah menjabat resmi sebagai ratu, tetapi peran politiknya telah melahirkan generasi politik yang sangat luar biasa di Nusantara kala itu.
Diera Kolonialisme Belanda kita mengenal RA Kartini, ia lahir sebagai pemimpin perempuan yang memperjuangkan kebebasan dan peranan perempuan melalui emansipasi dalam bidang pendidikan. Berkat pemikiran-pemikiran yang ia lahirkan, sehingga sampai saat ini pemikirannya masih menjadi bahan kajian para Kartini masa kini. Tokoh Supeni, dikenal sebagai politikus wanita yang menduduki berbagai jabatan penting di Indonesia. Ia pernah menjabat sebagai anggota DPR sekaligus anggota Konstituante melalui partai PNI. Sebagai diplomat, ia pernah menjabat sebagai duta besar luar biasa dan berkuasa penuh untuk Amerika Serikat dan duta besar keliling di zaman Presiden Soekarno. Sebagai salahsatu contoh lagi yakni Dra. Khofifah Indar Parawansa, ia  adalah Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan pada Kabinet Persatuan Nasional. Adapun karir politiknya yakni: (1) Pimpinan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan DPR RI (1992-1997); (2) Pimpinan Komisi VIII DPR RI (1995-1997); (3) Anggota Komisi II DPR RI (1997-199) ; (4) Wakil Ketua DPR RI (1999); (5) Sekretaris Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa MPR RI (1999); (6) Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (1999-2001); (7) Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (1999-2001); ( Ketua Komisi VII DPR RI (2004-2006); (9) Ketua Fraksi Kebangkitan Bangsa MPR RI (2004- 2006); (10) Anggota Komisi VII DPR RI (2006).
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Makna dari “kedaulatan berada di tangan rakyat” adalah bahwa rakyat memiliki kedaulatan, tanggung jawab, hak dan kewajiban untuk secara demokratis memilih pemimpin yang akan membentuk pemerintahan guna mengurus dan melayani seluruh lapisan masyarakat, serta memilih wakil rakyat untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Perwujudan kedaulatan rakyat dilaksanakan melalui Pemilu secara langsung sebagai sarana bagi rakyat untuk memilih wakilnya yang akan menjalankan fungsi melakukan pengawasan, menyalurkan aspirasi politik rakyat, membuat undang-undang sebagai landasan bagi semua pihak di Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam menjalankan fungsi masing-masing, serta merumuskan anggaran pendapatan dan belanja untuk membiayai pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut. Sesuai dengan ketentuan Pasal 22E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diselenggarakan berlandaskan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Pemilu diselenggarakan dengan menjamin prinsip keterwakilan, yang artinya setiap orang Warga Negara Indonesia dijamin memiliki wakil yang duduk di lembaga perwakilan yang akan menyuarakan aspirasi rakyat di setiap tingkatan pemerintahan, dari pusat hingga ke daerah. Pemilu yang terselenggara secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil merupakan syarat mutlak untuk mewujudkan wakil rakyat yang berkualitas, dapat dipercaya, dan dapat menjalankan fungsi kelembagaan legislatif secara optimal. Penyelenggaraan Pemilu yang baik dan berkualitas akan meningkatkan derajat kompetisi yang sehat, partisipatif, dan keterwakilan yang makin kuat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Peran perempuan dan laki-laki pada dasarnya sama, itu juga telah diamanatkan oleh konstitusi kita Undang-undang Dasar Tahun 1945, pada penggalan Pasal 28D ayat 1 berbunyi “setiap orang berhak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Itu berarti baik laki-laki maupun perempuan pada dasarnya sama dihadapan hukum, berperan dalam politik, berpran dalam dunia pendidikan, berperan dalam dunia kesehatan, dan berperan dalam bentuk apa pun pemi kemajuan dan keutuhan negara tercinta yakni Negara Nesatuan Republik Indonesia. Lebih lanjut dalam Pasal 28D ayat (3) Undang-undang Dasar Tahun 1945 amandemen kedua mengamanatkan “setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”. Pastilah kita kenal tokoh perempuan yang pertama menjadi Presiden Perempuan di Indonesia, ia adalah Ibu Megawati Soekarnoputri, menteri juga banyak dari kalangan perempuan, salahsatunya Ibu Siti Fadilah Supari, pernah menjadi Mentri Kesehatan Republik Indonesia, ditingkat Pemerintah Provinsi, pemerintah Kabupaten, bahkan yang jadi Walikota dari kalangan perempuan bisa dibilang banyak jumlahnya di Indonesia ini. Mengenai persamaan yang di amanahkan Undang-undang Dasar Tahun 1945 ada juga di Pasal 28H ayat (2) yakni berbunyi “setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Jadi, tidak ada yang bisa menyangkal bahwasannya permpuan juga bisa berperan dalam berbagai bidang yang biasananya dilakukan para lelaki, karena itu semua sudah dijamin dan di khidmad oleh konstitusi kita serta dalam kenyataannya juga telah terbukti.
