A.
Pengertian Politik
makna politik secara umum yaitu
sebuah tahapan dimana untuk membentuk atau membangun posisi-posisi kekuasaan
didalam masyarakat yang berguna sebagai pengambil keputusan-keputusan yang
terkait dengan kondisi masyarakat. Kata politik ini berasal dari bahasa yunani
yaitu “polis” dan “teta”. Arti dari “polis” sendiri yaitu kota/Negara sedangkan
untuk kata “teta” yaitu urusa. Sehingga hakikat politik itu sendiri merupakan sebuah usaha
untuk mengelola dan menata sistem pemerintahan untuk mewujudkan kepentingan atau
cita-cita dari suatu Negara.
Pandangan dari para ahli terkait
dengan politik.
1. Aristoteles
Usaha yang ditempuh oleh warga
negara untuk mewujudkan kebaikan bersama.
2. Joice Mitchel
Politik adalah pengambilan keputusan kolektif atau
pembuatan kebijaksanaan umum untuk masyarakat seluruhnya.
3. Roger F. Soltau
Bermacam-macam kegiatan yang menyangkut
penentuan tujuan-tujuan dan pelaksanaan tujuan itu. Menurutnya politik membuat
konsep-konsep pokok tentang negara (state), kekuasaan (power), pengambilan
keputusan (decision marking), kebijaksanaan (policy of beleid), dan pembagian
(distribution) atau alokasi (allocation).
4. Johan Kaspar Bluntchli
Ilmu politik memerhatikan masalah
kenagaraan yang mencakup paham, situasi, dan kondisi negara yang bersifat
penting.
5. Hans Kelsen
Dia mengatakan bahwa politik
mempunyai dua arit, yaitu sebagai berikut.
a. Politik sebagai etik, yakni
berkenaan dengan tujuan manusia atau individu agar tetap hidup secara sempurna.
b. Politik sebagai teknik, yakni berkenaan
dengan cara (teknik) manusia atau individu untuk mencapai tujuan.
Jika dilihat secara Etimologis yaitu
kata "politik" ini masih memiliki keterkaitan dengan kata-kata
seperti "polisi" dan "kebijakan". Melihat kata
"kebijakan" tadi maka "politik" berhubungan erat dengan
perilaku-perilaku yang terkait dengan suatu pembuatan kebijakan. Sehingga
"politisi" adalah orang yang mempelajari, menekuni, mempraktekkan
perilaku-perilaku didalam politik tersebut.
Oleh karena itu secara garis besar
definisi atau makna dari "Politik"
ini adalah sebuah perilaku atau kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk
mewujudkan kebijakan-kebijakan dalam tatanan Negara agar dapat merealisasikan
cita-cita Negara sesungguhnya, sehingga mampu membangun dan membentuk Negara
sesuai rules agar kebahagian bersama didalam masyarakat
disebuah Negara tersebut lebih mudah tercapai.
sudah
terjadi sejak zaman dahulu kala. Manusia adalah makhluk politik (zoon
politicon), begitu kata Aristoteles dalam kitabnya Politik. Ungkapan
tersebut menjelaskan bahwa semenjak manusia lahir di bumi ini, ia sudah
berpolitik. Karena dalam hal ini, politik didefinisikan sebagai usaha untuk
mendapatkan apa yang dikehendaki. Bahkan bayi pun berpolitik. Ketika ia
merengek dan menangis untuk mendapatkan air susu. Maka bayi telah berpolitik.
Ia merengek dan menangis untuk mendapatkan apa yang ia kehendaki.
Sebagai
disiplin ilmu (science), ilmu
politik masih muda usianya karena baru lahir pada akhir abad ke-19.
Kemudian seiring perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan, ilmu politik juga berkembang
secara pesat berdampingan dengan cabang-cabang ilmu social lainnya, seperti
sosiologi, antropologi, ekonomi dan psikologi, dan dalam perkembangan ini satu
sama lain saling mempengaruhi.
Apabila
kita meninjau ilmu politik dalam ruang lingkup (scope) yang lebih luas,
yakni pembahasan rasional terhadap berbagai aspek Negara dan kehidupan politik,
maka ilmu politik sebenarnya memiliki umur yang sangat amat tua diantara ilmu
sosial lainnya. Karena pada perkembangannya ilmu politik bersandar pada sejarah
dan filsafat.
C. Perkembangan
politik dari zaman ke zaman
Perkembangan ilmu politik pada masa klasik, di
Yunani Kuno misalnya, pemikiran mengenai Negara sudah dimulai pada tahun 450
SM. Hal ini dibuktikan dari adanya karya-karya ahli sejarah Herodotus, atau
filusuf-filusuf seperti Plato, Aristoteles, dan sebagainya. Di Asia, India dan
Cina menjadi pusat perkembangan ilmu politik karena telah banyak mewariskan
tulisan dan karya tentang politik. Seperti, karya kesusastraan Dharmasastra dan
Arthasastra yang berasal kira-kira 500 SM. Sementara,China terkenal dengan
Confusius (± 350 SM.), Mencius (± 350 SM.) dan lain sebagainya.
Kemudian,
di Indonesia kita dapat menemukan beberapa karya yang membahas tentang sejarah
dan kenegaraan, seperti Negarakertagama pada masa Majapahit sekitar abad ke-13
sampai abad ke-15 Masehi.
Pada
perkembangannya, karya-karya tentang politik mendapat desakan dari para pemikir
barat. Disinilah kesusastraan yang membahas tentang politik mengalami
kemunduran. Negara-negara seperti Inggris, Jerman, Amerika Serikat dan Belanda
dalam rangka imperialism.
Di
Negara-negara benua Eropa, pembahasan mengenai politik banyak dipengaruhi oleh
ilmu hukum. Karena dalam hal ini fokus perhatiannya adalah Negara semata. Ilmu
politik disebut juga ilmu Negara (Staatslehre). Selait itu, pembahasan
dan permasalah politik juga dianggap sebagai subjek filsafat, tentang moral
philosophy dan tidak terlepas dari sejarah. Pengaruh ilmu hukum,
filsafat dan sejarah ini masih terlihat sampai Perang Dunia II (PD II).
Di
Amerika, tekanan yuridis yang mempengaruhi pembahasan tentang politik juga
masih terlihat. Namun, kajian empiris tentang politik mulai dikembangkan
seiring dengan perkembangan metodologi dan terminologi sosiologi dan psikologi.
Sesudah
Perang Dunia II, perkembangan ilmu politik semakin pesan. Hal ini dapat dilihat
dari didirikannya fakultas-fakultas ilmu politik itu sendiri.
Di
Indonesia, setelah PD II, juga didirikan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
(FISIPOL), seperti di Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta. Kemudian
menjadi FISIP.
Seiring
dengan berdirinya beberapa fakultas ilmu politik, tradisi dalam membahas ilmu
politik pun bermunculan. Pada mulanya terdapat dua tradisi dalam membahas ilmu
politik sebagai ilmu pengetahuan (science). Yakni tradisi kaum
Tradisionalis dan Bihavioralis.
Kaum
Tradisionalis menganggap bahwa Negara dan lembaga-lembaga yang ada didalamnya
merupakan subjek utama pembahasan dalam ilmu politik. Sementara, Kaum
Behavioralis merasa tidak puas dengan perumusan yang telalu luas tersebut.
Itulah mengapa dalam decade 1950-an muncul pendekatan perilaku (Behavioral
Approach).
Dalam
perkembangannya, kedua tradisi tersebut saling bertentangan. Sehingga timbul
perbedaan-perbedaan konsentrasi antara keduanya dalam pembahasan ilmu politik.
D. Hubungan
ilmu Politik dengan ilmu-ilmu lainnya.
1.
hubungan ilmu Politik dengan ilmu Ekonomi.
Ilmu
politik dan Ekonomi sejak dulu sampai sekarang selalu sangat erat hubungannya.
Dalam setiap tindakan politik ada aspek ekonominya, demikian pula struktur
perekonomian suatu masyarakat dapat mempengaruhi lembaga-lembaga politik yang
sudah ada. Pada zaman Yunani, ilmu politik mengatur kehidupan politik
orang-orang Yunani, sedangkan ekonomi (oikonomos) mengatur kemakmuran material
dari warga negara Yunani. Pada abad 17, Montchretien de Watteville
memperkenalkan istilah “Ekonomi Politik” yang menggambarkan begitu eratnya ilmu
politik dan Ekonomi. Pada akhir PD I di Inggris dikemukakan ide tentang Negara
kesejahteraan (Welfare state) artinya Negara Mensejahterakan rakyatnya, bukan
sekedar “Negara penjaga malam”.
2.
Hubungan ilmu politik dengan ilmu hukum.
Setiap
masyarakat baik moderen maupun primitive harus berdasarkan kepada ketertiban.
Hukum dibuat, dijalankan dan dipertahankan oleh suatu kekuasaan. Pada saat ini,
kekuasaan itu adalah Negara. Dalam hal ini sudah nampak hubungan antara ilmu
politik dan ilmu hukum, yaitu dalam peranan Negara sebagai pembentuk hukum dan
dalam objek ilmu hukum itu sendiri yaitu hukum. Ilmu politik juga menyelidiki
hukum tetapi tidak menitik beratkan pada segi-segi teknis dari hukum, melainkan
terutama menitikberatkan pada hukum sebagai hasil persaingan kekuatan-kekuatan
social, sebagai hasil dari factor-faktor kekuasaan. Hukum juga merupakan salah
satu diantara sekian banyak “alat politik” yang dapat digunakan untuk
mewujudkan kebijakan penguasa dan Negara. Tidak semua bagian hukum positif
mempunyai hubungan yang erat dengan ilmu poltik, misalnya: hukum public dan
hukum Negara adalah yang paling erat hubungannya, sedang hukum perdata atau
hukum dagang relative kecil hubungannya.
3.
Hubungan Ilmu Politik dengan Sosiaologi
Menurut
Giddings, sarjana-sarjana ilmu politik harus menlengkapi dirinya dengan
pengetahuan dasar sosiologi, karena sosiologi sebagai ilmu masyarakat dengan
hasil-hasil penyelidikannya, menyebabkan ilmu politik tidak perlu lagi
mengadakan penyelidikan yang telah dihasilkan oleh sosiaologi tersebut.
Sosiologi meliputi berbagai cabang pengetahuan antara lain sosiaologi tentang
kejahatan, sosiologi pendidikan, sosiologi agama, sosiologi politik dan
sebagainya. Terutama sosiologi politik, sangat erat hubungannya dengan ilmu
politik, sebab sosiologi politik bagian dari sosiologi yang menganalisis
proses-proses yang menitik beratkan pada dinamika tingkahlaku politik.
Sebagaimana tingkahlaku itu dipengaruhi oleh berbagai proses spsoal, seperti
kerjasama, persaingan, konflik dsb. Hal-hal tersebut juga dianalisis oleh ilmu
politik.
4.
Hubungan Ilmu Politik dengan Psikologi Sosial.
Psikologi
berasal dari bahasa Yunani “psycos” yang berarti jiwa dan “logos” yang berarti
ilmu, jadi ilmu yang mempelajari tentang jiwa manusia. Proses pendekatan ilmu
politik banyak memakai hukum-hukum dan dalil-dalil psikologi dalam menjelaskan
gejala-gejala politik dan penyelidikan tentang motif-motif yang menjadi dasar
setiap proses politik. Sarjana psikologi mengembangkan pendapat-pendapat mereka
tentang naluri, emosi, dan kebiasaan individu atau “psyche” seseprang.
Pengetahuan “psyche” seseorang dapat menjelaskan seluruh tingkah laku dan sikal
orang itu. Dalam penyelidikan pendapat umum, propaganda, parpol, masalah
kepemimpinan dan revolusi amat banyak dipergunakan hukum-hukum dan dalil-dalil
psikologi itu. Jika dahulu psikologi agak diabaikan dalam penyelidikan ilmu
politik, dewasa ini keadaan itu berubah. Pengetahuan psikologi diperlukan
dimanapun dan kapanpun diadakan penyelidikan politik secara ilmiah. Menurut
Lasswell, di AS kini ilmu politik sedang mengalami peninjauan kembali atas
metode serta peristilahannya. Peninjauan kembali ini terutama disebabkan oleh
pengalaman dalam pelaksanaan prosedur-prosedur psikologis dalam penyelidikan
ilmu politik. Menurut Lasswell, psikologi akan memainkan perannya yang lebih
besar lagi di masa depan, karena bertambah intensifnya perjuangan untuk
mempertahankan dan memperoleh kebebasan individu.
5.
Hubungan Ilmu Politik dengan Antropologi Budaya.
Antropologi
budaya menyelidiki aspek-aspek cultural dari setiap hidup bersama dimasa lampau
dan masa kini. Sebagai ilmu yang mempelajari kebudayaan masyarakat, maka
hasil-hasil penyelidikan antropologi dapat bermanfaat bagi ilmu politik.
Terutama hasil-hasil penyelidikan kebudayaan dimasa lampau yang meliputi semua
aspek cultural masyarakat, termasuk ide-ide dan lembaga-lembaga politiknya,
dapat dijelaskan kepada sarjana-sarjana ilmu politik menjadi timbul suatu
pertumbuhan dan perkembangan ide-ide dan lembaga-lembaga politik itu salah satu
konsep antropologi budaya yang merupakan penemuan yang penting adalah “konsep
kebudayaan” (culture concept) sebagaimana dikembangkan oleh Ralph Tipton dan
sarjana-sarjana antropologi lainnya. Konsep ini menyatakan eratnya hubungan
antara kebudayaan sesuatu masyarakat dengan kepribadian individu-individu dari
masyarakat itu, antara kebudayaan dengan lembaga-lembaga dan ide-ide terdapat
yang terdapat dalam masyarakat itu. Kebudayaan memberikan corak dan ragam pada
lembaga-lembaga dan ide-ide dalam masyarakat itu.
6.
Hubungan Ilmu Politik dengan Sejarah.
Sejarah
adalah deskriptif kronologis peristiwa dari zaman silam. Sejarah merupakan
penghimpunan kejadian-kejadian konkret di masa lalu. Ilmu politik tak terbatas
pada apa yang terdapat dalam sejarah. Mengetahui sejarah politik suatu Negara
belum memberikan gambaran yang tepat tentang keadaan politik negera itu di masa
lampau dan masa yang akan datang. Sejarah hanya menvatat apa yang pernah
terjadi, sedang ilmu politik disamping menyelidiki apa yang pernah terjadi,
juga apa yang kini sedang berlangsung dan mengadakan ramalan hari depan suatu
masyarakat, ditinjau dari segi politik. Politik membutuhkan sejarah dan hamper
semua peristiwa histories adalah peristiwa politik. Ilmu politik memperkaya
materinya dengan peristiwa sejarah, mengadakan perbandigan dari buku-buku
sejarah. Sejarah merupakan gudang data bagi ilmu politik.
7.
Hubungan Ilmu Politik dengan Geografi.
Segala
penyelidikan atas kehidupan manusia tidak akan bermanfaat dan tidak akan
sempurna jika penyelidikan itu tidak meliputi keadaan geografi. Dengan kata
lain kehidupan manusia akan dipengaruhi oleh letak geografi, luas wilayah,
kekayaan alam, iklim dsb. Misalnya letak geografis menentukan apakan suatu
Negara akan menjadi Negara “land power” atau “sea power” demikian juga letak
suatu Negara akan mempengaruhi dalam diplomasi dan strategi perang. Dalam hal
ini, terdapat cabang geografi, yaitu geopolitik yang memberikan penafsiran
geografis atas hubungan-hubungan internasional. Geopolitik berusaha melukiskan
hubungan yang erat antara factor-faktor geografis dan peristiwa-peristiwa
politik. Bagi sarjana-sarjana Jerman seperti Haushofer, kekalahan Jerman dalam
PD I terutama disebabkan oleh apa yang mereka sebut dengan “kekalahan
geografis” peristiwa tersebut menunjukkan betapa eratnya hubungan ilmu politik
dengan geografi.
8.
Hubungan Ilmu Politik dengan Etika.
Etika
adalah pengetahuan tentang hal-hal yang baik dan buruk, tentang keharusan dan
hal-hal yang wajib dibiarkan. Hubungan ilmu politik dan etika dilukiskan
sebagai suatu hubungan yang membatasi ilmu politik, terutama praktek politik.
Etika mengatakan apa yang harus dilakukan, tetapi disamping itu juga menetapkan
batas-batas dari apa yang wajib dibiarkan. Etika memberikan dasar moral kepada
politik. Apabila menhilangkan moral dari politik, maka akan kita dapatkan
politik yang berisfat “Machiavelistis” yaitu politk sebagai alat untuk
melakukan segala sesuatu, baik atau buruk tanpa mengindahkan kesusilaan. Hanya
dengan jalan menjadikan kesusilaan sebagai dasar politik, dapat diharapkan akan
adanya politik yang mengindahkan aturan-aturan permainan, apa yang harus
dilakukan dan apa yang wajib dibairkan.
BAB 2
Konsep Dasar Politik
A.
Konsep Dasar Politik
Menurut Aristoteles, selama manusia
menjadi makhluk sosial (zoon politikon), selama itu pula ditemukan
politik. Ini berarti dalam kehidupan bersama, manusia memiliki hubungan yang
khusus yang diwarnai oleh adanya aturan yang mengatur. Ada kekuasaan dan
wewenang yang dipegang oleh segelintir orang yang sekaligus melahirkan aturan
serta aturan mana yang perlu dipelihara dan tidak, kemudian menentukan apakah
seseorang mengikuti aturan atau tidak, serta menentukan sanksi serta ganjaran
bagi yang mengikuti dan melanggar aturan tersebut.
Secara etimologis, politik berasal
dari bahasa Yunani yaitu “polis” yang berarti kota. Orang yang
mendiami polis disebut “polites” atau warga
negara, sementara kata “politikos” berarti kewarganegaraan. Lalu
muncul istilah “politike techne” yang berarti kemahiran politik.
“Ars politica” yang berarti kemahiran tentang soal
kenegaraan. “Politike epitesme” berarti ilmu politik, istilah yang
saat ini banyak digunakan.
Politik memiliki banyak definisi
tergantung sudut pandang si pembuat definisi. Miriam Budiardjo (1993)
mendefinisikan politik sebagai berbagai macam kegiatan yang terjadi di suatu
negara, yang menyangkut proses menentukan tujuan dan bagimana cara mencapai
tujuan itu. Sementara itu, Hoogerwerf, mendefinisikan politik sebagai
pertarungan kekuasaan. Hans Morgenthau juga mendefinisikan politik sebagai
usaha mencari kekuasaan (struggle power). Sementara David Easton
mengartikan politik sebagai semua aktivitas yang mempengaruhi kebijaksanaan dan
cara bagaimana kebijaksanaan itu dilaksanakan.
Dengan demikian, mengikuti Miriam Budiardjo,
sesungguhnya politik itu memiliki beberapa konsep pokok. Beberapa konsep pokok
politik tersebut adalah : politik berkaitan dengan negara (state),
kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making),
kebijaksanaan umum (public policy), pembagian (distribution) dan
alokasi (alocation). Roger F. Soltou mengatakan ilmu politik
adalah ilmu yang mempelajari negara, tujuan negara dan lembaga-lembaga yang
akan melaksanakan tujuan itu, hubungan antara negara dengan warganegara,
hubungan antara negara dengan negara lain.
1.
Kekuasaan
Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok orang
untuk mempengaruhi tingkah laku orang lain atau kelompok lain sesuai dengan
keinginan dari si pemilik pengaruh. Harold D. Lasswel dan A. Kaplan
mengatakan ilmu politik mempelajari pembentukan dan pembagian kekuasaan.
Sementara W. A Robson mengatakan politik sebagai ilmu yang mempelajari
kekuasaan dalam masyarakat yaitu hakikat, dasar, proses, ruang lingkup dan
hasil-hasilnya. Fokus utamanya adalah tertuju pada perjuangan untuk mencapai
dan mempertahankan kekuasaan, melaksanakan kekuasaan atau pengaruh atas orang
lain atau menentang pelaksanaan kekuasaan itu.
2.
Negara
Negara adalah alat (agency)
dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan‑hubungan
manusia dalam masyarakat dan menertibkan gejala‑gejala kekuasaan dalam
masyarakat. Dengan demikian negara dapat memaksakan kekuasaanya secara sah
terhadap semua golongan masyarakat untuk menetapkan dan melaksanakan tujuan‑tujuan
bersama. Oleh karena itu negara mempunyai dua tugas pokok, pertama; mengendalikan dan mengatur
gejala kekuasaan yang a‑sosial, yaitu bertentangan satu sama lain agar tidak
menjadi antagonisme membahayakan dan kedua; mengorganisir dan mengintegrasikan kegiatan manusia dan
golongan - golongan ke arah tercapainya tujuan seluruh masyarakat.
Negara sebagai organisasi pokok dari
kekuasaan politik yang bertugas untuk menetapkan dan mencapai tujuan bersama,
memberikan pengertian bahwa negara dibentuk oleh beberapa unsur. Unsur‑unsur
negara dapat diperinci, sebagai berikut :
- Penduduk, yaitu
semua orang yang berdomisili di suatu wilayah dan menyatakan diri ingin
bersatu. Faktor penduduk yang perlu diperhatikan antara lain jumlah,
karakteristik homogenitas dan masalah nasionalisme.
- Pemerintah, yaitu batas
teritorial dari kekuasaan negara atas daratan, lautan dan udara di
atasnya. Batas wilayah ini sering dijadikan ukuran dari besar kecilnya
suatu negara dan kegiatan ekonomi yang dapat dilakukan.
- Pemerintah, merupakan
organisasi utama yang bertindak menyelenggarakan kekuasaan negara fungsi‑fungsi,
dan kebijakan mencapai tujuan negara. Kekuasaan pemerintah pada mumnya
dibagi menjadi kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan
yudikatif.