Didalam bingkai kehidupan sosial dan politik masyarakat Indonesia secara umum memberikan ruang yang luas dan ramah bagi kaum perempuan untuk berkiprah dalam politik, termasuk menjadi pemimpin. Bahkan kesempatan ini terus diberikan, termasuk penetapan kuota 30% perempuan di parlemen melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dari perspektif historis, nampak bahwa sepanjang sejarah Indonesia, pemimpin perempuan telah muncul silih-berganti. Rahim Ibu Indonesia telah membuktikan diri sebagai rahim yang subur bagi lahirnya para pemimpin perempuan terkemuka di bumi pertiwi, sungguh mulia jasamu pasa ibu, karena engan tangan lebutmu engkau rawat anak-anak mu hingga besar dan berprestasi, karena dengan kasih sayang mu  engkau didik anak-anakmu jadi seorang pemimpin.
Adanya partai politik merupakan salah satu wujud partisipasi masyarakat yang penting dalam mengembangkan kehidupan demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan, kesetaraan, kebersamaan, dan kejujuran. Dalam artian menjunjung tinggi “kebebasan” dalam berucap, bersikap, berbuat, bertingkah serta berpolitik. Menjunjung tinggi “kesetaraan” dalam bentuk apapun, termasuk kesetaraan dalam mengambil bagian dan berkompetisi dalam dunia politik. Menjunjung tinggi kebersamaan dalam membangun bangsa, agar bangsa indonesia menjadi bangsa yang besar, bangsa yang adil, bangsa yang bermartabat serta menjadikan bangsa yang mandiri, bagian ini tidak hanya dilakukan oleh para laki-laki, namun para perempuan pun harus turut andil didalamnya. Menjunjung tinggi “kejujuran”, kejujuran itu sangat-sangat tinggi nilainya di mata masyarakat, karena kalau kita telah jujur maka kita akan dipercayai selamanya, para perempuan pasti telah mengenyam nilai-nilai kejujuran itu, karena hati dan jiwa perempuan itu lembut dan selalu mengutamakan hati nurani dalam setiap tingkah-lakunya.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, pada Pasal 8 Ayat (2) berbunyi “partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau partai politik baru dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan”. Pasal 8 Ayat (2) Poin e berbunyi “menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat”. Jadi, keterwakilan perempuan dalam konstitusi itu telah dijamin. Pada Pasal 15 Poin d berbunyi “surat keterangan dari pengurus pusat partai politik tentang penyertaan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan “penyertaan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (5), Pasal 20, dan Pasal 51 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Lebih lanjut pada Pasal 53 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, menyebutkan “di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon”. Lebih lanjut pada Pasal 55 menyebutkan bahwasannya “daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 memuat paling sedikit 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan”. Dalam setiap 3 (tiga) bakal calon, bakal calon perempuan dapat ditempatkan pada urutan 1, atau 2, atau 3 dan demikian seterusnya, tidak hanya pada nomor urut 3, 6, dan seterusnya.
Pada saat Verifikasi Kelengkapan Administrasi Bakal Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, di Pasal 58 Ayat (1) Komisi Pemilihan Umum (KPU) melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPR dan verifikasi terhadap terpenuhinya jumlah sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan. Pasal 58 Ayat (2) menyebutkan bahwasannya “KPU Provinsi melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPRD provinsi dan verifikasi terhadap terpenuhinya jumlah bakal calon sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan”. Pada Pasal 58 Ayat (3) “KPU Kabupaten/Kota melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPRD kabupaten/kota dan verifikasi terhadap terpenuhinya jumlah bakal calon sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan”. Pasal 59 Ayat (2) berbunyi “dalam hal daftar bakal calon tidak memuat sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan, maka KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota memberikan kesempatan kepada partai politik untuk memperbaiki daftar bakal calon tersebut”. Dalam bunyi Pasal 62 Ayat (6) menyatakan “KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota mengumumkan persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon sementara partai politik masing-masing pada media massa cetak harian nasional dan media massa elektronik nasional”. Pengumuman persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon sementara dalam ketentuan ini dilakukan sekurang-kurangnya pada 1 (satu) media cetak selama 1 (satu) hari dan pada 1 (satu) media elektronik selama 1 (satu) hari.
Lebih lanjut dalam Pasal 67 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, berbunyi “KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota mengumumkan persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon tetap partai politik masing-masing pada media massa cetak harian nasional dan media massa elektronik nasional”. Pengumuman persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon tetap dalam ketentuan ini dilakukan sekurang-kurangnya pada 1 (satu) media cetak selama 1 (satu) hari dan pada 1 (satu) media elektronik selama 1 (satu) hari. Lebih lanjut pada Pasal 215 Ayat b menyebutkan “dalam hal terdapat dua calon atau lebih yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dengan perolehan suara yang sama, penentuan calon terpilih ditentukan berdasarkan persebaran perolehan suara calon pada daerah pemilihan dengan mempertimbangkan keterwakilan perempuan”.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik Sejak Pemilu 2004, melalui Undang-undang Partai Politik No. 31 tahun 2002, telah berubah beberapakali yakni Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, mengatur perihal keterlibatan perempuan dalam kepengurusan partai politik dan kuota pencalonan legislatif perempuan sebanyak 30%. Meski upaya penerapan kuota telah dilakukan, namun pada Pemilu 2009 belum menunjukkan angka keberhasilan yang signifi kan karena baru mencapai 18.04% (101 orang dari 560 orang anggota) keterwakilan perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). sementara keterwakilan perempuan di Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mencapai 26.52% (35 orang dari 132 orang anggota). Untuk menopang terwujudnya kuato 30% tersebut perlu pemikiran yang matang dan keseriusan yang penuh bagi para perempuan yang memilih dan meniti karirnya di dunia politik tersebut. Dengan keseriusan dan semangatnya untuk mensosialisasikan sampai ke akar rumput, maka cita-cita pencapaian 30% itu akan terpenuhi di kompetisi bulan April 2014 nanti.
Negara-negara seperti di eropa  pemenuhan hak-hak politik perempuan dilakukan secara incremental,  bertahap dan melalui perjuangan yang keras. Hak memilih bagi perempuan yang paling awal di dunia Barat dinikmati oleh perempuan New Zeland. Hanya 10 minggu setelah gubernur Lord Glasgow menandatangani the Electoral Act 1893, sebanyak 109. 461 perempuan New Zeland tercatat menggunakan hak memilihnya pada pemilu 1893. Sudah tentu ini tidak berarti bahwa perempuan Indonesia tidak dihadapkan pada persoalan-persoalan sebagaimana banyak perempuan di dunia alami. Dalam bidang politik, persoalan rendahnya partisipasi dan representasi kaum perempuan, terutama di lembaga-lembaga publik, termasuk di parlemen merupakan masalah serius di Indonesia.