- Kedaulatan, merupakan
kekuasaan tertinggi untak membuat undang-undang dan melaksanakan dengan
semua cara yang tersedia, termasuk dengan paksaan (internal sovereignty).
Di samping itu kedaulatan juga diartikan kewajiban mempertahankan
kemerdekaan atas serangan dari negara lain atau kemerdekaan dari dominasi
negara lain secara otonom dan independen (external sovereignty).
Negara sebagai asosiasi manusia yang
hidup dan bekerjasama untuk mengejar tujuan bersama. Oleh karena itu tujuan
negara menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya atau menurut Harold J Laski, menciptakan
keadaan dimana rakyatnya dapat mencapai keinginan‑keinginan secara maksimal.
Tujuan negara Indonesia sebagai tercantum dalam Pembukaan Undang‑Undang Dasar
1945 adalah: ”Untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial” dengan berdasarkan kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusian yang Adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta
dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Tujuan suatu negara sangat
tergantung dari ideologi yang dianut yang kemudian diterjemahkan ke dalam
fungsi‑fungsi negara. Namun terlepas dari ideologinya, maka negara harus
menjalankan fungsi‑fungsi sebagai berikut :
1. Fungsi
pengaturan dan ketertiban (law and order), yaitu negara
harus bertindak sebagai stabilisator mencegah bentrokan‑ bentrokan kepentingan
dalam masyarakat.
2. Fungsi
kesejahteraan dan kemakmuran.
3. Fungsi
pertahanan dan keamanan, terutama untuk menjaga kedaulatan dan memberikan
ketenangan masyarakat.
4. Fungsi
keadilan yang dilaksanakan melalui badan peradilan.
Dalam melaksanakan fungsi‑fungsi
negara sangat tergantung pada partisipasi politik warga negara dan mobilisasi
sumber daya kekuatan negara. Namun demikian secara rinci faktor‑faktor yang
mendukung terlaksananya fungsi‑fungsi negara adalah sebagai berikut :
- Sumber daya manusia, yaitu
jumlah penduduk tingkat pendidikan, nilai budaya, dan kondisi kesehatan
masyarakat.
- Teritorial negara, yang
mencakup luas wilayah negara (darat, laut dan udara), letak geografis, dan
situasi negara tetangga.
- Sumber daya alam, yaitu kondisi
alam material bumi, berupa kandungan mineral, kesuburan tanah, kekayaan
laut dan hutan.
- Kapasitas pertanian dan
industri, tingkat budaya, usaha warga negara dalam, bidang pertanian,
industri dan perdagangan, dan perkembangan tehnologi.
- Kekuatan militer dan
mobilitasnya, yaitu kapasitas kekuatan yang mampu diterapkan untuk
mewujudkan kekuasaan dalam mencapai tujuan negara.
- Elemen kekuatan yang tidak
nyata, yaitu segala faktor yang mendukung tegaknya kedaulatan negara,
berupa kepribadian dan kepemimpinan, efisiensi birokrasi, persatuan
bangsa, dukungan internasional, reputasi bangsa, dsb.
3.
Sistem Politik
Sistem politik dapat diartikan sebagai suatu
mekanisme dari seperangkat fungsi atau peranan dalam struktur-struktur politik
dalam hubunganya satu dengan lainnya yang menunjukkan suatu proses yang ajeg.
Proses dimaksudkan mengandung segi‑segi waktu (masa lampau, masa kini, masa
mendatang). Sedangkan struktur adalah aktivitas-aktivitas yang dapat
diidentifikasikan yang menentukan suatu sistem.
Dalam pengertian yang lebih umum
sistem politik merupakan semua proses dan tindakan yang berkaitan dengan
pembuatan keputusan yang mengikat masyarakat. Oleh karena itu suatu sistem
politik mempunyai ciri‑ciri sebagai berikut :
1. Ciri‑ciri
identifikasi, yaitu dasar‑dasar yang berwujud tindakan‑tindakan politik yang
membentuk peranan politik.
2. Input
dan Output. Input merupakan bahan mentah atau informasi yang akan diproses
dalam suatu sistem untuk menghasilkan output. Output dalam sistem politik
adalah suatu keputusan politik yang sah.
3. Diferensial
dalam suatu sistem. Lingkungan mempunyai peran dalam memberikan energi untuk
mengaktifkan suatu sistem serta memberikan informasi tentang penggunaan energi.
4. Integrasi
dalam suatu sistem. Adanya diferensiasi mengatur kekuatan sistem selalu berubah
dan dapat merusak integrasi. Oleh karena itu suatu sistem haras memiliki
mekanisme yang bisa mengintegrasikan atau memaksa anggotanya untuk bekerja
sama.
Sistem politik merupakan
suatu organisasi dimana masyarakat dapat merumuskan dan berusaha mencapai
tujuan‑tujuan bersama. Oleh karena itu dalam menjalankan kegiatannya, sistem
politik mempunyai lembaga‑lembaga seperti parlemen, birokrasi, badan peradilan,
dan partai politik yang menjalankan fungsi tertentu, sehingga
sistem tersebut dapat merumuskan dan melaksanakan kebijakan.
Dalam menjalankan fungsinya sistem
politik dikelilingi oleh lingkungan domestik dan lingkungan internasional yang
dapat mempengaruhi proses perumusan kebijakan. Peran lingkungan dalam sistem
politik adalah sebagai input politik dalam perumusan kebijakan, yaitu suatu
bahan mentah atau informasi yang harus diproses dalam sistem. Input politik
secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi input yang berisi tuntutan dan
input politik yang berisi dukungan.
Input tuntutan muncul karena
dipengaruhi fakor internal dan ekstemal. Sistem ekologi ekonomi, kebudayaan,
struktur sosial, demografi, merupakan faktor yang mempengaruhi pembentukan
jenis tuntutan yang masuk ke dalam sistem. jika tuntutan ini beruhah menjadi
isu‑isu politik yang memperoleh dukungan secara luas, maka tuntutan tersebut
akan diproses menjadi keputusan politik yang akan menjadi sumber perubahan
dalam sistem politik. Input dukungan dalam sistem politik dapat diwujudkan pada
tindakan yang mendorong pencapaian tujuan dun terutama mengarah kepada tiga
sasaran, yaitu Komunitas, Rezim dan Pemerintah.
Secara umum sistem politik di dunia dapat dikelompokkan
menjadi dua, yaitu Demokrasi dan Totaliterisme. Sistem Demokrasi
mempunyai ciri, yaitu : pemerintahan sipil dimana setiap warga negara berhak
untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik dan setiap keputusan politik harus
dijustifikasikan secara publik. Adanya lembaga-lembaga perwakilan, sebagai
wadah mengekpresikan aspirasi rakyat. Kebebasan politik, artinya negara
menjamin kebebasan warga negara untuk berkumpul, berserikat dan menyampaikan
pendapat.
Dalam sistem totaliterisme, yaitu suatu
sistem politik dimana negara melalui partai secara total mendominasi kehidupan
individual, yang mencakup aspek ekonomi, pendidikan, agama, bahkan dalam
kehidupan keluarga. Ciri sistem Totaliterisme antara lain : a) adanya
Ideologi yang terperinci sebagai ajaran resmi, bagaimana masyarakat menjalankan
kehidupan. b) adanya satu partai tunggal yang berfungsi menjalankan
pemerintahan dan mengontrol kehidupan masyarakat, c) adanya sistem teror yang
dijalankan oleh partai atau polisi rahasia. Kontrol pemerintah yang ketat
terhadap sarana infomasi dan komunikasi, dan d) adanya kontrol melalui militer.
Negara mengontrol seluruh kehidupan ekonomi.
Berdasarkan pendapat dari Edward
Shils Almond dan Coleman J.W. Schoorl, tipe sistem politik di negara‑negara
berkembang pada dasarnya terbagai menjadi lima tipe, yaitu :
- Demokrasi politik yaitu
suatu sistem politik di mana kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif
berfungsi dan memiliki kedudukan yang otonom. Kekuasaan legislatif dipilih
secara periodik dalam pemilu yang bebas. Badan tersebut berfungsi
mengontrol eksekutif.
- Demokrasi Terpimpin, yaitu
suatu sistem politik yang mempunyai struktur formal sama dengan demokrasi
politik, namun dalam prakteknya kekuasaan lebih terkonsentrasi pada
eksekutif.
- Oligarki Pembangunan. Sistem
ini digunakan karena perlunya melakukan modernisasi secara cepat tanpa
menghilangkan pelaksanaan demokrasi. Oleh karena itu konsentrasi kekuasaan
di tangan pemerintah merupakan syarat pembangunan dan persatuan. Sedangkan
pengawasan berada di tangan militer atau rezim sipil yang didukung
sejumlah elite. Parlemen tidak punya kekuasaan dan hanya sebagai
persetujuan serta pemberi nasehat rencana peraturan.
- Oligarki totaliter. Sistem
politik ini memusatkan kekuasaan pada sekelompok elite politik tertentu
untuk mendominasi semua aspek kehidupan masyarakat. Sistem pemerintahan
dijalankan berdasarkan ideologi yang dianut secara konsisten, yang
sekaligus sebagai perekat persatuan dan perisai untuk menangkis gangguan
dari luar. Partai merupakan lembaga penting sebagai sarana indoktrinasi
dan mobilisasi penduduk.
- Oligarki tradisional, yaitu
sistem politik dimana kekuasaan terpusat pada raja dan kelompok yang
berkuasa berdasarkan tradisi. Parlemen mempunyai kekuasaan lemah. Jabatan‑jabatan
dalam birokrasi didasarkan pertimbangan pribadi.
4.
Struktur Politik
Dalam pengertian umum struktur
politik dapat diartikan sebagai pelembagaan hubungan organisasi
antara elemen‑elemen yang membentuk suatu sistem politik. Struktur politik
berkaitan dengan alokasi nilai-nilai yang bersifat otoritatif dipengaruhi oleh
distribusi serta penggunaan kekuasaan. Kekuasaan itu sendiri harus diartikan
sebagai kapasitas, kapabilitas, kemampuan untuk mempengaruhi, meyakinkan,
mengendalikan, menguasai dan memerintah orang lain. Kapasitas dalam hal ini
berhubungan erat dengan wewenang (autbority), hak (right), dan
kekuatan fisik (force).
Struktur politik pada kenyataannya
terdiri dari : unsur‑unsur yang bersifat informal, yaitu unsur di luar lembaga
pemerintahan yang dapat mempengaruhi, menyalurkan, menterjemahkan, dan
mengkonversikan tuntutan dan dukungan untuk dirumuskan kedalam keputusan
politik. Kelompok ini terdiri dari; a) partai politik, yaitu kelompok
masyarakat dengan keanggotaan terbuka yang memfokuskan kegiatannya pada seluruh
spektrum negara atau politik, b) kelompok kepentingan, yaitu kelompok atau
organisasi yang berusaha mempengaruhi kebijakan pemerintah untuk mempromosikan
dan mempertahankan kepentingan tertentu dan c) elite politik, yaitu sejumlah
tokoh politik yang mempunyai peran dalam semua fungsi politik dan mempunyai
akses langsung terhadap kekuasaan. Alat komunikasi masa sebagai pembentuk opini
publik.
Unsur-unsur yang bersifat formal,
yaitu unsur yang berada di dalam pemerintahan yang sah untuk
mengidentifikasikan masalah‑masalah, menentukan dan menjalankan keputusan‑keputusan
yang mengikat masyarakat untuk mencapai kepentingan umum. Kelompok ini
terdiri dari: Badan legislatif, Badan eksekutif, Badan yudikatif dan Birokrasi.
Struktur politik pada dasarnya
menjalankan tiga fungsi politik pokok yaitu Sosialisasi politik, Rekrutmen
politik dan Komunikasi politik. Sosialisasi politik adalah proses dimana
seorang individu dapat mengenali sistem politik yang kemudian dapat menentukan
sikap dan persepsi‑persepsinya mengenai politik dan reaksinya terhadap gejala
politik. Sosialisasi politik merupakan mata rantal penting antara sistem sosial
dengan sistem politik. Rekrutmen politik merupakan proses dimana individu
menjamin dan mendaftarkan diri untuk menduduki jabatan politik. Proses
rekrutmen dapat bersifat formal dan informal.
Komunikasi politik dapat diartikan
sebagai proses dimana informasi politik yang relevan dapat diteruskan dari satu
bagian sistem politik kepada bagian lain, dan dintara sistem sosial dengan
sistem politik. Komunikasi politik merupakan sarana tukar menukar infomasi
antara anggota masyarakat dengan penguasa.
Dalam setiap sistem politik
mempunyai fungsi politik yang harus dijalnkan agar sistem politik tetap
berfungsi. Menurut Almond, fungsi politik terdiri dari fungsi input yaitu yang
dilakukan infrastruktur politik meliputi; sosialisasi dan rekrutmen politik;
agregasi kepentingan, artikulasi kepentingan dan komunikasi politik. Sementara
dari fungsi output yang dilakukan oleh suprastruktur politik meliputi;
pembuatan peraturan (rule making); pelaksanaan peraturan (rule
application) dan peradilan (rule adjudication).
5.
Proses Politik
Proses politik dapat dimulai dari mana saja, misalnya
aktivitas dimulai dengan usulan masyarakat yang berupa input ke suprastruktur.
Dalam menanggapi usulan ini, suprastruktur dapat memilih satu diantara beberapa
pilihan yaitu: memilih satu di antara masukan, mengonversikan semua
masukan dan mencari alternatif lain. Setelah masukan diolah, suprastruktur
melahirkan hasil atau output yang berupa kebijakan/peraturan/UU untuk kemudian didistribusikan
kepada masyarakat. Dalam masyarakat, output tersebut akan ditanggapi. Tentunya
ada masyarakat yang setuju dan ada yang tidak setuju dengan keputusan/kebijakan
yang dibuat.
Jika masyarakat setuju, tentu akan
membuat feed back berupa dukungan dan mungkin akan ada masukan
berupa tuntutan yang lain. Akan tetapi bagi masyarakat yang tidak setuju, akan
memberikan masukan berupa peningkatan tuntutan. Proses ini akan berlangsung
terus. Jika kelompok yang tidak setuju selalu diabaikan, pada suatu ketika akan
sampai pada apatisme dan tidak mau lagi memberikan masukan
apapun. Jika ini terjadi, maka sangat berbahaya bagi kelangsungan sistem.
6.
Budaya Politik
Budaya politik merupakan
aspek penting dan berpengaruh terhadap sistem politik. Budaya politik berkembang
dan merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat. Kegiatan politik meliputi
masalah legitimasi, pengaturan kekuasaan, proses pembuatan kebijakan
pemerintah, kegiatan partai‑partai politik perilaku aparat negara, dan gejolak
masyarakat terhadap kekuasaan. Dengan demikian budaya politik secara langsung
mempengaruhi kehidupan nasional.
Budaya pada dasarnya merupakan
perkembangan pemikiran dan akal budi manusia yang menghasilkan tata nilai. Oleh
karena itu menurut Alan R. Ball, budaya politik dapat diartikan
sebagai seperangkat sikap, keyakinan, simbol‑simbol, dan nilai-nilai yang
dimiliki masyarakat yang berhubungan dengan sistem politik dan isu‑isu politik.
Dalam hal ini budaya politik terdiri dari sikap, keyakinan, dan tata nilai yang
berlaku pada seluruh anggota masyarakat dan melekat pada kebiasaan hidup
masyarakat.
Sedangkan Gabriel A. Almond
dan G. Bingham Powell Jr. menyatakan, bahwa budaya Politik merupakan
dimensi psikologi dari sistem politik yang bersumber dari perilaku lahiriah
manusia berdasarkan penalaran‑penalaran yang sadar. Artinya budaya politik
menjadi lingkungan psikologis bagi terselenggaranya dinamika politik dan
terjadinya proses pembuatan kebijakan publik. Dalam hal ini budaya politik
lebih mengedepankan pada aspek perilaku non-aktual, seperti orientasi, sikap,
nilai, maupun keyakinan.
Berdasarkan beberapa konsep, budaya
politik dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
1. Budaya
politik merupakan aspek politik dari nilai‑nilai yang terdiri atas pengetahuan,
adat istiadat, tahayul atau mitos, yang dikenal dan diakui oleh sebagian besar
masyarakat.
2. Budaya
politik dapat dilihat dari aspek doktrin yang menekankan pada materi, seperti
sosialisme, demokrasi, atau nasionalisme dan dari aspek generik atau menekankan
pada analisis bentuk, ciri‑ciri, dan peranan, seperti militan, terbuka,
tertutup.
3. Hakikat
dan ciri budaya politik menyangkut masalah nilai-nilai, yaitu prinsip dasar
yang melandasi suatu pandangan hidup yang berhubungan dengan suatu tujuan yang
ingin dicapai.
4. Bentuk
budaya politik menyangkut sikap dan norma, yaitu sikap terbuka dan tertutup,
dan tingkat militan seseorang terhadap orang lain dalam pergaulan masyarakat,
pola kepemimpinan (konformitas atau mendorong inisiatif kebebasan, sikap
terhadap mobilitas, (mempertahankan status quo atau mendorong
mobilitas), prioritas kebijakan (menekankan ekonomi atau politik).
Dalam realitas politik, budaya
politik memiliki beberapa bentuk Gabriel
Almonddan Sidney Verba membedakan
budaya politik berdasarkan sikap politik sebagai cerminan budaya politik, yaitu
tentang dampak pemerintah terhadap kehidupan warga negara, kewajiban‑kewajiban
warga negara terhadap pemerintah, dan harapan warga negara dari pemerintah.
Dengan mengukur sikap politik, dapat dibedakan tiga bentuk budaya politik
sebagai berikut :
1. Budaya
Politik Partisipan, yaitu budaya politik dimana warga negara mempunyai
kesadaran tinggi dan membedakan perhatian terhadap sistem politik Warga negara
memiliki keyakinan, bahwa mereka dapat mempengaruhi pengambilan kebijakan
publik dan mereka memiliki protes, bila terdapat praktek pemerintahan yang
tidak fair. Budaya politik ini pada umumnya terdapat pada
masyarakat demokratik industrial yang dapat mendorong munculnya kompetisi
partai politik.
2. Budaya
Politik Subyek, yaitu budaya politik dimana warga negara memiliki pemahaman dan
perhatian terhadap sistem politik, namun memiliki keterlibatan secara pasif.
Dalam budaya ini sulit untuk mengharapkan partisipasi politik warga negara dan
tidak banyak menumbukan kontrol terhadap berjalannya, sistem politik. Budaya
ini terdapat pada sistem otoriter, dimana walaupun ada partisipan politik namun
sebagian besar rakyat hanya menjadi subyek yang pasif.
3. Budaya
Politik Parokial, yaitu merupakan bentuk budaya politik yang paling
rendah, dimana masyarakat tidak memiliki minat maupun kemampuan untuk
berpartisipasi dalam politik. Dalam budaya ini ada kesulitan untuk membangun
demokrasi, karena kompetensi dan keberdayaan politik yang tidak muncul. Budaya
politik ini terdapat pada sistem demokratis pra‑industri.
7.
Elit Politik
Teori-teori klasik tentang eklit memberi tekanan pada
sekelompok kecil yang mempunyai pengaruh besar datau kekuasaan politik besar
dalam sebuah sistem politik. Prinsip umum yang dijadikan pedoman dalam
mengkaji konsep elit telah dikemukakan oleh Pareto, Mosca, dan Michels, antara
lain :
1. Kekuasaan
politik. Gagasan Pareto tentang pemeringkatan orang berdasarkan pemilikan akan
barang, yang berwujud kekayaan, kecakapan, atau kekuasaan politik merupakan hal
yang menunjukan prinsip elit.
2. Hakikatnya
orang hanya dikelompokkan dalam dua kelompok, yaitu mereka yang memiliki
kekuasaan politik penting dan yang tidak memiliki.
3. Secara
internal, elit bersifat homogen, bersatu dan memiliki kesadaran kelompok
4. Elit
mengatur sendiri kelangsungan hidupnya (self perpectuating) dan
anggotanya berasal dari suatu lapisan masyarakat yang sangat terbatas.
5. Kelompok
elit pada hakikatnya bersifat otonom, kebal akan gugatan dari siapapun di luar
kelompoknya mengenai keputusan yang dibuatnya.
Untuk mengkaji elit politik perlu
diperhitungkan beberapa hal, yaitu; pertama,
ruang lingkup kekuasaan. Dalam kaitan ini perlu dilihat jangkauan kekuasaan
seseorang dalam pembuatan keputusan. Kedua;
kualitas pengaruh, apakah mempunyai pengaruh langsung atau tidak langsung
dan ketiga; reaksi dari aktor
lain, yaitu perlunya memperhitungkan reaksi dari aktor-aktor lain,
terutama kekuatan dari aktor lain.
8.
Stratifikasi Politik
Stratifikasi politik muncul karena
ketidaksamaan kekuasaan yang dipunyai manusia. Hal ini disebabkan oleh beberapa
faktor, yaitu: minat pada politik, pengetahuan dan pengalaman politik,
kecakapan dan sumberdaya politik, partisipasi politik, kedudukan politik dan
kekuasaan politik. Sebenarnya dalam sistem politik terdapat stratifikasi
politik yang oleh Robert D. Putnam disusun
dalam enam strata, yaitu:
Strata 1: Kelompok pembuat
keputusan, yaitu orang-orang yang secara langsung terlibat dalam pembuatan
kebijakan nasional
Strata 2: Kaum berpengaruh, yaitu
individu-individu yang memiliki pengaruh tidak langsung atau implikasi yang
kuat, biasa dimintakan nasehatnya, pendapatnya yang diperhitungkan oleh pembuat
kebijakan.