Perempuan juga, berdasarkan realita objektif persoalan rendahnya dan buruknya kualitas partisipasi dan representasi merupakan bagian dari persoalan demokrasi Indonesia yang belum selesai dan masih terus mencari bentuk, dan bukan merupakan persoalan perempuan semata-mata. Masih banyak kelompok dalam masyarakat Indonesia dihadapkan pada kedua persoalan ini. Kaum petani, dan nelayan, misalnya, menghadapi masalah ini sama seriusnya dengan kaum perempuan. Demikian pula dengan kaum buruh. Karenanya, persoalan partisipasi dan representasi yang buruk ini harus diselesaikan sebagai agenda politik kolektif sebuah bangsa, bukan dibatasi sebagai medan pergulatan gender situasi inilah yg terjadi di Indonesia.
Dengan adanya konstitusi yang mengatur tentang keterlibatan perempuan dalam kepengurusan partai politik dan kuota pencalonan legislatif perempuan sebanyak 30%, harapan penulis kepada semua kaum perempuan, tidak bereforia dengan terjaminnya hak itu oleh konstitusi, sehingga hak-hak lainnya yang juga tidak kalah penting terabaikan begitu saja. Salah satu contohnya, bila perempuan yang sudah berkeluarga, bilamana ingin berproses dan ingin mengambil bagian yang jamin konstitusi tersebut, harus dulu menyelesaikan kewajibannya sebagai seorang ibu dan sebagai istri yang baik, mengurus dulu keperluan anak-anaknya, agar anak-anaknya kelak beranjak dewasa menjadi orang terdidik dan menjadi pemimpin yang tangguh serta mengurus dulu kewajibannya sebagai seorang istri.
H.    Partai Politik Ruyal Urban (imigran)
Terminologi urban (migran) biasanya merujuk pada wilayah dan sistem mata pencarian penduduk. Perdagangan, industrialisasi, kosmopolitanisme (etnis yang membaur unsure primordialismenya), kerja berdasar kontrak, merupakan beberapa cirri dari masyarakat urban. Sementara, masyarakat rural dicirikan dengan masih berlangsungnya sistem mata pencarian subsisten (pertanian, peternakan, perkebunan, perikanan), hubungan komunalistik, kepemilikan sendiri alat produksi, ataupun pembentukan institusi sosial berdasar kekerabatan.
Lewat terminologi di atas, kategorisasi rural – urban tidak melulu diterapkan antara Jawa – NonJawa. Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Makassar, BanjarMasin, ataupun Surabaya dapat dimasukkan ke dalam kategori wilayah urban (kota). Sementara wilayah Gunung Kidul, Blambangan, Brebes, kendati berada di pulau Jawa masih dapat dikategorikan wilayah rural. Indonesia sendiri cukup bervariasi dalam hal wilayah rural dan urban ini. Perbedaan-perbedaan ini membuat partai-partai politik dengan berbagai isu beda dapat tumbuh di hampir aneka wilayah Indonesia.
I.       Pendiidkan Politik di Lingkungan Akademis
Pendidikan kewarganegaraan (citizenship education) memiliki peran penting dalam suatu kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurut William Galston, pendidikan kewarganegaraan per definsi adalah pendidikan_di dalam dan demi_ tatanan politik yang ada (Felix Baghi, 2009). Pendidikan kewarganegaraan adalah bentuk pengemblengan individu-individu agar mendukung dan memperkokoh komunitas politiknya sepanjang komunitas politik itu adalah hasil kesepakatan. Pendidikan kewarganegaraan suatu negara akan senantiasa dipengaruhi oleh nilai-nilai dan tujuan pendidikan (educational values and aims) sebagai faktor struktural utama (David Kerr, 1999). Pendidikan kewarganegaraan bukan semata-mata membelajarkan fakta tentang lembaga dan prosedur kehidupan politik tetapi juga persoalan jatidiri dan identitas suatu bangsa (Kymlicka, 2001).