Strata 3: Aktivis, yaitu warganegara
yang mengambil bagian aktif dalam kehidupan politik dan pemerintahan,
meliputi anggota partai politik, birokrat tingkat menengah, editor surat kabar
dan para penulis.
Stara 4: Publik peminat politik,
yaitu orang-orang yang menganggap politik sebagai tontonan yang menarik.
Biasanya terdiri dari orang-orang yang attentive public, yang memiliki banyak
informasi, membentuk pendapatnya sendiri, memiliki wawasan luas dan dapat
mendiskusikannya dengan baik jalan permainan, walaupun jarang langsung terjun
dalam praktik.
Strata 5: Kaum pemilih, adalah warga
negara yang biasa dan hanya dapat mempengaruhi kehidupan politik nasional saat
diselenggarakan pemilu.
Strata 6: Nonpartisipan, yaitu
orang-orang yang hanya menjadi objek politik, bukannya aktor. Secara politik
tidak punya kekuatan sama sekali, dan biasanya menghindari kehidupan politik
atau menjadi terasing dari kehidupan politik.
9.
Pembangunan Politik
Pembangunan Politik berkaitan
dengan semakin meningkatnya partisipasi politik rakyat, oleh karena itu Samuel
P. Huntington mengemukakan lima model pembangunan politik, yaitu :
-
Model Liberal, yaitu pembangunan dan
modernisasi yang diasumsikan dapat meningkatkan kekayaan masyarakat.
-
Model Pembangunan Bourgeois, adalah
pembangunan politik yang memperhitungkan kepentingan politik bagi munculnya
kelas menengah baru yang menjadi pusat kekuatan bagi tumbuhnya ekonomi.
-
Model Pembangunan Autokratik, mernpakan
model pembangunan politik dimana pemerintah menggunakan kekuatan negara untuk
menekan partisipasi kelas menengah dan mengamankan dukungan kelas bawah.
-
Model Teknokratik, merupakan
pembangunan politik yang bercirikan tingkat partisipasi politik yang rendah,
tetapi tingkat investasi asing tinggi, dimana tingkat partisipasi ditekan agar
pertumbuhan ekonomi tinggi.
-
Model Populis, model ini
menekankan pada partisipasi politik yang tinggi dan adanya pemerataan ekonomi,
walaupun bersamaan dengan pertumbuhan ekonomi yang rendah.
B.
Teori politik
memiliki dua makna: makna pertama
menunjuk teori sebagai pemikiran spekulatif tentang bentuk dan tata cara
pengaturan masyarakat yang ideal, makna kedua menunjuk pada kajian sistematis
tentang segala kegiatan dalam masyarakat untuk hidup dalam kebersamaan. Contoh
teori politik yang merupakan pemikiran spekulatif adalah teori politik
Marxis-Leninis atau komunisme, contoh lain adalah teori politik
yang berdasar pada pemikiran Adam Smith kapitalisme. Pemikiran Tan Malaka dalam tulisannya Madilog, merupakan contoh teori politik
Indonesia. Nasakom yang diajukan Soekarno merupakan contoh lain.
Sedangkan teori politik sebagai
hasil kajian empirik bisa dicontohkan dengan teoristruktural - fungsional yang diajukan oleh Talcot
Parson (seorang sosiolog), antara lain diturunkan kedalam teori politik
menjadi Civic Culture. Konsep sistem politik sendiri merupakan
ciptaan para akademisi yang mengkaji kehidupan politik (sesungguhnya diturunkan
dari konsep sistem sosial).
BAB 3
PENDEKATAN DALAM ILMU POLITIK
A.
Pengertian Pendekatan Ilmu Politik.
Menurut Vernon dan Dyke bahwa: Pendekatan (approach)
adalah kriteria untuk menyeleksi masalah dan data yang relevan. Di
bawah ini dijelaskan secara singkat mengenai berbagai macam pendekatan yang
digunakan dalam ilmu politik:
B.
Beberapa
pendekatan dalam ilmu politik
1.
Pendekatan
Legal/Institusional/Tradisional
Menurut Vernon dan Dyke bahwa:
Pendekatan (approach) adalah kriteria untuk menyeleksi masalah dan data
yang relevan. Di bawah ini dijelaskan secara singkat mengenai
berbagai macam pendekatan yang digunakan dalam ilmu politik:
1.
Pendekatan
Legal/Institusional/Tradisional
Negara sebagai fokus utamanya,
terutama dalam hal yuridis dan konstitusional. Sehingga pendekatan
ini juga disebut sebagai pendekatan legal atau legal-institusional. Pendekatan
ini lebih bersifat statis dan deskriftif dibandingkan
analitis. Serta bersifat normatif dengan mengasumsikan
norma-norma demokrasi barat.
Beberapa kelemahan Pendekatan Tradisional, antara lain:
1. Kurang
berpeluang dalam pembentukan teori-teori baru.
2. Kurang
memperhatiakan organisasi atau kelompok yang kurang formal seperti kelompok
kepentingan dan media massa.
3. Pembahasan
kurang analitis karena lebih bersifat deskriptif.
4. Lebih
bersifat normatif, karena fakta dan norma kurang mampu dibedakan.
5. Terlalu
cenderung mendesak kekuasaan dimana kedudukan sebagai satu-satunya faktor
penentu, sehingga hanya menjadi salah satu dari sekian banyak faktor penting
yang ada dalam memutuskan sesuatu.
2.
Pendekatan Prilaku (Behavioral
Approach)
Sebab munculnya pendekatan ini
antara lain: Pertama, sikap deskriptif yang dalam ilmu
politik kurang memuaskan karena tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi
sehari-hari. Kedua, adanya rasa khawatir bahwa ilmu poltik
tidak akan berkembang pesat dan tertinggal oleh ilmu-ilmu lain. Ketiga,
munculnya keraguan dikalangan pemerintah Amerika terhadap kemampuan sarjana
ilmu politik untuk menerangkan fenomena politik.
Salah
satu pemikiran pokok dari pelopor-pelopor pendekatan perilaku bahwa tidak ada
gunanya membahas lembaga-lembaga formal karena bahasan itu tidak banyak memberi
informasi mengenai proses politik sebenarnya. Sebaliknya, lebih bermanfaat bagi
mempelajari manusia itu sendiri serta perilaku politiknya, sebagai gejala yang
benar-benar dapat diamati.
a.
Ciri-Ciri
Pendekatan Tingkah Laku (Behavioral Approach):
1. Pendekatan
ini cenderung bersifat Interdisipliner, maksudnya tidak hanya
menekankan pada kepentingan pribadi, tapi juga sosial, ekonomi dan budaya.
2. Memiliki
ciri khas yang revolusioner berupa orientasi kuat untuk mengilmiahkan ilmu
politik. Orientasi ini berkaitan dengan beberapa konsep pokok, oleh
David Easton (1962) dan Albert Somit (1967), telah dikemukakan sebagai berikut:
-
Perlakuan dalam politik menampilkan
suatu keteraturan (regularities).
-
Harus adanya suatu usaha untuk
membedakan secara jelas antara norma dan fakta.
-
Setiap analisis harus bebas dari
nilai (value-free) dan bebas dari nilai pribadi peneliti.
-
Penelitian harus
sistematis serta menuju kearah pembentukan teori (theory building).
-
Ilmu politik harus bersifat murni (pure
science);
-
Generalisasi-generalisasi harus
dapat dibuktikan keabsahan atau kebenarannya (verification).
3. Adanya
pandangan bahwa masyarakat dapat dilihat sebagai suatu sistem sosial
dan negara adalah suatu sistem politik yang menjadi subsistem dari sistem
sosial. Masing-masing saling berinteraksi dan bekerjasama untuk
menunjang terselengaranya sistem tersebut.
Dijelaskan pula dua fungsi yang
diselenggarakan oleh sistem politik.
-
Fungsi input sebagaimana dikemukakan
oleh Almond berupa kapasitas (capacity function), fungsi konversi dan
pemeliharaan (conversion and maintenance function), dan fungsi adapsi (adapsi
function). Sedangkan komunikasi dianggap sebagai cara untuk
menyampaikan fungsi-fungsi tersebut.
-
Fungsi output, yaitu membuat
peraturan (rule-making), mengaplikasikan peraturan (rule-application),
dan memutuskan (secara hukum) peraturan (rule-adjudication).
b.
Kritik
terhadap Pendekatan Perilaku
1. Pendekatan
ini terlalu steriil karena menolak masuknya nilai-nilai dan norma dalam
penelitian. (Eric Voegelin, Leo Strauss, dan John Hallowel).
2. Mereka
yang berada dibalik pendekatan prilaku tidak berusaha mencari jawaban atas
pertanyaan yang mengandung nilai.
3. Pendekatan
prilaku tidak mempunyai relevansi dengan permasalahan politik yang ada sehingga
lebih sering memusatkan permasalahan yang kurang penting.
4. Pendekatan
prilaku kurang peduli terhadap masalah-masalah penting yang tengah terjadi di
masyarakat.
5. Pendekatan
perilaku telah membawa efek yang kurang menguntungkan, yakni mendorongpara ahli
menekuni masalah-masalah yang kurang penting seperti pemilihan umum (voting
studies) dan riset berdasarkan survey.(1960-an).
3.
Pendekatan Neo-Marxis
Hal yang menjadi fokus utama adalah kekuasaan serta konflik
yang terjadi dalam negara. Menurut kalangan Neo-Marxis konflik antarkelas
adalah proses yang sangat penting guna mendorong sebuah perubahaan dalam
masyarakat.
Kritik
Terhadap Pendekatan Neo-Marxis
1. Banyak
golongan Neo-Marxis adalah yang mempelajari Marx dimana keadaan dunia telah
berubah. Sehingga banyak masalah yang dianggap masalah pokok, hanya
disinggung sepintas dan selebihnya tidak diperhatikan sama sekali.
2. Para
Neo-Marxis cenderung mengecam pemikiran para sarjana “borjuis”
dibandingkan dengan membangun teori baru yang lebih mantap.
4.
Teori Ketergantungan (Dependency
Theory)
Berpendapat bahwa imperialisme masih berlangsung sampai
sekarang dengan sebuah dominasi ekonomi yang dilakukan oleh negara kaya
terhadap negara yang kurang maju (underdeveloped). Dominasi ekonomi
ini terlihat di mana pembangunan yang dilakukan Negara Dunia Ketiga selalu
berkaitan dengan pihak Barat. Solusi yang dapat digunakan untuk menyelasikan
masalah dominasi tersebut. Pertama, penyelesaian masalah
tersebut hanyalah melalui revolusi sosial secara global (Andre Gundar Frank,
1960-an). Kedua, pembangunan independen mutlak terjadi,
sehingga revolusi tidak mutlak terjadi (Henrique Cradoso, 1979).
5.
Pendekatan Pilihan Rasional (Rational
Choice)
Inti dari Rational Choice ini adalah
optimalisasi kepentingan dan efesiensi. Aplikasi teori ini sangat
kompleks karena menerapkan metode-metode ekonomi dalam kegiatan politik.
Subtansi dasar mengenai doktrin Rational Choice ini telah
dirumuskan oleh James B. Rule, sebagai berikut:
1. Tindakan
manusia (human action) pada dasarnya adalah “instrument”, agar prilaku
manusia dapat dijelaskan sebagai usaha mencapai suatu tujuan yang sedikit
banyak mempengaruhi apa yang diinginkannya.
2. Para
aktor merumuskan perilakunya melalui perhitungan rasional mengenai tindakan
mana yang akan dipilih untuk memaksimalkan keuntungannya.
3. Proses
sosial berskala besar termasuk hal-hal seperti ratings, institusi
dan praktik merupakan kalkulasi dari. Mungkin akibat dari pilihan kedua, atau
pilihan N perlu dilacak.
Kritik Terhadap Pendekatan Rational Choice
1. Pendekatan
ini dianggap tidak memperhatikan kenyataan sekitar bahwa terkadang manusia
dalam prilaku politiknya tidak rasional. Karena dipengaruhi struktur
budaya, agama, sejarah dan moralitas. (para penganutstructural-functionalism)
2. Pendekatan
ini terlalu individualistic dan materialistic.
3. Anggapan
bahwa seharusnya pendekatan ini sebaiknya dianggap sebagai teori khusus (dalam
situasi dan manusia tertentu), bukan yang berlaku umum.
6.
Pendekatan Institusionalisme Baru (New
Institutionalism)
Perhatian utama lebih tertuju pada analisis ekonomi,
kebijakan fiskal, moneter, dsb. Pendekatan ini memandang bahwa
negara dapat diperbaiki ke arah dan tujuan tertentu. Pendekatan
Institusional Baru juga dipicu oleh pendekatan behavioralis dan sangat penting
bagi negara-negara yang ingin lepas dari rezim otoriter dan represif.
Robert E. Goden merumuskan Inti dari
Institusionalisme Baru, sebagai berikut:
1. Anggota
dan kelompok melaksanakan proyeknya sesuai dengan konteks dan dibatasi secara
kolektif.
2. Pembatasan
itu terdiri dari institusi-institusi, yaitu a) pola norma dan pola
peran yang telah berkembang dalam kehidupan sosial dan b) perilaku dari mereka
yang memgang peran itu.
3. Pembatasan
ini pada dasarnya memberi keuntungan bagi individu dan kelompok dalam mengejar
tujuan masing-masing.
4. Hal
itu disebabkan karena faktor yang membatasi kegiatan individu dan kelompok,
juga mempengaruhi pembentukan prefensi dan motivasi dari indivdu dan kelompok
itu sendiri.
5. Pembatasan-pembatasan
ini mempunyai akar historis, sebagai tindakan dan pilihan masa lalu. Pembatasan
ini mewujudkan, memelihara dan memberi peluang serta kekuatan yang berbeda
kepada individu dan kelompok masing-masing
7.
Pendekatan Institusional
Pendekatan filsafat politik menekankan pada ide-ide dasar
seputar dari mana kekuasaan berasal, bagaimana kekuasaan dijalankan, serta
untuk apa kekuasaan diselenggarakan. Pendekatan institusional menekankan pada
penciptaan lembaga-lembaga untuk mengaplikasikan ide-ide ke alam kenyataan.
Kekuasaan (asal-usul, pemegang, dan cara penyelenggaraannya) dimuat dalam
konstitusi. Obyek konstitusi adalah menyediakan UUD bagi setiap rezim
pemerintahan. Konstitusi menetapkan kerangka filosofis dan organisasi, membagi
tanggung jawab para penyelenggara negara, bagaimana membuat dan melaksanakan
kebijaksanaan umum. Dalam konstitusi dikemukakan apakah negara berbentuk
federal atau kesatuan, sistem pemerintahannya berjenis parlementer atau
presidensil. Negara federal adalah negara di mana otoritas dan kekuasaan
pemeritah pusat dibagi ke dalam beberapa negara bagian. Negara kesatuan adalah
negara di mana otoritas dan kekuasaan pemerintah pusat disentralisir.
Badan pembuat UU (legislatif) berfungsi mengawasi
penyelenggaraan negara oleh eksekutif. Anggota badan ini berasal dari anggota
partai yang dipilih rakyat lewat pemilihan umum. Badan eksekutif sistem
pemerintahan parlementer dikepalai Perdana menteri, sementara di sistem
presidensil oleh presiden. Para menteri di sistem parlementer dipilih perdana
menteri dari keanggotaan legislatif, sementara di sistem presidensil dipilih
secara prerogatif oleh presiden. Badan Yudikatif melakukan pengawasan atas
kinerja seluruh lembaga negara (legislatif maupun eksekutif). Lembaga ini
melakukan penafsiran atas konstitusi jika terjadi persengketaan antara
legislatif versus eksekutif.
Lembaga asal-muasal pemerintahan adalah partai politik.
Partai politik menghubungkan antara kepentingan masyarakat umum dengan
pemerintah via pemilihan umum. Di samping partai, terdapat kelompok
kepentingan, yaitu kelompok yang mampu mempengaruhi keputusan politik tanpa
ikut ambil bagian dalam sistem pemerintahan. Terdapat juga kelompok penekan,
yaitu suatu kelompok yang secara khusus dibentuk untuk mempengaruhi pembuatan
kebijaksanaan umum di tingkat parlemen. Dalam menjalankan fungsinya, eksekutif
ditopang oleh (administrasi negara). Ia terdiri atas birokrasi-birokrasi sipil
yang fungsinya elakukan pelayanan publik.
8.
Pendekatan Plural
Pendekatan
ini memandang bahwa masyarakat terdiri atas beraneka ragam kelompok. Penekanan
pendekatan pluralisme adalah pada interaksi antar kelompok tersebut. C. Wright
Mills pada tahun 1961 menyatakan bahwa interaksi kekuasaan antar kelompok
tersusun secara piramidal. Robert A. Dahl sebaliknya, pada tahun 1963
menyatakan bahwa kekuasaan antar kelompok relatif tersebar, bukan piramidal.
Peneliti lain, yaitu Floyd Huter menyatakan bahwa karakteristik hubungan antar
kelompok bercorak top-down (mirip seperti Mills).
9.
Pendekatan Struktural
Penekanan
utama pendekatan ini adalah pada anggapan bahwa fungsi-fungsi yang ada di
sebuah negara ditentukan oleh struktur-struktur yang ada di tengah masyarakat,
buka oleh mereka yang duduk di posisi lembaga-lembaga politik. Misalnya, pada
zaman kekuasaan Mataram (Islam), memang jabatan raja dan bawahan dipegang oleh
pribumi (Jawa). Namun, struktur masyarakat saat itu tersusun secara piramidal
yaitu Belanda dan Eropa di posisi tertinggi, kaum asing lain (Cina, Arab,
India) di posisi tengah, sementara bangsa pribumi di posisi bawah. Dengan
demikian, meskipun kerajaan secara formal diduduki pribumi, tetapi kekuasaan
dipegang oleh struktur teratas, yaitu Belanda (Eropa).
Contoh lain dari strukturalisme adalah kerajaa Inggris. Dalam
analisa Marx, kekuasaan yang sesungguhnya di Inggris ukan dipegang oleh ratu
atau kaum bangsawasan, melainkan kaum kapitalis yang 'mendadak' kaya akibat
revolusi industri. Kelas kapitalis inilah (yang menguasai perekonomian negara)
sebagai struktur masyarakat yang benar-benar menguasai negara. Negara, bagi
Marx, hanya alat dari struktur kelas ini.
10.
Pendekatan Developmental
Pendekatan ini mulai populer saat muncul negara-negara baru
pasca perang dunia II. Pendekatan ini menekankan pada aspek pembangunan ekonomi
serta politik yang dilakukan oleh negara-negara baru tersebut. Karya klasik
pendekatan ini diwakili oleh Daniel Lerner melalui kajiannya di sebuah desa di
Turki pada tahun 1958. Menurut Lerner, mobilitas sosial (urbanisasi, literasi,
terpaan media, partisipasi politik) mendorong pada terciptanya demokrasi. Karya
klasik lain ditengarai oleh karya Samuel P. Huntington dalam "Political
Order in Changing Society" pada tahun 1968. Karya ini membantah kesimpulan
Daniel Lerner. Bagi Huntington, mobilitas sosial tidak secara linear
menciptakan demokrasi, tetapi dapat mengarah pada instabilitas politik. Menurut
Huntington, jika partisipasi politik tinggi, sementara kemampuan pelembagaan
politik rendah, akan muncul situasi disorder. Bagi Huntington, hal yang harus
segera dilakukan negara baru merdeka adalah memperkuat otoritas lembaga politik
seperti partai politik, parlemen, dan eksekutif.
Kedua peneliti terdahulu berbias
ideologi Barat. Dampak dari ketidakmajuan negara-negara baru tidak mereka
sentuh. Misalnya, negara dengan sumberdaya alam makmur megapa tetap saja
miskin. Penelitian jenis baru ini diperkenalkan oleh Andre Gunder Frank melalui
penelitiannya dalam buku "Capitalism and Underdevelopment in Latin
America. Bagi Frank, penyebab terus miskinnya negara-negara 'dunia ketiga'
adalah akibat : modal asing, perilaku pemerintah lokal yang korup, dan kaum
borjuis negara satelit yang 'manja' pada pemerintahnya. Frank menyarankan agar
negara-negara 'dunia ketiga' memutuskan seluruh hubungan dengan negara maju
(Barat).
BAB
4
DEMOKRASI
MENURUT TERMIOLOGI KOMUNIS DAN SOSIALIS
A. Demokrasi
Menurut Terminologi Komunisme
Demokrasi konstitusional telah
berkembang diberbagai negara di dunia hingga akhir abad 19 muncul sebuah
ideologi yang mengembangkan konsep demokrasi yang bertentangan dengan azas
pokok demokrasi konstitusional. Demokrasi dalam hal ini dipakai dalam
istilah demokrasi proletar dan demokrasi Soviet hingga
pada dekade lima puluhan timbul istilah demokrasi nasional. Seluruh
istilah demokrasi tersebut berlandaskan aliran pikiran komunisme atau
Marxisme-Leninisme. Para golongan yang mendukung demokrasi konstitusional (Internasional
Commision of Jurish) mengecap demorkasi tersebut tidak demokratis
Awal abad 19 keadaan buruk dialami buruh di Eropa Timur kemudian cendikiawan
Robert Owen, Saint Simon dan Fourier mencoba untuk memperbaikinya. Pemikiran
mereka hanya didorong oleh rasa perikemanusiaan tanpa adanya tindakan yang
nyata dan tanpa strategi perbaikan, sehingga teori mereka disebut Sosialis
Utopia. Karl Marx juga mengecam keadaan ekonomi dan sosial yang terjadi
disekelilingnya, ia berpendapat masyarakat tidak dapat diperbaiki secara tambal
sulam tetapi harus diubah secara radikal melalui pendobrakan sendi-sendinya.
Karl Marx menamakan ajarannya Sosialisme Ilmiah (Scientific Socialism).
Marx tertarik oleh gagasan dialektik
George Hegel untuk mengubah masyarakat secara radikal. Marx mengatakan bahwa
“semua filsafat hanya menganalisa masyarakat, tetapi masalah sebenarnya ialah
bagaimana mengubahnya”. Hegel berpendapat kebenaran keseluruhannya hanya
ditangkap oleh pikiran manusia melalui proses dialektik (proses tesis melalui
antithesis menuju sintesis) hingga kebenaran yang sempurna tertangkap. Proses
ini terus berlangsung hingga tercapai sintesis yang paling tinggi dan lebih
lengkap unsur kebenarannya dan kebenaran secara keseluruhan tersebut disebut
Ide Mutlak (Absolute Idea). Oleh karena itu dialektika merupakan gerak
maju dari taraf rendah ke taraf tinggi dengan suatu irama pertentangan dan
persatuan.
Marx tertarik gagasan dialektik
Hegel karena terdapat unsur kemajuan melalui konflik dan pertentangan, dan
unsur inilah yang menyusun teorinya mengenai perkembangan masyarakat melalui
revolusi. Awalnya Marx merumukan dahulu teori materialisme dialektis (dialectical
materialism) kemudian menganalisa sejarah perkembangan masyarakat yang
dinamakannya teori materialism historis (historical materialism) untuk
melandasi teori sosial. Ia berkesimpulan menurut hukum ilmiah, dunia kapitalis
akan mengalami revolusi proletar yang akan menghancurkan sendi-sendi masyarakat
dan akan meratakan jalan untuk timbulnya masyarakat komunis.
Materialisme dialektis dari ajaran
Hegel, Marx mengambil gagasan mengenai terjadinya pertentangan antara segi-segi
yang berlawanan dan gagasan bahwa semua berkembang terus. Dalam hal ini Marx
menolak bahwa hukum dialektik hanya berlaku dalam pikiran manusia saja, ia
menegaskan bahwa hukum dialektik juga terjadi dalam dunia kebendaan (dunia
materi) yang disebutnya Materialisme. Selanjutnya setiap benda
maupun keadaan dalam tubuhnya menimbulkan segi-segi yang berlawanan dan
bertentangan disebut kontradiksi, kemudian timbul keseimbangan
dimana benda dan keadaan telah di negasi-kan hingga tercapainya
negasi tertinggi maka selesailah perkembangan dialektis. Materialisme historis
merupakan gagasan bahwa sejarah menunjukkan masyarakat masa lampau telah
berkembang menurut hukum dialektis. Menurut Karl Marx perkembangan dialektik
terjadi lebih dahulu dalam struktur bawah dari masyarakat kemudian menggerakkan
struktur atas yang bersifat ekonomis.
Hukum dialektika menyatakan
masyarakat telah berkembang menjadi masyarakat kapitalis. Gerak dialektis
dimulai saat masyarakat bersifat primitif menjadi masyarakat berkelas, gerak
ini disebabkan pertentangan antara masyarakat berkelas pertama (budak) kemudian
terjadi pertentangan berubah menjadi masyarakat feodal lalu berubah menjadi
kaum borjuasi dan berubah menjadi masyarakat kapitalis yang diakibatkan
pertentangan kaum kapitalis dan kaum proletar sehingga gerak dialektis terakhir
tercapai yaitu masyarakat komunis. Masyarakat komunis yang dicitakan oleh Marx
merupakan masyarakat yang tidak ada kelas sosial dimana manusia bebas dari
keterikatan kepada milik pribadi, tidak ada ada eksploitasi, penindasan.
Dukungan terbesar atas ajaran Marx berasal dari negara Rusia yang dijadikan
pola untuk membentuk masyarakat baru atas runtuhnya masyarakat lama melalui
revolusi yang dilakukan oleh Lenin.
Abad ke 20 gagasan Karl Marx
disesuaikan dengan perubahan politik dan sosial yang diberoi tafsiran khusus
yang dinamakan Marxisme-Leninisme atau komunisme oleh pemimpin Rusia.
1.
Pandangan Mengenai Negara dan
Demokrasi
Marx berpandangan bahwa negara
sebagai suatu alat pemaksa (instrument of coercion) yang akhirnya akan melenyap
sendiri dengan munculnya masyarakat komunis. Ia juga berpendapat bahwa negara
hanya mesin yang dipakai satu kelas untuk menindas kelas lain, dan hanya
merupakan lembaga trasnsisi yang dipakai untuk menindas lawan dengan kekerasan.
Lenin setuju dengan pendapat Marx dan menganggap negara sebagai diktator
proletariat serta berpandangan bahwa penindasan dengan kekerasan terhadap kaum
penindas harus disingkkirkan dari demokrasi. Pandangan ini merupakan demokrasi
untuk minoritas terhadap mayoritas yang tidak memiliki hak demokratis dan ia
juga mengecam bahwa dikatator dan demokrasi adalah bertentangan satu sama lain.
Tercapainya komunisme dinegara maka negara akan lenyap ketika orang bekerja
menurut kesanggupan dan menerima menurut kebutuhannya.
Stalin mengungkapkan syarat
melenyapkan negara yaitu syarat internal yaitu sistem ekonomi harus berdasarkan
prinip ekonomi “distribusi menurut kebutuhan” dan syarat eksternal sebagai
gagasan baru pengepungan oleh negara-negara kapitalis harus berakhir dan
sosialisme menang diseluruh dunia. Khurshchev mengatakan bahwa negara merupakan
negara dari seluruh rakyat dimana hanya ada dua golongan yang bersahabat
sehingga tidak ada kelas-kelas sosial yang antagonis karena itu tidak perlu
lagi ada paksaan.
Komunisme tidak hanya merupakan
sistem politik tetapi juga mencerminkan gaya hidup yang berdasarkan nilai-nilai
tertentu yaitu: Gagasan monoisme (sebagai lawan dari pluralism); Kekerasan
dipandang sebagai alat yang sah dan harus dipaku untuk mencapai komunisme;
Negara merupakan alat untuk mencapai komunisme. Mekanisme untuk
menyelenggarakan asas tersebut adalah Sistem satu partai yaitu diktator proletar
sebenarnya merupakan diktator Partai komunis; Soviet tertinggi secara formal
memegang semua kekuasaan yaitu legeslatif, eksekutif dan yudikatif sebab
Marxisme-Leninisme menolak gagasan trias politca; Pemilihan umum dewasa ini
bersifat rahasia tetapi tidak ada kemerdekaan politik dan pencalonan didasarkan
atas sistem calon tunggal untuk setiap kursi, setiap calon ditetapkan oleh
Partai Komunis.
2.
Demokrasi Rakyat
Demokrasi rakyat menurut istilah
komunis adalah bentuk khsus demokrasi yang memenuhi fungsi diktator
proletar.Menurut Georgi Dimitrov menyatakan bahwa demokrasi rakyat merupakan
arah dalam masa transisi yang bertugas untuk menjamin peran negara kearah
sosialisme. Lahirya demokrasi rakyat di masing-masing negara Eropa Timur lahir
pada waktu yang berlainan. Demokrasi Rakyat memiliki ciri-ciri yaitu: Suatu
wadah front persatuan (united front) yang merupakan landasan kerja sama
dari partai komunis dengan golongan-golongan lainnya dalam penguasa; Penggunaan
beberapa lembaga pemerintahan di negara lama. Gagasan demokrasi rakyat di Cina
dipengaruhi oleh pemikiran Mao Zedong yang melancarkan Demokrasi Baru.
Tahun 1989 hingga 1991 semua negara
komunis di Eropa Timur mengalami transisi politik fundamental, bergeser menjauh
dari komunisme (Post-communism). Janor Kadar pemimpin Hongaria
memperkenalkan New Economic Mechanism tahun 1968 dengan gagasan lebih radikal
dari reformasi perekonomian yang pernah diterapkan di Eropa Timur. Proses
liberalisasi berlangsung ditandai dengan kebebasan untuk melakukan kritik pada rezim
yang berkuasa. Negara komunis yang masih bertahan dari 23 negara bekas komunis
salah satunya adalah Cina. Situasi komunisme di China berbeda dengan situasi
kebanyakan negara di Eropa Timur maupun Uni Soviet, karena ada faktor “keunikan
China”.
Suksesi kepemimpinan Mao Zedong
tidak berjalan mulus sehingga menyebabkan konsolidasi kekuasaan baru relative
stabil dengan kendali kekuasaan Deng Xiaoping. Gagasan Deng Xiaoping dengan
empat modernisasinya yaitu pertanian, industri, pertahanan serta iptek merupakan
faktor mengapa komunisme China tidak runtuh dengan memprioritaskan reformasi
ekonomi dan meningkatkan taraf hidup penduduk. Faktor kedua yang membuat China
bertahan dengan paham Komunismenya dikarenakan relative independen dari
pengaruh Uni Soviet; dan faktor ketiga adalah tradisi Confucian yang takut akan
terjadi chaos dan anarki sebab ajara Confius di China
mengajarkan harmoni dan kestabilan.
3.
Demokrasi Nasional (National
Democratic State)
Tahun 1950 kaum komunis meninjau
kembali hubungan dengan negara-negara Asia dan Afrika. Harapan kaum komunis
bahwa negara jajahan (bougeois democratic revolution) akan meluas
menjadi revolusi proletar ternyata hampa belaka walaupun komunisme sebagai
ideologi mengalami kemajuan. Pola perebutan kekuasaan secara langsung sesuai
ajaran Lenin ditegaskan dalam Konferensi Calcutta gagal karena tidak mendapat
dukungan rakyat. Hal ini mendorong kaum komunis untuk melahirkan konsepsi baru
dengan perubahan sikap dalam politik negara komunis. Perubahan sikap tersebut didasarkan
pada konsep kemenangan yang dicapai melalui “transisi damai” (peaceful
transition) yaitu melalui saluran-saluran yang sah dan atas dasar kerjasama
dengan kekuatan borjuasi yang ada. Demokrasi Nasional dianggap suatu tahapan
dalam perkembangan negara demokrasi borjuis menjadi demokrasi rakyat sebagai
bentuk diktator ploretariat.
Akhir tahun 1964 konsep Demokrasi Nasional tidak realistis karena adanya
beberapa negara yang dianggap sudah matang untuk terbentuknya Demokrasi
Nasional ada yang tidak memperlihatkan kemajuan kearah demokrasi rakyat hingga
membubarkan partai komunis setempat. Sehingga golongan komunis kembali meninjau
konsep Demokrasi Nasional dan menentukan sikap terhadap negar borjuis nasional
yang tidak memihak partai komunis. Hal ini mengakibatkan dilepaskannya gagasan
pokok yaitu peranan mutlak partai komunis serta pertentangan kelas dan
dicetuskannya konsep mengenai demokrasi revolusioner. Adanya sikap transisi
keerah jalan non-kapitalis merupakan pengaruh sistem sosialis dunia (Uni
Soviet) dan sikap ini sangat dikecam oleh China karena telah secara langsung
menolak konsep mengenai demokrasi revolusioner dan China mengecamnya sebagai
Revisonis. China menyatakan bahwa masih diperlukan aliansi kaum petani dan kaum
buruh dibawak pimpinan partai komunis dan menggunakan kekerasan untuk
meruntuhkan pimpinan yang reaksioner, merebut kekuasaan negara dan mendirikan
dictator proletariat.
Revolusi kebudayaan hadir di China sebagai anda adanya perubahan sikap yang
lebih lunak dari sikap pimpinan China yang awalnya kaku terhadap dunia luar dan
hal ini dapat dilihat masuknya Republik Rakyat China menjadi anggota PBB.
Perkembangan demokrasi di China sulit untuk diprediksi karena penerapan
komunisme telah banyak sekali mengalami perkembangan. Upaya pembaharuan sistem
politik di China yang dilakukan secara bertahap membuka keran kebebasan di
tingkat lokal melalui pemilihan langsung dengan memilih kepala desa dan
karakteristik sistempolitiknya telah mengarah pada soft authoritatianism yang
tidak dicirikan sebagai totaliter dan otoriter.
4.
Kritik Terhadap Komunisme dan
Runtuhnya Kekuasaan Komunis
Paham komunisme mendapat kecaman dari berbagai pihak yaitu
kalangan non-lomunis dan kalangan anti komunis maupun dari kalangan komunis
sendiri. Dari kalangn komunis kritik yang didapat terkait dengan pola
Yugoslavia yang secara politis dan ekonomis merupakan penyimpangan yang paling
jauh dari pola yang pernah digariskan oleh Uni Soviet. Kritik dari kalangan
non-komunis terkait dengan unsure paksaan dan kekerasan kepada pembatasan atas
kebebasan-kebebasan politik dan diabaikannya martabat perorangan yang
ditetntukan dan dirimuskan oleh elite yang kecil.
Kritik maupun perbedaan pendapat terjadi dikalangan ilmiawan yang dituliskan
dalam sebuah buku bidang kesusastraan dan ilmiah yang berisi tentang kebebsan
berpikir sebagai sesuatu yang oerlu untuk setiap masyarakat yang ingin maju.
Para cendikiawan tersebut yaitu Andrei Synyavsky dihukum kerja paksa karena
tulisannya diterbitkan diluar negeri dan dianggap anti-Soviet.
Keruntuhan rezim komunis sejak tahun 1989 di berbagai negara memununculkan
berbagai teori. Sebagai contoh buku Leslie Holmes mengenai beragam pendekatan
dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya yang berkembang untuk menjelaskan
kejatuhan rezim komunisme di berbagai negara terutama di Uni Soviet dan Eropa
Timur. Dalam buku tersebut menjelaskan kejatuhan rezim komunis karena faktor
Gorbachev, kegagalan ekonomi, peran kekuatan oposisi, kompetensi dengan negara
barat, korekasi dan pemaknaan pada ajaran Marxisme, jangkauan wilayah, pengaruh
terlalu luas, teori perbandingan tentang revolusi, teori perbandingan tentang
modernisasi dan teori tentang krisi legitimasi.
B.
Demokrasi Menurut Terminology Sosialis
Sosial demokrasi merupakanidiologi politikyang
menggabungkan sosialismedengan unsur – unsur kapitalisme yang di anggap sesuai.
Sosial Demokrasijuga dapat di katakan sebagai paham politik yang di sebut
sebagai sosialis moderat yang berkembang pada abab ke 19. Ide sosial demokrasi
( sosdem ) berkembang dari gerakan – gerakan buruh di eropa, Tokoh yang
dianggap berpengaruh mengembangkan ide sosial demokrasi ( sosdem ) adalah
Eduard Bernstein. Lewat bukunya “Evolutionary Socialism (terbit tahun 1899)”,
Bernstein menyerang ide-ide Marx yang memiliki berbagai kontradiksi internal
dan bertentangan dengan demokrasi. Kaum sosialis, menurut Bernstein, harus
mentransformasi masyarakat menuju keadilan sosial dengan cara-cara demokratis,
bukan revolusioner seperti digagas Marx. Berbeda dengan Marx yang meyakini
bahwa institusi negara akan menghilang digantikan kekuasaan proletariat,
Bernstein berargumen bahwa institusi negara harus dipandang sebagai mitra.
Dengan demokrasi politik, negara akan bisa
diyakinkan untuk mengakomodasi hak-hak ekonomi dan politik kelas masyarakat
yang terpinggirkan oleh kapitalisme, Ide klasik sosial demokrasi(sosdem) adalah
orientasi mengatasi kesenjangan sosial ekonomi, perluasan kesempatan
partisipasi kaum yang kurang beruntung, mewujudkan keadilan sosial dan
demokratisasi. Dua ciri khas utama dari pandangan sosdem klasik adalah
pemanfaatan kekuasaan negara untuk meng-counter laju bisnis swasta dan fokus
pada upaya mengurangi kesenjangan material, antara lain melalui pajak progresif
serta pengarahan negara dalam pemberian jaminan pendidikan, kesehatan, pensiun
dan jaminan kesejahteraan untuk warga negara. Sementara, ciri khas utama dari
neoliberalisme menurut Giddens adalah pereduksian peran negara secara
substansial dan reformasi sistem jaminan kesejahteraan untuk meningkatkan peran
pasar didalam bidang jaminan-jaminan kesejahteraan.Sebagai alternatif bagi
keduanya, Giddens mengemukakan gagasan sosdemnya yang menolak intervensi
negara, menolak ”praktik persamaan ” sebagai cita-cita sosdem, dan mempromosikan
redistribusi kesempatan sebagai solusi mengatasi ketidaksamaan.
Perbedaan Asas Sosial – Demokrat Dan Komunis
Banyak aliran – aliran yang juga berdasarkan
ilmu sosialis, aliran yang menentang kapitalisme dan imperialisme, Tetapi
aliran sosialis tidak begitu besar artinya di dalam perjuangan kaum buruh untuk
menuntut perbaikan nasibnya, maka kita hanya mengupas sosial-demokrat dan
komunis saja, kedua faham yang tidak asing lagi di dunia politik, Kedua faham
atau isme ini di dalam hakikatnya tidak mengandung perbedaan satu sama lain,
karena kedua isme ini berdiri di atas faham sosialisme atau lebih tegas lagi
berdiri di atas faham Marxisme. Sosialisme dan komunisme mengaku menjadi
pengikut Marx. Fase-teori mengajarkan bahwa masyarakat di jaman purbakala
adalah Ur-komunis, artinya pergaulan hidup manusia di jaman purbakala diatur
menurut cara tidak ada raja-raja atau kelas-kelas. Sesudah jaman ur-komunisme
ini berlalalu, maka lahirlah jaman feodal. Sendi dasarnya pergaulan hidup jadi
feodalistis, yakni masyarakat terbagi dalam kelas raja,dan “hamba”. Habis fase
feodal ini tumbul fase kapitalisme. Mula-mula jaman voor-kapitalisme dan
kemudian jadi kapitalisme modren, liberalism, neo-liberal. Jaman kapitalisme
ini menuju ke fase-sosialisme. Fase-teori ini dianut oleh kaum sosial-demokrat
dan juga oleh kaum komunis. Kedua aliran yang besar ini mula-mula berjuang
bersama-sama di bawah “pimpinannya” Karl Marx. Lalu timbul pertanyaan mengapa
sosialisme yang bersendi atas marxisme terpecah menjadi dua aliran yang
menimbulkan faham – faham sendiri. Pada tahun 1889 sampai tahun 1914 dua aliran
yakni sosialis dan komunis diikat oleh satu badan yang bernama
Tweede-Internationale atau di dalam bahasa Indonesia ”Internasional-Kedua.”
Tetapi dalam tahun 1914 persatuan partai kaum buruh ini terpecah menjadi dua
aliran yang satu memisahkan diri menjadi sosial-demokrat dan yang lain menamakan
dirinya kaum komunis. Perpecahan itu terjadi oleh karena kedua aliran ini tidak
bisa akur pendiriannya satu sama lain tentang mufakat atau tidaknya kaum
proletar terutama di negeri-negeri kapitalis turut menyokong peperangan dunia
di tahun 1914. Kaum sosial-demokrat suka menyokong peperangan dunia, tetapi
kaum komunis sama sekali anti peperangan. Kaum sosial-demokrat berpendapat
bahwa kaum proletar harus turut menyokong pemerintahan dalam negeri jika ada
musuh menyerang negerinya.
Kaum komunis mendirikan Internasionale sendiri
ialah: "Derde-Internasionale” adalah Internasional-Ketiga di Moskow di
bulan Maret 1919. Pemimpin-pemimpin terbesar dari kaum komunis ialah Lenin,
Trotsky dan Zinoview, mengajarkan bahwa pergaulan hidup manusia tidak harus tumbuh
sebagaimana sudah digambarkan di dalam teori-teorinya Karl-Marx, tetapi
pergaulan hidup dapat mengadakan fase-sprong, artinya bahwa masyarakat yang
masih berada di dalam fase feodal itu tidak harus melalui zaman kapitalisme
lebih dulu untuk menuju ke jaman sosialisme. Kaum sosial-demokrat membantah
teori fase-sprong ini. Karena menurut aliran sosial-demokrat fase-sprong ini
disebutkan anti-Marxisme. Mereka mengajarkan bahwa tiap-tiap pergaulan hidup
itu harus tumbuh menurut alam. Karl Kautsky, pemimpin sosial-demokrat berkata
bahwa wet-evolusi—fase teori—yang digambarkan oleh Marx itu harus tunduk.
Sosial-demokrat berkata: “Marx bilang, bahwa masyarakat bergerak melalui
beberapa fase, yakni melalui beberapa tingkat. Dulu fase ur-komunisme, kemudian
fase feodal (ningrat-ningratan), kemudian fase kapitalisme-modren, kemudian
fase sosialisme. Tiap-tiap fase harus dilalui. Sesudah fase ur-komunis tidak
boleh tidak tentu fase feodal. Sesudah fase feodal tidak boleh tidak tentu fase
voor-kapitalisme, dan begitu seterusnya. masyarakat tidak bisa melompati suatu
fase. Perbedaan yang kedua ialah bahwa tiap-tiap orang menurut kaum
sosial-demokrat yang hidup di dalam suatu masyarakat adalah jadi anggota
masyarakat dan oleh karena itu ia berhak mengeluarkan pikirannya, kemauannya
dan cita-citanya tentang cara-cara masyarakat itu diatur. dengan kata lain
pergaulan hidup itu harus diatur secara demokratis.