Berdasar hal di atas, pendidikan kewarganegaraan di Indonesia juga berkontiribusi penting dalam menunjang tujuan bernegara Indonesia. Pendidikan kewarganegaraan secara sistematik adalah dalam rangka perwujudan fungsi dan tujuan pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945 Pendidikan kewarganegaraan berkaitan dan berjalan seiring dengan perjalanan pembangunan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan kewarganegaraan merupakan bagian integral dari ide, instrumentasi, dan praksis kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia (Udin Winataputra, 2008). Bahkan dikatakan, pendidikan nasional kita hakikatnya adalah pendidikan kewarganegaraan agar dilahirkan warga negara Indonesia yang berkualitas baik dalam disiplin sosial dan nasional, dalam etos kerja, dalam produktivitas kerja, dalam kemampuan intelektual dan profesional, dalam tanggung jawab kemasyarakatan, kebangsaan, kemanusiaan serta dalam moral, karakter dan kepribadian (Soedijarto, 2008).
Pendidikan kewarganegaraan di manapun pada dasarnya bertujuan membentuk warga negara yang baik (good citizen) (Somantri, 2001; Aziz Wahab, 2007; Kalidjernih, 2010). Namun konsep “warga negara yang baik” berbeda-beda dan sering berubah sejalan dengan perkembangan bangsa yang bersangkutan. Dalam konteks tujuan pendidikan nasional dewasa ini, warga negara yang baik yang gayut dengan pendidikan kewarganegaraan adalah warga negara yang demokratis bertanggung jawab (Pasal 3) dan warga negara yang memiliki semangat kebangsaan dan cinta tanah air (pasal 37 Undang-Undang No 20 Tahun 2003). Dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan kewarganegaraan di Indonesia adalah membentuk warga negara yang demokratis bertanggung jawab, memiliki semangat kebangsaan dan cinta tanah air.
Pendidikan kewarganegaraan merupakan bidang yang lintas keilmuan (Udin Winataputra, 2001) atau bidang yang multidisipliner (Sapriya, 2007). Sebagai bidang yang multidimensional, pendidikan kewarganegaraan dapat memuat sejumlah fungsi antara lain; sebagai pendidikan politik, pendidikan hukum dan pendidikan nilai (Numan Somantri, 2001); pendidikan demokrasi (Udin Winataputra, 2001); pendidikan nilai, pendidikan demokrasi, pendidikan moral dan pendidikan Pancasila (Suwarma, 2006), pendidikan politik hukum kenegaraan berbangsa dan bernegara NKRI, sebagai pendidikan nilai moral Pancasila dan Konstitusi NKRI, pendidikan kewarganegaraan (citizenship education) NKRI dan sebagai pendidikan kewargaan negara (civic education) NKRI (Kosasih Djahiri, 2007); dan sebagai pendidikan demokrasi, pendidikan karakter bangsa, pendidikan nilai dan moral, pendidikan bela negara, pendidikan politik, dan pendidikan hukum (Sapriya, 2007). Fungsi yang berbeda-beda tersebut sejalan dengan karakteristik “warga negara yang baik” yang hendak diwujudkan.
Selain memuat beragam fungsi, pendidikan kewarganegaraan memiliki 3 domain/ dimensi atau wilayah yakni sebagai program kurikuler, program sosial kemasyarakatan dan sebagai program akademik (Udin Winataputra, 2001; Sapriya, 2007). Pendidikan kewarganegaraan sebagai program kurikuler adalah pendidikan kewarganegaraan yang dilaksanakan di sekolah atau dunia pendidikan yang mencakup program intra, ko dan ekstrakurikuler. Sebagai program kurikulum khususnya intra kurikuler, pendidikan kewarganegaraan dapat diwujudkan dengan nama pelajaran yang berdiri sendiri (separated) atau terintegrasi dengan mata pelajaran yang lain (integratied). Sebagai program sosial kemasyarakatan adalah pendidikan kewarganegaraan yang dijalankan oleh dan untuk masyarakat. Pendidikan kewarganegaraan sebagai program akademik adalah kegiatan ilmiah yang dilakukan komunitasnya guna memperkaya body of knowledge pkn itu sendiri.