Tetapi kaum komunis mengajarkan bahwa demokrasi
itu di dalam hakikatnya tidak memberi kemerdekaan kepada Rakyat. Di dalam
praktiknya, kata mereka, demokrasi itu tidak ada. Dan jika demokrasi ini ada,
kerakyatan itu tidaklah dapat memberi hak-hak kepada Rakyat untuk mengatur
pergaulan hidup. demokrasi itu adalah perkataan omong kosong belakang oleh
karena itu kaum komunis tidak mufakat dengan demokrasi tetapi mengajarkan bahwa
hanyalah “diktator-proletariat” saja (artinya bahwa hanya kaum proletar saja
yang mempunyai suara) yang dapat memberi kekuasaan hidup manusia bagi
keselamatan masyarakat. kaum komunis berkata Diktato-proletariat itu adalah
suatu alat untuk mendatangkan pergaulan hidup sosialis.
BAB 5
TATANAN POLITIK
A.
Tatanan Dunia Baru
Adalah istilah yang dipakai untuk
menyebut periode sejarah modern manapun yang mengalami perubahan pemikiran
politik dunia dankeseimbangan
kekuasaan yang
besar. Meski istilah ini memiliki banyak makna, istilah ini sering dikaitkan
dengan arti ideologis pemerintahan global dalam upaya bersama untuk
mengenali, memahami, dan menyelesaikan permasalahan dunia yang berada di luar
kemampuan negara bangsa.
Salah satu peristiwa pertama yang
melibatkan istilah ini adalah Empat Belas Pasal Woodrow Wilson dan usulan pembentukan Liga Bangsa-Bangsa setelahPerang Dunia I. Frasa ini semakin jarang digunakan
pada akhir Perang Dunia II ketika menyebut rencana
pembentukan Perserikatan
Bangsa-Bangsa dansistem Bretton Woods karena Liga Bangsa-Bangsa
gagal mencegah Perang Dunia II. Namun demikian, banyak komentator yang menyebut
tatanan yang ditetapkan para pemenang Perang
Dunia II sebagai
"tatanan dunia baru.
Di era modern, frasa ini sering
dibahas menjelang akhir Perang Dingin. Presiden Mikhail Gorbachev dan George H. W. Bush menggunakan istilah ini untuk
mendefinisikan sifat zaman pasca Perang Dingin dan semangat kerja sama kekuasaan
besar yang
diharapkan bisa terwujud. Rencana awal Gorbachev sangat beragam dan idealis, tetapi kemampuannya untuk
melaksanakannya terhambat oleh krisis internal sistem Soviet. Visi Bush lebih jelas dan realistis, terkadang instrumental, dan sangat
terkait dengan Perang Teluk.
B. Macam-Macam
Sistem Politik Di Berbagai Negara.
Selain dari sistem politik
demokrasi, terdapat berbagai macam sistem politik yang dianut dari berbagai
negara didunia. Sebelum membahas mengenai macam-macam sistem politik di
berbagai negara, tahukah anda mengenai Pengertian
Sistem Politik ? Secara Umum, Sistem Politik adalah interaksi antara
pemerintah dan masyarakat dalam proses pembuatan dan pengambilan kebijakan yang
mengikat tentang kebaikan bersama antara masyarakat yang berada dalam suatu
wilayah tertentu.
Macam-macam sistem politik dari
berbagai negara berdasarkan dari kebijakan negaranya masing-masing. Macam-macam
sistem plitik tersebut adalah sebagai berikut:
a.
Absolutisme
Sistem politik dimana tidak ada
batasan hukum, kebiasaan, atau moral atau kekuasaan pemerintah. Istilah
tersebut secara umum dipergunakan untuk sistem politik yang dijalankan oleh
seorang diktator, tetapi dapat pula digunakan pada sistem yang kelihatannya demokratis
yang memberi kewenangan mutlak pada legislatif dan eksekutif. Sifat utama dari
bentuk pemerintahan ini adalah dengan pemusatan kekuatan, kontrol kelompok
sosial yang ketat, sehingga tidak adanya partai politik sebagai pesaing dan
perwakilan rakyat menjadi oposisi.
b.
Anarkisme
Sistem politik yang bertentangan
dengan semua bentuk pemerintahan. Para anarkis percaya bahwa dengan pencapaian
tertinggi umat manusia adalah kebebasan individu untuk mengekspresikan dirinya,
tidak hanya terbatas pada bentuk represi atau kontrol apapun. Mereka juga
percaya bahwa kesempurnaan dari umat manusia tidak akan dicapai hingga semua
pemerintahan dihapuskan dan setiap individu bebas sebebas-bebasnya. Namun salah
satu batasan atas kebabasan itu adalah larangan melukai lain. Batan ini
menimbulkan batasan lain. Jika umat manusia berusaha untuk menyakiti orang
lain, semua individu lain yang berkelakuan baik memiliki hak untuk bersatu
melawannya dan kelompok yang taat asas dapat menekan kelompok kriminal,walaupun
hanya melalui kerja sama sukarela dan bukan melalui organisasi negara.
c.
Koalisi
Kombinasi sementara kelompok atau
individu yang dibentuk untuk mencapai tujuan tertentu melalui tindakan bersama.
Istilah dari koalisi yang paling sering digunakan sehubungan dengan partai politik.
Pemerintahan koalisi, yang sering ditemukan di negara-negara multipartai,
seperti Italia dan prancis, dapat dibentuk ketika tidak ada satu partai tunggal
yang cukup kuat untuk memperoleh mayoritas dalam pemilihan umum. Pemerintah
yang terbentuk biasanya mendistribusikan pos-pos politik untuk mewakili seluruh
anggota koalisi.
d.
Persemakmuran (commonwealth)
Sistem terdiri dari rakyat satu
komunitas yang terorganisasi secara politis dan bersifat independen atau semi
independen, dimana pemerintah berfungsi berdasarkan persetujuan rakyat.
e.
Komunisme
Menurut teori, komunis dapat
menciptakan masyarakat tanpa kelas yang kaya dan bebas, dimana semua orang
menikmati status sosial dan ekonomi. Namun dalam pratiknya, rezim komunis
mengambil bentuk pemerintah otoriter dan memaksa (coercive), yang tidak begitu
peduli pada persoalan kelas buruh dan pada akhirnya berupaya untuk
mempertahankan kekuasaan.
f.
Demokrasi
Sistem politik dimana rakyat suatu
negara memerintah melalui bentuk pemerintahan apapun yang mereka pilih. Dalam
demokrasi modern, otoritas tertinggi dilakukan oleh perwakilan yang dipilih
oleh rakyat. Perwakilan dapat dilanjutkan dengan pemilihan umum menurut
prosedur hukum recall dan referendum.
g.
Despotisme
Sistem dimana terdapat penguasa
absolut yang tidak dibatasi oleh proses konstitusional atas hukum apapun. Kata
ini juga memiliki konotasi kebijakan yang kejam dan opresif.
h.
Kediktatoran
Bentuk kediktatoran di masa modern
adalah pemerintahan negara di tangan satu orang. Diktator sebenarnya adalah
gelar magistrate pada masa Romawi Kuno, yang ditunjuk oleh Senat pada masa
darurat, dan disahkan oleh comitia
curiata.
i.
Totalitarianisme
Sistem politik dan ideologi di mana
semua aktivitas sosial, ekonomi budaya, politik, intelektual dan spiritual
tunduk pada tujuan pemimpin sebuah negara. Dalam totalitarianisme modern,
rakyat dibuat sepenuhnya tergantung pada kemauan dan ajakan partai politik dan
pemimpinnya. Negara-negara totaliter modern dipimpin oleh seseorang pemimpin
atau diktator yang mengotrol partai politik.
j.
Fasisme
Ideologi politik modern yang
beurpaya menciptakan kembali kehidupan sosial, ekonomi dan budaya sebuah negara
berdasarkan rasa kebangsaan atau identitas etnis. Fasisme menolak ide liberal
seperti hak individu dan kebebasan, dan sering menekan untuk membantu
membatalkan pemilihan umum, legislatif, dan elemen yang lain.
k.
Federalisme
Sistem politik nasional atau
internasional di mana dua tingkat pemerintah mengontrol wilayah dan warga
negara yang sama. Negara dengan sistem politik federal memiliki pemerintah
pusat dan pemerinta-pemerintah yang didasarkan pada unit politik yang lebih
kecil, yang biasanya disebut dengan negara bagian, provinsi atau wilayah. Unit
poltik yang lebih kecil ini menyerahkan beberapa kekuasaan politik mereka
kepada pemerintah pusat, demi kebaikan bersama.
l.
Monarki
Sistem dimana seseorang memilih hak
keturunan untuk memimpin sebagai kepala negara seumur hidupnya. Istilah ini
juga diterapkan pada negara yang diperintah. Kekuasaan monarki bervariasi dari
absolut hingag sangat terbatas. Monarki meliputi penguasa, seperti raja dan
ratu, kaisar, dan tsar atau sultan.
n.
Perwakilan
Sistem di mana posisi eksekutig,
legislatif, dan yudikatif dapat dipilih melalui suara rakyat. Dalam banyak hal,
perwakilan langsung digunakan untuk tujuan legislatif saja. Di Indonesia dan
Amerika Serikat ada pengecualian, yaitu prinsip yang sama diterapkan pula untuk
posisi eksekutif dan yudikatif: presiden adalah perwakilan langsung
rakyat.
o.
Republik
Sistem yang didasarkan pada konsep
bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, yang mendelegasikan kekuasaan untuk
memimpin atas nama rakyat, untuk memiliki perwakilan dan pejabat negara.
p.
Sosialisme
Sistem yang menuntut kepemilikan
negara dan kontrol sarana produksi yang menguasai hajat hidup dan pemerataan kemakmuran.
Sistem ini secara spesifik dicirikan oleh nasionalisasi sumber daya alam,
industri besar, fasilitas perbankan dan kredir, serta hak milik
publik;nasionalisasi cabang industri yang dimonopoli melihat monopoli sebagai
sesuatu yang bertentangan dengan kemakmuran rakyat.
q.
Teokrasi
Sistem politik sebuah negara di mana
Tuhan dianggap sebagai satu-satunya kedaulatan dan hukum kerajaan dipandang
sebagai perintah Tuhan. Dapat juga dikembangkan bahwa teokrasi adalah sebuah
negara, di mana kontrol berada di tangan para imam agama.
r.
Pemerintahan dunia
Konsep organisasi politik global
terpusat dan merupakan aturan hukum bersama yang menciptakan tatanan
internasional dan mendorong perdamaian.
BAB 6
UUD 1945 DAN KONSTITUSIONALISME
UUD
1945 adalah hukum dasar tertulis yang mengikat pemerintah, lembaga-lembaga
negara, lembaga masyarakat, dan juga mengikat setiap warga negara Indonesia
dimanapun mereka berada dan juga mengikat setiap penduduk yang berada di
wilayah Negara Republik Indonesia.
A.
Pengertian,
Funngsi, dan Kedudukan UUD 1945
1.
Pengertian
UUD 1945
Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang
Dasar 1945 angka I dinyatakan bahwa: “ Undang-undang Dasar suatu negara ialah
hanya sebagian dari hukumnya dasar Negara itu. Undang-undang Dasar ialah hukum
dasar yang tertulis, sedang disampingnya Undang-undang dasar itu berlaku juga
hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan
terpelihara dalam praktek penyelenggaraan Negara meskipun tidak tertulis, ialah
aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan
Negara meskipun tidak tertulis”. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan,
pengertian kata Undang-Undang Dasar menurut UUD 1945, mempunyai pengertian yang
lebih sempit daripada pengertian hukum dasar, Karena yang dimaksud
Undang-undang Dasar adalah hukum dasar yang tertulis, sedangkan pengertiann
hukum dasar mencakup juga hukum dasar yang tidak tertulis.
Di
samping istilah undang-undang dasar, dipergunakan juga istilah lain yaitu
Konstitusi. Istilah konstitusi berasal dari bahasa inggris constitution atau
dari bahasa Belanda Constitutie. Kata konstitusi mempunyai pengertian yang
lebih luas dari Undang-undang dasar karena pengertian Undang-undang Dasar hanya
meliputi konstitusi yang tertulis saja, selain itu masih terdapat konstitusi
yang tidak tertulis, yang tidak tercakup dalam pengertian Undang-undang Dasar.
Selain hukum dasar yang tertulis yaitu UUD masih terdapat lagi hukum dasar yang
tidak tertulis, tetapi berlaku dan dipatuhi oleh para pendukungnya, yaitu yang
lazim disebut konvensi, yang berasal dari bahasa Inggris convention, yang dalam
peristilahan ketatanegaraan disebut kebiasaan-kebiasaan ketatanegaraan.
Misalnya , kebiasaan yang dilakukan oleh Presiden RI, setiap tanggal 16 agustus
melakukan pidato kenegaraan di muka Sidang Paripurna DPR. Pada tahun 1945
hingga tahun 1949, karena adanya maklumat pemerintah tertanggal 14 November
1945, yang telah mengubah system pemerintahan dari cabinet presidensial ke
cabinet parlementer. Tetapi apabila keadaan Negara bahaya atau genting, cabinet
beruah menjadi presidensiil, dan sewaktu-waktu keadaan Negara menjadi aman
kebinet berubeh kembali menjadi parlementer lagi. Terhadap tindakan-tindakan
tersebut tidak ada peraturan yang tegas secara tertulis, pendapat umum
cenderung melakukannya,, apabila tidak dilaksanakan, dianggap tidak benar.
Undang-Undang
Dasar 1945 adalah keseluruhan naskah yang terdiri dari Pembukaan dan
Pasal-Pasal (Pasal II Aturan Tambahan). Pembukaan terdiri atas 4 Alinea, yang
di dalam Alinea keempat terdapat rumusan dari Pancasila, dan Pasal-Pasal
Undang-Undang Dasar 1945 terdiri dari 20 Bab (Bab I sampai dengan Bab XVI) dan
72 Pasal (Pasal 1 sampai dengan pasal 37), ditambah dengan 3 Pasal Aturan
Peralihan dan 2 pasal Aturan Tambahan. Bab IV tentang DPA dihapus, dalam
amandemen keempat penjelasan tidak lagi merupakan kesatuan UUD 1945. Pembukaan
dan Pasal-pasal UUD 1945 merupakan satu kebulatan yang utuh, dengan kata lain
merupakan bagian-bagian yang satu sama lainnya tidak dapat dipisahkan.
2.
Motivasi
Adanya UUD 1945
Motivasi yang menjasi latar belakang
pembuatan UUD bagi negara yang satu berbeda dengan negara yang lain; hal ini
dapat disebabkan karena beberapa hal, antara lain, sejarah yang dialami oleh
bangsa yang bersangkutan, cara memperoleh kemerdekaan bangsanya, situasi dan
kondisi pada saat menjelang kemerdekaan bangsanya, dan lain sebagainya.
Menurut pendapat Bryce, hal-hal yang menjadi alas
an sehingga suatu negara memilliki UUD, terdpat beberapa macam, sebagai berikut
:
1.
adanya kehendak para warganegara yang
bersangkutan agar tejamin hak-haknya, dan bertujuan untuk mengatasi
tindakan-tindakan para penguasa negara tersebut,
2.
adanya kehendak dari penguasa negara
dan atau rakyatnya untuk menjamin agar terdapat pola atau system tertentu atas
pemerintah negaranya,
3.
adanya kehendak para pembentuk
negara baru tersebut agar terdapat kepastian tentang cara penyelenggaraan
ketatanegaraannya,
4.
adanya kehendak dari beberapa negara
semula masing-masing berdiri sendiri, untuk menjalin kerjasama.
Berdasarkan pendapat Bryce tersebut
di atas, motivasi adanya UUD Negara Republik Indonesia, yang sekarang lebih
dikenal UUD 1945 adalah adanya kehendak para Pembentuk Negara Kesatuan Republik
Indonesia sesaat setelah Proklamasi Kemerdekaan RI , tepatnya pada tanggal 18
agustus 1945. Hal ini ditujukan agar terjamin penyelenggaraan Ketatanegaraan
NKRI secara pasti (adanya kepastiaan hukum), seperti menurut pendapat Bryce
pada nomer 3 tersebut di atas, sehingga stabilitas nasional dapat terwujud.
Terwujudnya ketatanegaraan yang pasti dan stabilitas nasional memberi makna
bahwa system politik tertentu dapat dipertahankan, yaitu system politik menurut
UUD 1945.
Suatu system politik, pada umumnya
harus mempunyai kemempuan memenuhi lima fungsi utama, yaitu:
·
mempetahankan pola,
·
pengaturan dan penyelesaian
ketegangan atau konflik,
·
penyesuaian,
·
pencapaian tujuan, dan
·
integrasi.
Dalam hal ini, system politik yang
dianut oleh UUD 1945 dalam penyelenggaraan Pemerintahan Negara RI adalah
merupakan suatu pola pemerintahan tertentu, dan apabila penyelenggaraan
Pemerintahan Negara RI, tetap dilaksanakan berdasarkan UUD 1945, maka berarti
system politik negara RI mempunyai kemampuan berfungsi mempertahankan pola
tertentu, yaitu pola penyelenggaraan Pemerintahan Negara RI seperti ditentukan
oleh UUD 1945.
3.
Kedudukan
UUD 1945
Sebagai hukum dasar, UUD 1945
merupakan sumber hukum tertinggi dari keseluruhan produk hukum di Indonesia.
Produk-produk hukum seperti undang-undang, peraturan pemerintah, atau peraturan
presiden, dan lain-lainnya, bahkan setiap tindakan atau kebijakan pemerintah
harus dilandasi dan bersumber pada peraturan yang lebih tinggi, yang pada
akhirnya harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan UUD 1945.
Tata urutan peraturan perundang-undangan pertama kali diatur dalam
Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, yang kemudian diperbaharui dengan Ketetapan
MPR No. III/MPR/2000, dan terakhir diatur dengan Undang-undang No.10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dimana dalam Pasal 7 diatur
mengenai jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan yaitu adalah sebagai
berikut :
1.
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945,
2.
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang,
3.
Peraturan Pemerintah,
4.
Peraturan Presiden,
5.
Peraturan Daerah. Peraturan Daerah meliputi
:
·
Peraturan Daerah Provinsi dibuat
oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama dengan Gubernur;
·
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota bersama
Bupati/Walikota;
·
Peraturan Desa/peraturan yang
setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan
kepala desa atau nama lainnya.
Undang-Undang
Dasar bukanlah satu-satunya atau keseluruhan hokum dasar, melainkan hanya
merupakan sebagian dari hukum dasar, masih ada hukum dasar yang lain, yaitu
hukum dasar yang tidak tertulis. Hukum dasar yang tidak tertulis tersebut
merupakan aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek
penyelenggaraan negara -meskipun tidak tertulis – yaitu yang biasa dikenal
dengan nama ‘Konvensi’. Konvensi merupakan aturan pelengkap atau pengisi
kekosongan hukum yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan
ketatanegaaan, dimana Konvensi tidak terdapat dalam UUD 1945 dan tidak boleh
bertentangan dengan UUD 1945.
4.
Sifat UUD
1945
Undang-undang dasar hanya memuat 37
Pasal. Pasal-pasal lain hanya memuat peralihan dan tambahan. Maka rencana ini
sangat singkat jika dibandingkan dengan undang-undang dasar Pilipina. Maka
telah cukup jika Undang-undang Dasar hanya memuat aturan-aturan pokok, hanya
memuat garis-garis besar sebagai instruksi kepada pemerintah pusat dan
penyelenggara negara lainnya untuk menyelenggarakan kehidupan bernegara. Hukum
dasar yang tertulis hanya memuat aturan-aturan pokok, sedangkan aturan-aturan
yang menyelenggarakan aturan pokok itu diserahkan kepeda undang-undang yang
lebih mudah caranya membuat, merubah dan mencabut. Perlu senantiasa diingat
dinamika kehidupan masyarakat dan negara Indonesia. Masyarakat dan negara
Indonesia tumbuh, jaman berubah, oleh karena itu dinamika kehidupan masyarakat
dan negara tidak bisa dihentikan. Berhubungan dengan hal ini, tidak bijak jika
tergesa-gesa memberi kristalisasi, meberi bentuk (Gestaltung) kepada
pikiran-pikiran yang mudah berubah. Sifat aturan yang tertulis itu mengikat. Oleh
karena itu maakin supel (elastis) sifat aturan tersebut akan semakin baik. Jadi
kita harus menjaga supaya system Undang-Undang Dasar tidak ketinggalan jaman.
Jangan sampai kita membuat Undang-undang yang mudah tidak sesuai dengan keadaan
(verouderd).
Sifat-sifat Undang-Undang Dasar 1945
adalah sebagai berikut :
·
Oleh karena sifatnya tertulis, maka
rumusannya jelas, merupakan suatu hukum yang mengikat pemerintah sebagai
penyelenggara negara, maupun mengikat bagi setiap warga negara.
·
Sebagaimana tersebut dalam
penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, bahwa UUD 1945 bersifat singkat dan supel,
memuat aturan-aturan yaitu memuat aturan-aturan pokok yang setiap kali harus
dikembangkan sesuai dengan perkembangan jaman,serta memuat hak-hak asasi
manusia.
·
Memuat norma-norma, aturan-aturan,
serta ketentuan-ketentuan yang dapat dan harus dilaksanakan secara
konstitusional.
·
Undang-Undang Dasar 1945,dalam
tertib hukum Indonesia,merupakan peraturan hukum positif yang tertinggi.
Disamping itu, juga sebagai alat kontrol terhadap norma-norma hukum positif
yang lebih rendah dalam hierarki tertib hukum Indonesia.
5.
Fungsi
UUD 1945
Setiap sesuatu dibuat dengan
memiliki sejumlah fungsi. Demikian juga halnya dengan UUD 1945. Telah
dijelaskan bahwa UUD 1945 adalah hukum dasar tertulis yang mengikat pemerintah,
lembaga-lembaga negara, lembaga masyarakat, dan juga mengikat setiap warga
negara Indonesia dimanapun mereka berada dan juga mengikat setiap penduduk yang
berada di wilayah Negara Republik Indonesia.
Sebagai hukum dasar, UUD 1945 berisi
norma-norma dan aturan-aturan yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh semua
komponen tersebut di atas. Undang-undang Dasar bukanlah hukum biasa, melainkan
hukum dasar, yaitu hukum dasar yang tertulis. Sebagai hukum dasar, UUD 1945
merupakan sumber hukum tertulis. Dengan demikian setiap produk hukum
sepertiundang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, ataupun bahkan
setiap tindakan atau kebijakan pemerintah haruslah berlandaskan dan bersumber
pada peraturan yang lebih tinggi, yang pada akhirnya kesemuanya peraturan
perundang-undangan tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan
ketentuan UUD 1945, dan muaranya adalah Pancasila sebagai sumber dari segala
sumber hukum negara (Pasal 2 UU No. 10 Tahun 2004).
Dalam kedudukan yang demikian itu,
UUD 1945 dalam kerangka tata urutan perundangan atau hierarki peraturan
perundangan di Indonesia menempati kedudukan yang tertinggi. Dalam hubungan
ini, UUD 1945 juga mempunyai fungsi sebagai alat kontrol, dalam pengertian UUD
1945 mengontrol apakah norma hukum yang lebih rendah sesuai atau tidak dengan
norma hukum yang lebih tinggi. UUD 1945 juga berperan sebagai pengatur
bagaimana kekuasaan negara disusun, dibagi, dan dilaksanakan. Selain itu UUD
1945 juga berfungsi sebagai penentu hak dan kewajiban negara, aparat negara,
dan warga negara.
6.
Makna UUD
1945
Pokok-pokok Pikiran dalam Pembukaan
UUD 1945 yaitu :
1.
Negara melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan
dengan mewujudkan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Menurut
pengertian ini, difahami negara kesatuan, meliputi segenap bangsa Indonesia dan
seluruhnya,. Jadi negara mengatasi segala paham golongan dan perseorangan.
Negara menghendaki persatuan, meliputi segenap bangsa Indonesia seluruhnya.
2.
Negara hendak mewujudkan keadilan
social bagi seluruh rakyat.
3.
Negara yang berkedaulatan rakyat
berdasar atars kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan. Oleh karena itu
system negara yang terbentuk dalam undang-undang dasar harus berdasar atas
kedaulatan rakyat dan berdasar atas permusyawaratan perwakilan. Hal ini sesuai
dengan sifat masyarakat Indonesia.
4.
Negara berdasar atas ke-Tuhanan yang
Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
Oleh karena itu, UUD harus
mengandung isi yang mewajibkan Pemerintah dan Penyelenggara negara untuk
memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita
moral rakyat yang luhur. Pokok-pokok pikiran tersebut meliputi suasana
kebatinan dari UUD negara Indonesia. Pokok-pokok pikiran ini mewujudkan
cita-cita hukum (Rechtidee) yang menguasai hukum dasar Negara baik hukum yang
tertulis (UUD) maupun hukum yang tidak tertulis. Undang-undang Dasar
menciptakan pokok pikiran ini dalam Pasal-Pasalnya.
B.
Konstitusionalisme
1. Pengertian konstitusionalisme
Konstitusionalisme
adalah suatu sistem yang terlembagakan, menyangkut pembatasan yang efektif dan
teratur terhadap tindakan-tindakan pemerintah. Gagasan mengatur dan membatasi
kekuasaan ini secara alamiah muncul karena adanya kebutuhan untuk merespon
perkembangan peran relative kekuasaan umum dalam kehidupan umat manusia.
Konstitusionalisme sebenarnya merupakan antitesis dari paham sentralisasi yang
dulu marak berkembang di eropa pada abad pertenahan. Raja atau penguasa sebagai
inti kekuasaan memerintah dengan tangan besi, sewenang-wenang. Perkembangan
sentralisme ini mengambil bentuknya dalam doktrin ‘king-in-parliament’ yang
pada pokoknya mencerminkan kekuasaan raja yang tidak terbatas. Perkembangan ini
pada akhirnya menimbulkan kekecewaan dan ketidakpuasan di mata rakyat yang
kemudian menginginkan reformasi konsep kekuasaan penguasa. Dari sinilah
kemudian lahir istilah pembatasan kekuasaan yang dikenal dengan istilah
konstitusionalisme. Sehingga tidak heran jika kemudian konstitusionalisme
dianggap sebagai sebuah keniscayaan di zaman modern seperti sekarang.
Basis
pokoknya adalah kesepakatan umum atau persetujuan (consensus)
di antara mayoritas rakyat mengenai bangunan yang
diidealkan berkenaan dengan negara. Organisasi negara
itu diperlukan oleh warga masyarakat politik agar kepentingan mereka bersama
dapat dilindungi atau dipromosikan melalui pembentukan dan penggunaan mekanisme
yang disebut negara. Kata kuncinya adalah konsensus atau ‘general agreement’.
Jika kesepakatan umum itu runtuh, maka runtuh pula
legitimasi kekuasaan negara yang bersangkutan, dan pada gilirannya perang
saudara dapat terjadi. Konsensus
yang menjamin tegaknya konstitusionalisme di zaman modern
pada umumnya dipahami bersandar pada tiga elemen:
·
Kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama (the
general goals of society or general acceptance of the same philosophy of
government). Ini berkenaan dengan cita-cita bersama yang sangat menentukan
tegaknya konstitusi dan konstitusionalisme di suatu Negara. Karena cita-cita
bersama itulah yang pada puncak abstraksinya paling mungkin mencerminkan
kesamaan-kesamaan kepentingan di antara sesame warga masyarakat yang pada
kenyataannya harus hidup di tengah pluralisme atau kemajemukan.
·
Kesepakatan tentang ‘the rule of law’ sebagai landasan
pemerintahan atau penyelenggaraan negara (the basis of government). Bahwa
basisi pemerintahan didasarkan atas aturan hokum dan konstitusi. Kesepakatan ke
dua ini juga sangat prinsipal karena dalam setiap Negara harus ada keyakinan
bersama bahwa apapun yang hendak dilakukan dalam konteks penyelenggaraan Negara
haruslah di dasarkan atas ‘ruke of the game’ yang ditentukan bersama.
·
Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan
prosedur-prosedur ketatanegaraan (the form of institutions and procedures).
Kesepakatan ini berkenaan dengan:
a.
Bangunan organ Negara dan prosedur-prosedur yang mengatur
kekuasaannya.
b.
Hubungan-hubungan antar organ Negara itu dengan sama
lain.
c.
Hubungan antar organ-organ itu dengan warga Negara.
Dengan
adanya kesepakatan itu, maka isi konstitusu dapat dirumuskan dengan mudah
karena benar-benar mencerminkan keinginan bersama berkenaan dengan institusi
kenegaraaan dan mekanisme ketatanegaraan yang hendak dikembangkan dalam
kerangka kehidupan Negara berkonstitusi.
Keseluruhan kesepakatan tersebut di atas,
pada intinya menyangkut prinsip pengaturan dan pembatasan
kekuasaan. Konstitusionalisme mengatur dua hubungan yang saling berkaitan satu
sama lain, yaitu: Pertama, hubungan antara pemerintah dan warga Negara; dan
Kedua: hubungan antara lembaga pemerintahan yang satu dengan lembaga
pemerintahan yang lain. Karena itu, biasanya isi konstitusi dimaksudkan untuk
mengatur mengenai tigal hal yang penting, yaitu:
a.
Menentukan pembatasan kekuasaan organ-organ Negara.
b.
Mengatur hubungan antara lembaga-lembaga Negara yang satu
dengan yang lain.
c.
Mengatur hubungan kekuasaan antara lembaga-lembaga Negara
dengan warga Negara
2. Pembagian
Konstitusi dan Kedudukan Konstitusi
Konstitusi memiliki beberapa klasifikasi
dalam bebrapa persepektif sebagai berikut:
1. Berdasarkan adanya dokumentasi kontitusi
terbagi menjadi kontitusi tertulis dan tidak tertulis. Sebagamana namanya
kontitusi tertulis adalah kontitusi yang tertuliskan dan terdokumentasikan
dalam betuk tertulis. Menrut amos j.teaslee dalam bukunya kontitution of nation
hampir semua negara di dunia mempunyai kontitusi terulis. Hanya Inggris dan
Kanada yang tidak mempunyai kontitusi tertulis. Adapun konstitusi tertulis itu
seperti halnya hukum tidak tertulis yang berdasarkan atas adat kebiasaan.
2. Berdasarkan sifat kontitusi,K.C. Wheare,
seorang ahli hukum kontitusi inggris,membagi konstitusi menjadi dua, yaitu
kontitiusi riged(kaku) dan kontitusi yang flexibel. Konstitusi yang rigid
adalah kontitusi yang bisa diamandemenkan, tetapi harus melalui proses khusus.
Kekususan proses amandemen ini dimaksudkan agar tidak terlalau mudah
dilakakukan sehinggan kontitusi tidak mudah berubah. Adapun kontitusi flexibel
adalah kontitusi yang dapat diamandemen tanpa melalui proses khusus. Dengan
mudahnya proses yang dilaakukan untuk mengubah kontitiusi, rakyat dapat
mengusulkan amandemen kontitusi saat mereka menenmukan hal tidak sesuai dengan
kontitusi tersebut.
3. Berdasarkan subyek yang berhak
mengamandemenkan kontitusi, K.C. Wheare membagi kontitusi menjadi dua. Pertama,
kontitusi yang kompreme terhadap legislatif, yaitu tidak dapat diamandemen oleh
badan legislatif. Kedua konstitusi yang tidak supreme terhadap legislatif,
yaitu kontitusi yang dapat diubah oleh lembaga legislatif.
4. Berdasarkan proses pendistribusuan
kekuasaan pemerintah, K.C. Wheara membagi konstitusi menjadi dua yaitu
konstitusi kesatuan adalah kekuasaan legislatif pusat dalam mengatur legislatif
di bawahnya dan konstitusi federal adalah kekuasaan pemerintah dibagi antara
pemerintah untuk seluruh negara dan pemerintah untuk negara negara bagian.
BAB
7
HAK
ASASI MANUSIA dan HAK KONSTITUSIONAL
A. Hak
Asasi Manusia
Hak
asasi manusia atau
disingkat “HAM” merupakan hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia yang
didapatkan sejak lahir dimana secara kodrati ham sudah melekat dalam diri
manusia dan tak ada satupun orang yang berhak mengganggu gugat karena ham
bagian dari anugrah tuhan, itulah keyakinan yang dimiliki oleh manusia yang
sadar bahwa kita semua makhluk ciptaan tuhan yang memiliki derajat yang sama
dengan manusia yang lainnya sehingga mesti berhak bebas dan memiliki martabat
serta hak-hak secara sama. Mulai lahir, manusia telah mempunyai hak
asasi yang mesti dijunjung tinggi dan diakui semua orang. Hak tersebut lebih
penting dari hak seorang penguasa atau kepala suku. Hak asasi berasal dibanding
tuhan yang maha tunggal, diberikan kepada manusia. Bakal tetapi, hak asasi acap
kali dilanggar manusia bakal mempertahankan hak pribadinya.
Hak asasi manusia (ham) mucul dari
keyakinan manusia itu sendiri bahwasanya semua manusia selaku makhluk rakitan
tuhan adalah sama serta sederajat. Manusia dilahirkan lepas dan memiliki
martabat juga hak-hak yang sama. Bagi dasar itulah manusia mesti diperlakukan
secara sama setimpal dan beradab. Ham bersifat universal, artinya berlaku bakal
semua manusia tanpa mebeda-bedakannya berdasarkan atas ras, keyakinan, suku dan
bangsa (etnis).
Berbicara tentang hak asasi manusia
(ham), cakupannya sangatlah luas, baik ham yang bersifat individual
(perseorangan) maupun ham yang bersifat komunal atau kolektif (masyarakat).
Upaya penegakannya juga sudah berlangsung berabad-abad, walaupun di berbagai
belahan dunia termasuk indonesia, secara eksplisit baru terlihat sejak
berakhirnya perang dunia ii, dan semakin intensif sejak akhir abad ke-20. Sudah
banyak juga dokumen yang dihasilkan tentang hal itu, yang dari waktu ke waktu
terus bertambah. Khusus dalam kehidupan kita berbangsa, sejak beberapa dasawarsa
terakhir ini terlihat perkembangan yang cukup menggembirakan sehubungan dengan
upaya penegakan dan pemenuhan ham ini. Misalnya kita melihat terbentuknya
sejumlah komisi nasional ham; ada yang bersifat umum atau menyeluruh (yaitu
komnas ham), dan ada juga yang bersifat khusus, misalnya untuk perempuan
(komnas perempuan) dan untuk anak (komnas anak). Di bidang perundang-undangan,
perkembangan terakhir yang patut dicatat antara lain adalah hasil amandemen
ke-4 uud 1945 pada tahun 2002, yang antara lain membuat ditambahkannya satu bab
khusus tentang ham (yaitu bab xa, yang terdiri dari 10 pasal, yaitu pasal 28 a
-28 j. Bab dan pasal-pasal ini banyak menyerap (mengadopsi dan meratifikasi )
isi the universal declaration of human rights maupun dokumen-dokumen ham
lainnya yang disusun dan disepakati secara internasional.
1.
Ciri
Khusus Hak Asasi Manusia
Hak asasi
manusia atau ham mempunya beberapa ciri-ciri khusus jika dibandingkan dengan
hak-hak yang lainnya. Berikut ciri khusus hak asasi manusia.
1.
Tidak
dapat dicabut, ham tidak dapat dihilangkan atau diserahkan.
2.
Tidak
dapat dibagi, semua orang berhak untuk mendapatkan semua hak, baik itu hak
sipil, politik, hak ekonomi, sosial, dan budaya.
3.
Hakiki,
ham merupakan hak asasi semua manusia yang sudah pada saat manusia itu lahir.
4.
Universal,
ham berlaku bagi semua orang tanpa memandang status, suku, jenis kelamin, atau
perbedaan yang lainnya. Persamaan merupakan salah satu dari berbagai ide hak
asasi
2. Sejarah Lahirnya Ham
a. Piagam Madinah (Mekah).
Piagam
madinah (bahasa
arab: صحیفة المدینه, shahifatul
madinah) juga dikenal dengan sebutan konstitusi madinah, ialah sebuah dokumen yang disusun
oleh nabi muhammad saw, yang merupakan suatu perjanjian formal antara
dirinya dengan semua suku-suku dan kaum-kaum penting di yathrib (kemudian
bernama madinah) pada tahun 622 masehi. Dokumen tersebut disusun
sejelas-jelasnya dengan tujuan utama untuk menghentikan pertentangan sengit
antara bani ‘aus dan bani khazraj di madinah. Untuk itu
dokumen tersebut menetapkan sejumlah hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi
kaum muslim, kaum yahudi, dan komunitas penyembah berhala di madinah;
sehingga membuat mereka menjadi suatu kesatuan komunitas, yang dalam bahasa
arab disebut ummah. Piagam madinah terdiri dari 47 pasal yang
terdiri dari hal mukaddimah,dilanjutkan oleh hal-hal seputar pembentukan umat,
persatuan seagama, persatuan segenap warga negara, golongan minoritas, tugas
warga negara, perlindungan negara, pimpinan negara, politik perdamaian dan
penutup. Disinilah kita bisa melihat peran dan fungsi muhammad sebagai seorang
negarawan sekaligus seorang pemimpin negara yang besar dan berkualitas
sepanjang sejarah peradaban manusia, disamping posisi beliau selaku seorang
nabi dan rasul secara keagamaan.
b. Hak
Asasi Manusia di Yunani
Filosof yunani, seperti socrates
(470-399 sm) dan plato (428-348 sm) meletakkan dasar bagi perlindungan dan
jaminan diakuinya hak – hak asasi manusia. Konsepsinya menganjurkan masyarakat
untuk melakukan sosial kontrol kepada penguasa yang zalim dan tidak mengakui
nilai – nilai keadilan dan kebenaran. Aristoteles (348-322 sm) mengajarkan
pemerintah harus mendasarkan kekuasaannya pada kemauan dan kehendak warga
negaranya.
c. Hak
Asasi Manusia di Inggris
Inggris sering disebut–sebut sebagai
negara pertama di dunia yang memperjuangkan hak asasi manusia. Tonggak pertama
bagi kemenangan hak-hak asasi terjadi di inggris. Perjuangan
tersebut tampak dengan adanya berbagai dokumen kenegaraan yang berhasil
disusun dan disahkan. Dokumen-dokumen tersebut adalah sebagai berikut :
Magna Charta
Pada awal abad xii raja richard yang
dikenal adil dan bijaksana telah diganti oleh raja john lackland yang bertindak
sewenang–wenang terhadap rakyat dan para bangsawan. Tindakan sewenang-wenang
raja john tersebut mengakibatkan rasa tidak puas dari para bangsawan yang
akhirnya berhasil mengajak raja john untuk membuat suatu perjanjian yang
disebut magna charta atau piagam agung.
Magna charta dicetuskan pada 15 juni
1215 yang prinsip dasarnya memuat pembatasan kekuasaan raja dan hak asasi
manusia lebih penting daripada kedaulatan raja. Tak seorang pun dari warga
negara merdeka dapat ditahan atau dirampas harta kekayaannya atau diasingkan
atau dengan cara apapun dirampas hak-haknya, kecuali berdasarkan pertimbangan
hukum. Piagam magna charta itu menandakan kemenangan telah diraih sebab hak-hak
tertentu yang prinsip telah diakui dan dijamin oleh pemerintah. Piagam tersebut
menjadi lambang munculnya perlindungan terhadap hak-hak asasi karena ia
mengajarkan bahwa hukum dan undang-undang derajatnya lebih tinggi daripada
kekuasaan raja.
Isi magna
charta adalah sebagai berikut :
Ø raja beserta keturunannya berjanji akan menghormati
kemerdekaan, hak, dan kebebasan gereja inggris.
Ø raja berjanji kepada penduduk kerajaan yang bebas untuk
memberikan hak-hak sebagi berikut :
·
para petugas
keamanan dan pemungut pajak akan menghormati hak-hak penduduk.
·
polisi ataupun
jaksa tidak dapat menuntut seseorang tanpa bukti dan saksi yang sah.
·
seseorang yang bukan budak tidak
akan ditahan, ditangkap, dinyatakan bersalah tanpa perlindungan negara dan
tanpa alasan hukum sebagai dasar tindakannya.
·
apabila seseorang tanpa perlindungan
hukum sudah terlanjur ditahan, raja berjanji akan mengoreksi kesalahannya.
Petition Of Rights
Pada
dasarnya petition of rights berisi pertanyaan-pertanyaan mengenai hak-hak
rakyat beserta jaminannya. Petisi ini diajukan oleh para bangsawan kepada raja
di depan parlemen pada tahun 1628. Isinya secara garis besar menuntut hak-hak
sebagai berikut :
Ø pajak dan pungutan istimewa harus disertai persetujuan.
Ø warga
negara tidak boleh dipaksakan menerima tentara di rumahnya.
Ø tentara tidak boleh menggunakan hukum perang dalam
keadaan damai.
Hobeas Corpus Act
Hobeas corpus act adalah undang-
undang yang mengatur tentang penahanan seseorang dibuat pada tahun 1679. Isinya
adalah sebagai berikut :
Ø seseorang yang ditahan segera diperiksa dalam waktu 2
hari setelah penahanan.
Ø alasan
penahanan seseorang harus disertai bukti yang sah menurut hukum.
Bill Of Rights
Bill of rights merupakan
undang-undang yang dicetuskan tahun 1689 dan diterima parlemen
inggris, yang isinya mengatur tentang :
Ø kebebasan dalam pemilihan anggota parlemen.
Ø kebebasan berbicara dan mengeluarkan pendapat.
Ø pajak, undang-undang dan pembentukan tentara tetap harus
seizin parlemen.
Ø hak
warga negara untuk memeluk agama menurut kepercayaan masing-masing .
Ø parlemen
berhak untuk mengubah keputusan raja.
d.
Hak Asasi Manusia Di Amerika Serikat
Pemikiran filsuf john locke
(1632-1704) yang merumuskan hak-hak alam,seperti hak atas hidup, kebebasan, dan
milik (life, liberty, and property) mengilhami sekaligus menjadi pegangan bagi
rakyat amerika sewaktu memberontak melawan penguasa inggris pada tahun 1776.
Pemikiran john locke mengenai hak – hak dasar ini terlihat jelas dalam
deklarasi kemerdekaan amerika serikat yang dikenal dengan declaration of
independence of the united states.
Revolusi amerika dengan declaration
of independence-nya tanggal 4 juli 1776, suatu deklarasi kemerdekaan yang
diumumkan secara aklamasi oleh 13 negara bagian, merupakan pula piagam hak –
hak asasi manusia karena mengandung pernyataan “bahwa sesungguhnya semua bangsa
diciptakan sama derajat oleh maha pencipta. Bahwa semua manusia dianugerahi
oleh penciptanya hak hidup, kemerdekaan, dan kebebasan untuk menikmati
kebhagiaan. John locke menggambarkan keadaan status naturalis,
ketika manusia telah memiliki hak-hak dasar secara perorangan. Dalam keadaan
bersama-sama, hidup lebih maju seperti yang disebut dengan status
civilis, locke berpendapat bahwa manusia yang berkedudukan sebagai
warga negara hak-hak dasarnya dilindungi oleh negara.
Declaration of
independence di amerika serikat menempatkan amerika sebagai negara yang memberi
perlindungan dan jaminan hak-hak asasi manusia dalam konstitusinya, kendatipun
secara resmi rakyat perancis sudah lebih dulu memulainya sejak masa rousseau.
Kesemuanya atas jasa presiden thomas jefferson presiden amerika serikat lainnya
yang terkenal sebagai “pendekar” hak asasi manusia adalah abraham lincoln,
kemudian woodrow wilson dan jimmy carter.