J.      Syarat Mendirikan Partai Politik
Dalam Undang-undang Republk Indonesia nomor 2 tahun 2008 Tentang Partai Politik BAB II Pembentukan Partai Politik Pasal 2 dan pasal 3 disebutkan sebagai berikut :
Pasal 2
2.      Partai Politik didirikan dan dibentuk oleh paling sedikit 50 (lima puluh) orang warga negara Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun dengan akta notaris.
3.      Pendirian dan pembentukan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.
4.      Akta notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat AD dan ART serta kepengurusan Partai Politik tingkat pusat.
5.      AD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memuat paling sedikit:
a.       Asas dan ciri Partai Politik;
b.      Visi dan misi Partai Politik;
c.       Nama, lambang, dan tanda gambar Partai Politik;
d.      Tujuan dan fungsi Partai Politik;
e.       Organisasi, tempat kedudukan, dan pengambilan keputusan;
f.       Kepengurusan Partai Politik;
g.      Peraturan dan keputusan Partai Politik;
h.      Pendidikan politik; dan
i.        Keuangan Partai Politik.
6.      Kepengurusan Partai Politik tingkat pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun dengan menyertakan paling rendah 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.
Pasal 3
1.      Partai Politik harus didaftarkan ke Departemen untuk menjadi badan hukum.
2.      Untuk menjadi badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Partai Politik harus mempunyai:
a.       Akta notaris pendirian Partai Politik;
b.      Nama, lambang, atau tanda gambar yang tidak mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, atau tanda gambar yang telah dipakai secara sah oleh Partai Politik lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
c.       Kantor tetap;
d.      Kepengurusan paling sedikit 60% (enam puluh perseratus) dari jumlah provinsi, 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah kabupaten/kota pada setiap provinsi yang bersangkutan, dan 25% (dua puluh lima perseratus) dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota pada daerah yang bersangkutan; dan
e.       Memiliki rekening atas nama Partai Politik.
Secara umum undang-undang partai politik yang ada sekarang ini sudah memberikan peluang yang besar kepada warga masyarakat indonesia dalam hal pendirian partai politik. Undang-undang yang dikeluarkan tentunya dimaksudkan agar dalam teknis di lapangan tidak terjadi hal-hal justru merugikan, baik dari pihak negara maupun dari pihak masyarakat. Syarat-syarata yang ditetapkan diatas adalah guna terorganisirnya partai yang ada. Sarana dan prasarana yang harus ada nantinya akan memudahkan negara dalam hal pengawasan.
Misalnya mengenai pengesahan parpol sebagai badan hukum oleh Menteri Kehakiman yang terdapat dalam pasal 3 ayat (1). Penulis berpandangan hal itu merupakan pelaksanaan Pasal 28 UUD 1945 yang memberikan jaminan kepada masyarakat dalam hal kemerdekaan berserikat dan berkumpul. Pengaturan ini dimaksudkan guna menjamin agar penggunaan seseorang atau sekelompok orang tidak mengganggu kebebasan seseorang atau sekelompok orang lainnya. Selain itu ketentuan tersebut dimaksudkan untuk membangun parpol yang berkualitas, mandiri, dan mengakar di masyarakat. Pengaturan itu, menurut mayoritas hakim MK, diperlukan bagi negara yang sedang berada dalam proses pematangan demokrasi.
Dengan demikian, tidak satu pun dari pasal-pasal itu dapat ditafsirkan sebagai pengekangan atau pembatasan terhadap kebebasan untuk mendirikan parpol, tetapi hanya pengaturan tentang persyaratan pemberian status badan hukum sehingga parpol itu dapat diakui sah bertindak dalam lalu lintas hukum. Demikian pula pengaturan itu tidak dapat dipandang diskriminatif karena berlaku terhadap semua parpol.



0 comments:

Post a Comment