Amanat presiden
flanklin d. Roosevelt tentang “empat kebebasan” yang diucapkannya di depan
kongres amerika serikat tanggal 6 januari 1941 yakni :
Ø kebebasan
untuk berbicara dan melahirkan pikiran (freedom of speech and expression).
Ø kebebasan
memilih agama sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya (freedom of religion).
Ø kebebasan
dari rasa takut (freedom from fear).
Ø kebebasan
dari kekurangan dan kelaparan (freedom from want).
Kebebasan- kebebasan tersebut
dimaksudkan sebagai kebalikan dari kekejaman dan penindasan melawan fasisme di
bawah totalitarisme hitler (jerman), jepang, dan italia. Kebebasan – kebebasan
tersebut juga merupakan hak (kebebasan) bagi umat manusia untuk mencapai
perdamaian dan kemerdekaan yang abadi. Empat kebebasan roosevelt ini pada
hakikatnya merupakan tiang penyangga hak-hak asasi manusia yang paling pokok
dan mendasar.
e.
Hak Asasi Manusia Di Prancis
Perjuangan hak asasi manusia di
prancis dirumuskan dalam suatu naskah pada awal revolusi prancis. Perjuangan
itu dilakukan untuk melawan kesewenang-wenangan rezim lama. Naskah tersebut
dikenal dengan declaration des droits de l’homme et du citoyen yaitu pernyataan
mengenai hak-hak manusia dan warga negara. Pernyataan yang dicetuskan pada
tahun 1789 ini mencanangkan hak atas kebebasan, kesamaan, dan persaudaraan atau
kesetiakawanan (liberte, egalite, fraternite).
Lafayette merupakan pelopor
penegakan hak asasi manusia masyarakat prancis yang berada di amerika ketika
revolusi amerika meletus dan mengakibatkan tersusunnya declaration des droits
de i’homme et du citoyen. Kemudian di tahun 1791, semua hak-hak asasi manusia
dicantumkan seluruhnya di dalam konstitusi prancis yang kemudian ditambah dan
diperluas lagi pada tahun 1793 dan 1848. Juga dalam konstitusi tahun 1793 dan
1795. Revolusi ini diprakarsai pemikir – pemikir besar seperti : j.j. rousseau,
voltaire, serta montesquieu. Hak asasi yang tersimpul dalam deklarasi itu
antara lain :
1. manusia dilahirkan
merdeka dan tetap merdeka.
2. manusia mempunyai hak yang sama.
3. manusia merdeka berbuat sesuatu tanpa merugikan pihak
lain.
4. warga
negara mempunyai hak yang sama dan mempunyai kedudukan serta pekerjaan umum.
5. manusia tidak boleh dituduh dan ditangkap selain menurut
undang-undang.
6. manusia mempunai kemerdekaan agama dan kepercayaan.
7. manusia
merdeka mengeluarkan pikiran.
8. adanya
kemerdekaan surat kabar.
9. adanya kemerdekaan bersatu dan berapat.
10. adanya kemerdekaan berserikat dan berkumpul.
11. Adanya
kemerdekaan bekerja,berdagang, dan melaksanakan kerajinan.
12. adanya
kemerdekaan rumah tangga.
13. adanya
kemerdekaan hak milik.
14. adanya
kemedekaan lalu lintas.
15. adanya hak hidup dan mencari nafkah.
f.
Hak Asasi Manusia Oleh PBB
Setelah perang dunia kedua, mulai tahun
1946, disusunlah rancangan piagam hak-hak asasi manusia oleh organisasi kerja
sama untuk sosial ekonomi perserikatan bangsa-bangsa yang terdiri dari 18
anggota. Pbb membentuk komisi hak asasi manusia (commission of human
right). Sidangnya dimulai pada bulan januari 1947 di bawah
pimpinan ny. Eleanor rossevelt. Baru 2 tahun kemudian, tanggal 10 desember 1948
sidang umum pbb yang diselenggarakan di istana chaillot, paris menerima
baik hasil kerja panitia tersebut. Karya itu berupa universal declaration of
human rights atau pernyataan sedunia tentang hak – hak asasi manusia, yang
terdiri dari 30 pasal. Dari 58 negara yang terwakil dalam sidang umum tersebut,
48 negara menyatakan persetujuannya, 8 negara abstain, dan 2 negara lainnya
absen. Oleh karena itu, setiap tanggal 10 desember diperingati sebagai hari hak
asasi manusia.
Universal declaration of human
rights antara lain mencantumkan, bahwa setiap orang mempunyai hak :
Ø Hidup
Ø kemerdekaan
dan keamanan badan
Ø diakui
kepribadiannya
Ø memperoleh
pengakuan yang sama dengan orang lain menurut hukum untuk mendapat jaminan
hokum dalam perkara pidana, seperti diperiksa di muka umum, dianggap tidak
bersalah kecuali ada bukti yang sah
Ø masuk
dan keluar wilayah suatu Negara
Ø mendapatkan asylum
Ø mendapatkan
suatu kebangsaan
Ø mendapatkan
hak milik atas benda
Ø bebas
mengutarakan pikiran dan perasaan
Ø bebas
memeluk agama
Ø mengeluarkan
pendapat
Ø berapat
dan berkumpul
Ø mendapat
jaminan social
Ø mendapatkan
pekerjaan
Ø berdagang
Ø mendapatkan
pendidikan
Ø turut serta dalam gerakan kebudayaan dalam masyarakat
Ø menikmati kesenian dan turut serta dalam kemajuan
keilmuan
Majelis
umum memproklamirkan pernyataan sedunia tentang hak asasi manusia itu sebagai
tolak ukur umum hasil usaha sebagai rakyat dan bangsa dan menyerukan semua
anggota dan semua bangsa agar memajukan dan menjamin pengakuan dan pematuhan
hak-hak dan kebebasan- kebebasan yang termasuk dalam pernyataan tersebut.
Meskipun bukan merupakan perjanjian, namun semua anggota pbb secara moral
berkewajiban menerapkannya.
g.
Hak Asasi Manusia di Indonesia
Hak asasi manusia di indonesia
bersumber dan bermuara pada pancasila. Yang artinya hak asasi manusia mendapat
jaminan kuat dari falsafah bangsa, yakni pancasila. Bermuara pada pancasila
dimaksudkan bahwa pelaksanaan hak asasi manusia tersebut harus
memperhatikan garis-garis yang telah ditentukan dalam ketentuan falsafah
pancasila. Bagi bangsa indonesia, melaksanakan hak asasi manusia bukan berarti
melaksanakan dengan sebebas-bebasnya, melainkan harus memperhatikan
ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam pandangan hidup bangsa indonesia,
yaitu pancasila. Hal ini disebabkan pada dasarnya memang tidak ada hak yang
dapat dilaksanakan secara multak tanpa memperhatikan hak orang lain.
Setiap hak akan dibatasi oleh hak
orang lain. Jika dalam melaksanakan hak, kita tidak memperhatikan hak orang
lain,maka yang terjadi adalah benturan hak atau kepentingan dalam hidup
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
Negara republik indonesia mengakui
dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak
yang secara kodrati melekat dan tidak terpisah dari manusia yang harus
dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusisan,
kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.
Berbagai
instrumen hak asasi manusia yang dimiliki negara republik indonesia,yakni:
Ø undang
– undang dasar 1945.
Ø ketetapan
mpr nomor xvii/mpr/1998 tentang hak asasi manusia.
Ø undang
– undang nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia.
Di indonesia secara garis besar
disimpulkan, hak-hak asasi manusia itu dapat dibeda-bedakan menjadi sebagai
berikut :
Ø hak
– hak asasi pribadi (personal rights) yang meliputi kebebasan menyatakan
pendapat, kebebasan memeluk agama, dan kebebasan bergerak.
Ø hak
– hak asasi ekonomi (property rights) yang meliputi hak untuk memiliki sesuatu,
hak untuk membeli dan menjual serta memanfaatkannya.
Ø hak
– hak asasi politik (political rights) yaitu hak untuk ikut serta dalam
pemerintahan, hak pilih (dipilih dan memilih dalam pemilu) dan hak untuk
mendirikan partai politik.
Ø hak
asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan (
rights of legal equality).
Ø hak
– hak asasi sosial dan kebudayaan ( social and culture rights). Misalnya hak
untuk memilih pendidikan dan hak untukmengembangkan kebudayaan.
Ø hak asasi untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan
dan perlindungan (procedural rights). Misalnya peraturan dalam hal
penahanan, penangkapan, penggeledahan, dan peradilan.
Secara konkret untuk pertama kali
hak asasi manusia dituangkan dalam piagam hak asasi manusia sebagai lampiran
ketetapan permusyawarahan rakyat republik indonesia nomor xvii/mpr/1998.
B.
Hak
Konstitusional Warga Negara Indonesia
a.
Hak Atas Kewarganegaraan
·
Hak atas
status kewarganegaraan pasal 28d (4).
·
Hak atas
kesamaan kedudukan di dalam hokum dan pemerintahan pasal 27 (1), pasal 28d (1),
pasal 28d (3).
b.
Hak Atas Hidup
·
Hak untuk
hidup serta mempertahankan hidup dan kehidupannya. Pasal 28a, pasal 28i (1).
·
Hak atas
kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang pasal 28b (2).
c.
Hak Untuk Mengembangkan Diri.
·
Hak untuk
mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar, mendapat pendidikan, dan
memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya. Pasal
28c (1).
·
Hak atas
jaminan social memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia
yang bermartabat pasal 28h (3).
·
Hak untuk
berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan
lingkungan sosial pasal 28f.
·
Hak
mendapat pendidikan pasal 31 (1), pasal 28c (1).
d.
Hak Atas Kemerdekaan Pikiran & Kebebasan Memilih
·
Hak atas
kemerdekaan pikiran dan hati nurani pasal 28i (1).
·
Hak atas
kebebasan meyakini kepercayaan pasal 28e (2).
·
Hak untuk
bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya pasal 28e (1), pasal 29 (2).
·
Hak untuk bebas
memilih pendidikan dan pengajaran , pekerjaan, kewarganegaraan, tempat tinggal
pasal 28e (1).
·
Hak atas
kebebasan berserikat dan berkumpul pasal 28e (3).
·
Hak untuk
menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nurani pasal 28e (2).
e.
Hak Atas Informasi.
·
Hak untuk
berkomunikasi dan memperoleh informasi pasal 28f.
·
Hak untuk
mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi
dengan menggunakan segala jenis swaluran yang tersedia pasal 28f.
f.
Hak Atas Kerja & Penghidupan Layak.
·
Hak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan pasal 27 (2).
·
Hak untuk
bekerja dan mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan
kerja pasal 28d (2).
·
Hak untuk
tidak diperbudak pasal 28i (1).
g.
Hak Atas Kepemilikan & Perumahan.
·
Hak untuk
mempunyai hak milik pribadi pasal 28h (4).
·
Hak untuk
bertempat tinggal pasal 28h (1).
h.
Hak Atas Kesehatan & Lingkungan Sehat.
·
Hak untuk
hidup sejahtera lahir dan batin pasal 28h (1).
·
Hak untuk
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat pasal 28h (1).
·
Hak untuk
memperoleh pelayanan kesehatan pasal 28b (1).
i.
Hak Berkeluarga.
·
Hak untuk
membentuk keluarga pasal 28b (1).
j.
Hak Atas Kepastian Hukum & Keadialan.
·
Hak atas
pengakuan, jaminan dan perlindungan dan kepastian hokum yang adil pasal 28d
(1).
·
Hak atas
perlakuan yang sama di hadapan hukum pasal 28d (1), pasal 27 (1).
·
Hak untuk
diakui sebagai pribadi di hadapan hukum pasal 28 (1).
k.
Hak Bebas Dari Ancaman, Diskriminasi & Kekerasan.
·
Hak atas
rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi pasal 28g (1).
·
Hak untuk
bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia
pasal 28g (2).
·
Hak untuk
bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apapun pasal 28i (2).
·
Hak untuk
mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat
yang sama guna mencapai persamaan dan keadialan. Pasal 28h (2).
l.
Hak Atas Perlindungan.
·
Hak atas
perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang
di bawah kekuasaanya pasal 28g (1).
·
Hak untuk
mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif pasal
28i (2).
·
Hak atas
perlindungan identitas budaya dan hak masyarakat tradisional yang selaras
dengan perkembangan zaman dan peradaban pasal 28i (3).
·
Hak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi pasal 28b (2), pasal 28i (2).
·
Hak untuk
memperoleh suaka politik dari negara lain pasal 28g (2).
m. Hak Memperjuangkan Hak.
·
Hak untuk
memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif pasal 28c (2).
·
Hak atas
kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat pasal 28, pasal 28e
(3).
n.
Hak Atas Pemerintahan.
·
Hak untuk
memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan pasal 28d (3), pasal 27 (1).
BAB 8
PEMBAGIAN KEKUASAAN SECARA HORIZONTAL DAN VERTICAL
Dalam sebuah
praktek ketatanegaraan tidak jarang terjadi pemusatan kekuasaan pada satu
tangan, sehingga terjadi pengelolaan sistem pemerintahan yang dilakukan secara
absolut atau otoriter, sebut saja misalnya seperti dalam bentuk monarki dimana
kekuasaan berada ditangan seorang raja. Maka untuk menghindari hal tersebut
perlu adanya pembagian/pemisahan kekuasaan, sehingga terjadi kontrol dan
keseimbangan diantara lembaga pemegang kekuasaan.
A. Pengertian
Pembagian Kekuasaan.
Pembagian
kekuasaan terdiri dari dua kata, yaitu “pembagian” dan “kekuasaan”. Menurut
kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) pembagian memiliki pengertian proses
menceraikan menjadi beberapa bagian atau memecahkan (sesuatu) lalu memberikannya
kepada pihak lain. Sedangkan kekuasaan adalah wewenang atas sesuatu atau untuk
menentukan (memerintah, mewakili, mengurus, dsb) sesuatu. Sehingga secara
harfiah pembagian kekuasaan adalah proses menceraikan wewenang yang dimiliki
oleh Negara untuk (memerintah, mewakili, mengurus, dsb) menjadi beberapa bagian
(legislatif, eksekutif, dan yudikatif) untuk diberikan kepada beberapa lembaga
Negara untuk menghindari pemusatan kekuasaan (wewenang) pada satu pihak/
lembaga.
Moh.
Kusnardi dan Harmaily Ibrahim memaknai pembagian kekuasaan berarti bahwa
kekuasaan itu memang dibagi-bagi dalam beberapa bagian (legislatif, eksekutif
dan yudikatif), tetapi tidak dipisahkan. Hal ini membawa konsekuensi bahwa
diantara bagian-bagian itu dimungkinkan ada koordinasi atau kerjasama (Kusnardi
dan Harmaily Ibrahim, 1988: 140). Berbeda dengan pendapat dari Jimly
Asshiddiqie yang mengatakan kekuasaan selalu harus dibatasi dengan cara
memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat checks dan
balances dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi serta
mengendalikan satu sama lain, namun keduanya ada kesamaan, yaitu memungkinkan
adanya koordinasi atau kerjasama. Selain itu pembagian kekuasaan baik dalam
arti pembagian atau pemisahan yang diungkapkan dari keduanya juga mempunyai
tujuan yang sama yaitu untuk membatasi kekuasaan sehingga tidak terjadi
pemusatan kekuasaan pada satu tangan yang memungkinkan terjadinya
kesewanang-wenangan. Pada hakekatnya pembagian kekuasaan dapat dibagi ke dalam
dua cara, yaitu (Zul Afdi Ardian, 1994: 62):
1. Secara vertikal, yaitu pembagian
kekuasaan menurut tingkatnya. Maksudnya pembagian kekuasaan antara beberapa
tingkat pemerintahan, misalnya antara pemerintah pusat dengan dan pemerintah
daerah dalam negara kesatuan, atau antara pemerintah federal dan pemerintah
negara bagian dalam suatu suatu negara federal.
2. Secara horizontal, yaitu pembagian
kekuasaan menurut fungsinya. Dalam pembagian ini lebih menitikberatkan pada
pembedaan antara fungsi pemerintahan yang bersifat legislatif, eksekutif dan
yudikatif.
1.
Pembagian Kekuasaan Menurut John Locke.
John
Locke, dalam bukunya yang berjudul “Two Treaties of Goverment” mengusulkan agar
kekuasaan di dalam negara itu dibagi dalam organ-organ negara yang mempunyai
fungsi yang berbeda-beda. Menurut beliau agar pemerintah tidak sewenang-wenang,
maka harus ada pembedaan pemegang kekuasaan-kekuasaan ke dalam tiga macam
kekuasaan,yaitu:
1. Kekuasaan Legislatif (membuat
undang-undang).
2. Kekuasaan Eksekutif (melaksanakan
undang-undang).
3. Kekuasaaan Federatif (melakukan hubungan
diplomtik dengan negara-negara lain).
Pendapat John Locke inilah yang mendasari muncul teori pembagian kekuasaan sebagai gagasan awal untuk menghindari adanya pemusatan kekuasaan (absolut) dalam suatu negara.
Pendapat John Locke inilah yang mendasari muncul teori pembagian kekuasaan sebagai gagasan awal untuk menghindari adanya pemusatan kekuasaan (absolut) dalam suatu negara.
2.
Konsep Trias Politica Montesquieu.
Menurut
Montesquieu seorang pemikir berkebangsaan Perancis mengemukakan teorinya yang
disebut trias politica. Dalam bukunya yang berjudul “L’esprit des Lois” pada
tahun 1748 menawarkan alternatif yang agak berbeda dari pendapat John Locke.
Menurut Montesquieu untuk tegaknya negara demokrasi perlu diadakan pemisahan
kekuasaan negara ke dalam 3 organ, yaitu:
a. Kekuasaan Legislatif (membuat
undang-undang).
b. Kekuasaan Eksekutif (melaksanakan
undang-undang).
c. Kekuasaaan yudikatif (mengadili bila terjadi
pelanggaran atas undang-undang).
Konsep yang dikemukakan oleh John Locke
dengan konsep yang dikemukakan oleh Montesquieu pada dasarnya memiliki
perbedaan, yaitu:
a. Menurut John Locke kekuasaan eksekutif
merupakan kekuasaan yang mencakup kekuasaan yuikatif karena mengadili itu
berarti melaksanakan undang-undang, sedangkan kekuasaan federatif (hubungan
luar negeri) merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri.
b. Menurut Montesquieu kekuasaan eksekutif
mencakup kekuasaan ferderatif karena melakukan hubungan luar negeri itu
termasuk kekuasaan eksekutif, sedangkan kekuasaan yudikatif harus merupakan
kekuasaan yang berdiri sendiri dan terpisah dari eksekutif.
c. Pada kenyataannya ternyata, sejarah
menunjukkan bahwa cara pembagian kekuasaan yang dikemukakan Montesquieu yang
lebih diterima. Kekuasaan ferderatif diberbagai negara sekarang ini dilakukan
oleh eksekutif melalui Departemen Luar Negerinya masing-masing (Moh. Mahfud MD,
2001: 73). Seperti halnya dalam praktek ketatanegaraan Indonesia selama ini.
Mengenai pembagian kekuasaan seperti yang dikemukakan Montesquieu, yang membagi
kekuasaan itu menjadi tiga kekuasaan, yaitu: legislatif, eksekutif, dan
yudikatif, Jimly Asshiddiqie menjelaskan lagi mengenai cabang-cabang dari
kekuasaan-kekuasaan itu.
Cabang kekuasaan legislatif terdiri
dari:
a. Fungsi Pengaturan (Legislasi).
b. Fungsi Pengawasan (Control).
c. Fungsi Perwakilan (Representasi).
Kekuasaan
Eksekutif juga mempunyai cabang kekuasaan yang meliputi :
a. Sistem Pemerintahan.
b. Kementerian Negara.
Begitu juga dengan kekuasaan Yudikatif
mempunyai cabang kekuasaan sebagai berikut :
a. Kedudukan Kekuasaan Kehakiman.
b. Prinsip Pokok Kehakiman.
c. Struktur Organisasi Kehakiman.
Jadi
menurut Jimly Asshiddiqie kekuasaan itu masing-masing mempunyai cabang
kekuasaan sebagai bagian dari kekuasaan yang dipegang oleh lembaga negara dalam
penyelenggaraan negara.
3.
Pembagian Kekuasaan Di Indonesia.
Dalam
ketatanegaraan Indonesia sendiri, istilah “pemisahan kekuasaan” (separation of
power) itu sendiri cenderung dikonotasikan dengan pendapat Montesquieu secara
absolut. Konsep pemisahan kekuasaan tersebut dibedakan secara diametral dari
konsep pembagian kekuasaan (division of power) yang dikaitkan dengan sistem
supremasi MPR yang secara mutlak menolak ide pemisahan kekuasaan ala trias
politica Monstesquieu. Dalam sidang-sidang BPUPKI 1945, Soepomo misalnya
menegaskan bahwa UUD 1945 tidak menganut doktrin trias politica dalam arti
paham pemisahan kekuasaan, melainkan menganut sistem pembagian kekuasaan.
Di
sisi lain Jimly Asshiddiqie, berpendapat bahwa setelah adanya perubahan UUD
1945 selama empat kali, dapat dikatakan sistem konstitusi kita telah menganut
doktrin pemisahan itu secara nyata. Beberapa yang mendukung hal itu antara lain
adalah :
1. adanya pergeseran kekuasaan legislatif
dari tangan Presiden ke DPR.
2. diadopsinya sistem pengujian
konstitusional atas undang-undang sebagai produk legislatif oleh Mahkamah
Konstitusi. Dimana sebelumnya undang-undang tidak dapat diganggu gugat, hakim
hanya dapat menerapkan undang-undang dan tidak boleh menilai undang-undang.
3. diakui bahwa lembaga pelaksana
kedaulatan rakyat itu tidak hanya MPR, melainkan semua lembaga negara baik
secara langsung atau tidak langsung merupakan penjelmaan kedaulatan rakyat.
4. MPR tidak lagi berkedudukan sebagai
lembaga tertinggi negara, namun sebagai lembaga negara yang sederajat dengan
lembaga negara lainnya.
5. hubungan-hubungan antar lembaga negara
itu bersifat saling mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip checks
and balances.
Jadi
berdasarkan kelima alasan tersebut, maka UUD 1945 tidak lagi dapat dikatakan
menganut prinsip pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal maupun menganut
ajaran trias politica Montesquieu yang memisahkan cabang-cabang kekuasaan
legislatif, eksekutif, dan yudikatif secara mutlak dan tanpa diiringi oleh
hubungan yang saling mengendalikan satu sama lain. Dengan perkataan lain,
sistem baru yang dianut oleh UUD 1945 pasca perubahan keempat adalah sistem
pemisahan kekuasaan berdasarkan prinsip checks and balances, sehingga masih ada
koordinasi antar lembaga negara.
4.
latar Belakang Checks and Balances di Indonesia.
Penyelenggaraan
kedaulatan rakyat sebelum perubahan UUD 1945 melalui sistem MPR dengan prinsip
terwakili telah menimbulkan kekuasaan bagi presiden yang demikian besar dalam
segala hal termasuk pembentukan MPR. Periode orde lama (1959-1965), seluruh
anggota MPR(S) dipilih dan diangkat langsung oleh Presiden. Tidak jauh berbeda
pula pada masa orde baru (1966-1998) dari 1000 orang jumlah anggota MPR, 600
orang dipilih dan ditentukan oleh Presiden. Hal tersbut menunjukan bahwa pada
masa-masa itu MPR seakan-akan hanya menjadi alat untuk mempertahankan penguasa
pemerintahan (presiden), yang mana pada masa itu kewenangan untuk memilih dan
mengangkat Presiden dan/ atau Wakil Presiden berada di tangan MPR. Padahal MPR
itu sendiri dipilih dan diangkat oleh Presiden sendiri, sehingga siapa yang
menguasai suara di MPR maka akan dapat mempertahankan kekuasaannya.
Pengangkatan
anggota MPR dari unsur Utusan Daerah dan unsur Utusan Golongan bagi pembentukan
MPR dalam jumlah yang demikian besar juga dapat dilihat sebagai penyimpangan
konstitusional, karena secara logika dalam hal kenyataan juga terlihat wakil
yang diangkat akan patuh dan loyal kepada pihak yang mengangkatnya, sehingga
wakil tersebut tidak lagi mengemban kepentingan daerah atau golongan yang
diwakilinya. Akibatnya adalah wakil-wakil yang diangkat itu tidak lagi memiliki
hubungan dengan yang diwakilinya. Namun terkait dengan hal itu, Presiden
sendiri merupakan mandataris MPR yang harus bertanggung jawab kepadanya.
Berdasarkan hal tersebut maka hubungan antara MPR dengan Presiden sangat sulit
dilihat sebagai hubungan vertikal atau horizontal, jika terlepas dari MPR
sebagai Lembaga Tertinggi Negara dan Presiden sebagai Lembaga Negara yang jelas
mempunyai hubungan vertikal. Maka idealnya seluruh anggota MPR itu diplih
rakyat melalui Pemilu. Dan di sisi lain sesuai dengan ketentuan UUD 1945,
keberadaan MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara, dianggap sebagai pelaksana
sepenuhnya kedaulatan rakayat.
Konstruksi
ini menunjukkan bahwa MPR merupakan Majelis yang mewakili kedudukan rakyat
sehingga menjadikan lembaga tersebut sebagai sentral kekuasaan, yang mengatasi
cabang-cabang kekuasaan lainnya. Adanya satu lembaga yang berkedudukan paling
tinggi membawa konsekuensi seluruh kekuasaan lembaga-lembaga penyelenggara
negara yang berada di bawahnya harus bertanggung jawab kepada MPR. Akibatnya
konsep keseimbangan antara elemen-elemen penyelenggara negara atau sering
disebut checks and balances system antar lembaga tinggi negara tidak dapat
dijalankan.Pada sistem MPR tersebut, juga menimbulkan kekuasaan bagi presiden
yang demikian besar dalam pembentukan undang-undang (fungsi Legislasi) yang
seharusnya dipegang DPR. Hal tersebut dapat dilihat dari rumusan pasal 5 ayat (1)
naskah asli UUD 1945 yang berbunyi: “Presiden memegang kekuasaan membentuk
undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Berdasarkan rumusan
tersebut, dapat dilihat bahwa MPR mendistribusikan kekuasaan membentuk
undang-undang kepada Presiden, atau setidaknya memberikan kewenangan yang lebih
kepada Presiden dalam fungsi legislasi dari pada DPR. Karena keadaan yang
demikian sehingga pengawasan dan keseimbangan antar lembaga tinggi negara
sangat lemah sekali.
Orde
reformasi yang dimulai pada bulan Mei 1998, yang terjadi karena berbagai
krisis, baik krisis ekonomi, politik maupun moral. Gerakan reformasi itu
membawa berbagai tuntutan, diantaranya adalah Amandemen UUD 1945, penghapusan
doktrin dwi fungsi ABRI, penegakan hukum, HAM, dan pemberantasan KKN, serta
mewujudkan kehidupan yang demokratis. Tuntutan itu muncul karena masyarakat
menginginkan perubahan dalam sistem dan struktur ketatanegaraan Indonesia untuk
memuwujdkan pemerintahan negara yang demokratis dengan menjamin hak asasi warga
negaranya. Hasil nyata dari reformasi adalah dengan adanya perubahan UUD 1945
yang dilatar belakagi dengan adanya beberapa alasan, yaitu:
a. Kekuasaan tertinggi di tangan MPR.
b. Kekuasaan yang sangat besar pada
Presiden.
c. Pasal-pasal yang sifatnya terlalu
“luwes” sehingga dapat menimbulkan multi tafsir.
d. Kewenangan pada Presiden untuk mengatur
hal-hal penting dengan undang-undang.
e. Rumusan UUD 1945 tentang semangat
penyelenggaraan negara belum cukup didukung ketentuan konstitusi.
Hal-hal
tersebut merupakan penyebab mengapa keseimbangan dan pengawasan terhadap
lembaga penyelenggara negara dianggap sangat kurang (checks and balances
system) tidak dapat berjalan sehingga harus dilakukan Perubahan UUD 1945 untuk
mengatasi hal tersebut.
Perubahan
UUD 1945 yang terjadi selama empat kali yang berlangsung secara berturutan pada
tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002 telah membawa dampak yang besar terhadap
stuktur ketatanegaraan dan sistem penyelenggaraan negara yang sangat besar dan
mendasar. Perubahan itu diantara adalah menempatkan MPR sebagai lembaga negara
yang mempunyai kedudukan yang sederajat dengan Lembaga Negara lainnya tidak
lagi sebagai Lembaga Tertinggi Negara, pergeseran kewenangan membentuk
undang-undang dari Presiden kepada DPR, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
secara langsung, mempetegas penerapan sistem presidensiil, pengaturan HAM,
munculnya beberapa lembaga baru seperti Mahkamah Konstitusi dan Komisi
Yudisial, dan lain sebagainya.
Terkait dengan perubahan kedudukan MPR setelah adanya Perubahan UUD 1945 Abdy Yuhana menjelaskan bahwa berdasarkan rumusan dari ketentuan Pasal 1 Ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945 yang berbunyi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” yang merupakan perubahan terhadap ketentuan Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 sebelumnya yang berbunyi “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”.
Terkait dengan perubahan kedudukan MPR setelah adanya Perubahan UUD 1945 Abdy Yuhana menjelaskan bahwa berdasarkan rumusan dari ketentuan Pasal 1 Ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945 yang berbunyi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” yang merupakan perubahan terhadap ketentuan Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 sebelumnya yang berbunyi “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”.
Dari
hasil perubahan tersebut dapat dilihat bahwa konsep kedaulatan rakyat dilakukan
oleh suatu Lembaga Tertinggi Negara, yaitu MPR yang dianggap sebagai penjelmaan
seluruh rakyat Indonesia, sekarang melalui ketentuan tersebut telah
dikembalikan kepada kepada rakyat untuk dilaksanakan sendiri. Konsekuensi dari
ketentuan baru itu adalah hilangnya Lembaga Tertinggi Negara MPR yang selama
ini dipandang sebagai pemegang sepenuhnya kedaulatan rakyat. Hal ini merupakan
suatu perubahan yang bersifat fundamental dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia, dengan begitu maka prinsip supremasi MPR telah berganti dengan
prinsip keseimbangan antar lembaga negara (checks and balances). Rumusan
tersebut juga memang sengaja dibuat sedemikian rupa untuk membuka kemungkinan
diselenggarakannya pemilihan presiden secara langsung, agar sesuai dengan
kehendak untuk menerapkan sistem pemerintahan presidensial (Abdy Yuhana, 2007:
139). Ni’matul Huda juga berpendapat bahwa dengan adanya pergeseran kewenangan
membentuk undang-undang itu, maka sesungguhnya ditinggalkan pula teori
“pembagian kekuasaan” (distribution of power) dengan prinsip supremasi MPR
menjadi “pemisahan kekuasaan” (seperation of power) dengan prinsip checks and
balances sebagai ciri melekatnya. Hal ini juga merupakan penjabaran lebih jauh
dari kesepakatan untuk memperkuat sistem presidensial (Ni’matul Huda, 2003:
19). Dari dua pendapat tersebut maka dapat simpulkan bahwa Negara Indonesia
berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 hasil perubahan
telah menganut teori “pemisahan kekuasaan” (seperation of power) untuk menjamin
prinsip checks and balances demi tercapainya pemerintahan yang demokratis yang
merupakan tuntutan dan cita-cita reformasi.
B.
Pembagian Kekuasaan Negara Secara
Vertikal dan Horizontal Pada Negara Konfederasi, Negara Kesatuan, dan Negara Federal.
1. Konfederasi
Konfederasi, menurut L.
Oppenheim, adalah beberapa Negara yang berdaulat penuh yang untuk
mempertahankan kemerdekaan ekstern dan intern, bersatu atas dasar perjanjian
internasional yang diakui dengan menyelenggarakan beberapa alat perlengkapan
tersendiri yang mempunyai kekuasaan tertentu terhadap negara anggota
konfederasi, tetapu tidak terhadap warga negara-negara itu (L. Oppenheim dalam
M. Budiarjo: 268). Dari pernyataan tersebut, secara singkat dapat diartikan
bahwa konfederasi merupakan kumpulan negara-negara merdeka dan berdaulat, yang
bersatu hanya karena satu kepentingan tertentu yang biasanya terletak di bidang
politik luar negeri dan pertahanan bersama.
2. Negara Kesatuan.
Negara Kesatuan, menurut C. F. Strong, adalah bentuk negara di
mana wewenang legislatif tertinggi dipusatkan dalam satu badan legislatif
nasional/pusat (C. F. Strong dalam M. Budiardjo: 269). Dengan kata lain,
kekuasaan atau kedaulatan sepenuhnya ada di pemerintah pusat bukan di
pemerintah daerah. Akan tetapi, di sisi lain, pemerintah pusat memiliki
wewenang untuk membagi kekuasaan kepada daerah yang kita kenal sebagai hak
otonomi atau desentralisasi. Adapun ciri-ciri mutlak Negara Kesatuan, menurut
Strong, adalah adanya supremasi dari dewan perwakilan pusat dan tidak adanya
badan-badan lainnya yang berdaulat (C. F. Stronf dalam M. Budiardjo: 270)
3. Negara Federal .
Negara Federal, menurut K. C. Wheare, ialah bahwa kekuasaan
dibagi sedemikian rupa sehingga pemerintah federal dan pemerintah negara bagian
dalam bidang-bidang tertentu adalah bebas satu sama lain (K.C. Wheare dalam M.
Budiardjo:270). Pernyataan tersebut dapat diartikan, baik negara bagian maupun
negara federal memiliki kedaulatan masing-masing. Kedaulatan negara federal
adalah mengatur segala hal di luar kedaulatan Negara bagian dan berlaku untuk
beberapa negara bagian lainnya. Adapun persyaratan sebuah Negara federal,
menurut C. F. Strong, adalah adanya perasaan sebangsa di antara
kesatuan-kesatuan politik yang hendak membentuk federasi itu dan keinginan pada
kesatuan-kesatuan politik yang hendak membentuk federasi untuk mengadakan
ikatan terbatas (C. F. Strong dalam M. Budiardjo:271).
Perbedaan antara Konfederasi dan Negara Federal .
Untuk membedakan antara
konfederasi dan negara federal, kita dapat melihat dari, di mana letak
kedaulatannya. Seperti apa yang telah dijelaskan di atas, kedaulatan
konfederasi terletak di negara-negara pesertanya, sedangkan kedaulatan federal
terletak pada federasi itu sendiri bukan di negara bagiannya. Hal ini senada
dengan pernyataan Edwad M. Sait, yaitu, negara-negara peserta konfederasi tetap
merdeka sepenuhnya atau berdaulat, sedangkan negara-negara yang tergabung dalam
konfederasi kehilangan kedaulatanya (E. M. Sait dalam M. Budiardjo:272).
Pandangan yang lain
membedakan konfederasi dan negara federal berdasarkan keterikatan warga negara
oleh peraturan pusat. Jika seorang warga negara sebuah negara bagian langsung
terikat oleh peraturan organ pusat maka negara tersebut adalah federasi, jika
tidak maka konfederasi. Hal tersebut dikemukakan oleh R. Kraneunberg.
Perbedaan antara Federasi dan Negara Kesatuan.
Mengenai perbedaan antara
federasi dan negara kesatuan, pernyataan R. Kraunbergburg cukuplah
representative menurut penulis. Adapun pernyataannya kurang lebih berbunyi
bahwa sebuah negara bagian dalam federasi memiliki wewenang untuk menciptakan
undang-undang dan bentuk organisasinya sendiri, sedangkan pemerintahan daerah
pada sebuah negara kesatuan tidaklah memiliki wewenang secara penuh melainkan
harus mengikuti garis besar yang telah ditetapkan oleh negara tersebut.
Partisipasi
Politik dan Sistem Pemilihan Umum
a.
Partisipasi Politik
Definisi partisipasi politik adalah
kegiatan seseorang atau kelompok orang unutk ikut serta secara aktif dalam
kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pimpinan negara dan, secara
langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan pemerintah (public
policy).
1.
Partisipasi Politik di Negara
Demokrasi
Konsep partisipasi politik bertolak
dari paham bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, yang dilaksanakan melalui
kegiatan bersama untuk menetapkan tujuan-tujaun serta masa depan masyarakat itu
dan untuk menentukan orang-orang yang akan memegang tampuk pimpinan.
Ada dua piramida pola partisipasi :
1. Piramida
pasrtispasi I, oleh Milbrath dan Goel, masyarakat terbagi dalam tiga kategori,
yaitu :
-
Pemain (Gladiators) :
5-7% populasi termasuk gladiators, yaitu orang yang sangat aktif
dalam dunia politik.
-
Penonton (Spectators) :
60% aktif secara minimal, termasuk memakai hak pilihnya.
-
Apatis (Aphatetics) :
33% populasi termasuk aphatetics, yaitu orang yang tidak aktif sama
sekali, termasuk tidak memakai hak pilihnya.
2. Piramida
partisipasi II, oleh David F Roth dan Frank L. Wilson, masyarakat terbagi dalam
empat kategori, yaitu:
-
Aktivis (Activist) : The
Devient (termasuk di dalamnya pembunuh dengan maksud politik,
pembajak, dan teroris); pejabat public atau calon pejabat public; Fungsionaris
partai politik pimpinan kelompok kepentingan.
-
Partisipan (Participant) :
orang yang bekerja untuk kampanye; anggota partai secara aktif; Partisipan
dalam kelompok kepentingan dan tindakan-tindakan yang bersifat politis; Orang
yang terlibat dalam komunitas proyek.
-
Penonton (Onlookers) :
Orang yang menghadiri reli-reli politik; Anggota dalam kelompok kepentingan;
Pe-lobby; Pemilih; Orang yang terlibat dalam diskusipolitik; Pemerhati
dalam pembangunan politik..
-
Apolitis (Apoliticals)
2.
Partisipasi Politik di Negara
Otoriter
Pada masa lampau, partisipasi diakui
kewajarannya karena secara formal kekuasaan ada di tangan rakyat. Akan tetapi
tujuan utama partisipasi olitik massa dalam masa pendek masyarakt adalah
merombak masyarakat yang terbelakang menjadi masyarakat yang modern, produktif,
kuat, dan berideologi kuat. Uni Soviet adalah salah satu negara yang berhasil
mencapai persentasevoter turnout (persentase orang yang menggunakan
hak pilihnya) yang sangat tinggi, yaitu selalu mencapai 99%. Namun sistemnya
berbeda dengna negara demokrasi, terutama karena hanya ada satu calon untuk
setiap satu kursi yang diperebutkan, dan para calon itu harus melalui proses
penyaringan yang ditentukan dan diselenggarakan oleh Partai Komunis.
3.
Partisipasi Politik di Negara
Berkembang.
Kebanyakan negara berkembang ingin
cepat-cepat melaksanakan pembangunan untuk mengejar keterbelakangannya karena
dianggap bahwa berhasil atau tidaknya pembangunan banyak bergantung pada
partisipasi rakyat. Di beberapa negara berkembang, partisipasi yang bersifat
otonom (lahir dari diri mereka sendiri) masih terbatas. Hal ini menyebabkan
pemerintah menghadapai masalah bagaimana untuk meningkatkan partispasi itu,
sebab jika partisipasi mengalami jalan buntu, dapat terjadi dua hal, yaitu
menimbulkan ”anomi” atau justru ”revolusi”. Masalah lain adalah di beberapa
negara berkembang yang proses pembangunannya agak lancar. Di sana perluasan
urbanisasi serta jaringan pendidikan dan meningkatnya komunikasi menggerakkan
banyak kelompok untuk aktif dalam proses politik sehingga terjadi peningkatan
tuntutan terhadap pemerintah yang sangat mencolok. Kesenjangan antara tujuan
sosial dan cara-cara mencapai tujuan itu dapat menimbulkan perilaku ekstrem
seperti teror dan pembunuhan.
Jalan yang paling baik untuk
mengatasi krisis partisipasi adalah peningkatan inkremental dan bertahap
seperti yang dilakukan Inggris pada abad ke-19. cara demikian akan memberikan
kesempatan dan waktu kepada institusi maupun kepada rakyat untuk menyesuaikan
diri. Di negara-negara berkembang, setiap usaha pembangunan akan selalu
dibarengi dengan gejala-gejala sosial. Kalaupun stabilitas berhasil dicapai,
sifatnya mungkin akan tetap kurang stabil bila dibandingkan dengan
negara-negara yang sudah kuat dan mantap kehidupan politiknya.
b.
Social
Movements dan Kelompok Kepentingan
Yaitu
tantangan kolektif oleh orang-orang yang mempunyai tujuan bersama berbasis
solidaritas, (yang dilaksanakan) melalui interaksi secara terus menerus dengan
para elite, lawan-lawannya, dan pejabat-pejabat (T. Tarow, Power in
Movement, 1994). Sementara itu definisi kelompok kepentingan adalah suatu
organisasi yang berusaha untuk mempengaruhi kebijakan publik dalam suatu bidang
yang penting untuk anggota-anggotanya.
Beberapa
Jenis Kelompok
1.
Kelompok Anomi, yaitu
individu-indivi (tidak punya organisasi) yang terlibat merasa mempunyai
perasaan frustasi dan ketidakpuasan yang sama. Ketidakpuasan ini diungkapkan
melalui demonstrasi dan pemogokan yang tak terkontrol, yang kadang-kadang
berakhir dengan kekerasan.
2.
Kelompok Nonasosiasional, yaitu
kelompok yang tumbuh berdasarkan rasa solidaritas pada sanak saudara, kerabat,
agama, wilayah, kelompok etnis, dan pekerjaan. Contohnya adalah Paguyuban
Pasundan.
3. Kelompok
Institusional, yaitu kelompok-kelompok formal yang berada dalam atau bekerja
secara erat dengan pemerintah seperti birokrasi dan kelompok militer. Contoh di
Amerika adalah military industrial complex di mana Pentagon
bekerja sama dengan industri pertahanan. Contoh di Indonesia adalah Dharma
Wanita, KOPRI, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI)
4. Kelompok
Asosiasional, yaitu terdiri atas serikat buruh, kamar dagang, asosiasi etnis
dan agama. Organsasi-organisasi ini dibentuk dengan tujuan yang eksplisit,
mempunyai organisasi yang baik dengan staf yang bekerja dengan penuh waktu.
5. Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM), yaitu organisasi yang didirikan oleh perorangan
ataupun sekelompok orang yang secara sukarela yang memberikan pelayanan
kepada masyarakat umum tanpa bertujuan untuk
memperoleh keuntungan dari kegiatannya.
c.
Sistem Pemilihan Umum
Pemilihan Umum adalah proses
pemilihan orang atau kelompok orang untuk mengisi jabatan-jabatanpolitik tertentu. Dalam ilmu politik,
dikenal bermacam-macam sistem pemilihan, tetapi umumnyan berkisar pada dua
prinsip,yaitu :
1. Single-member
Constituency (Sistem Distrik), yaitu satu daerah pemilihan memilih satu wakil.
2. Multi-member
Constituency (system Proporsional), yaitu satu daerah pemilihan memilih
beberapa wakil.
Keuntungan dan kelemahan Sistem Distrik
Keuntungan :
1.
Sistem ini lebih mendorong ke arah
integrasi parati-partai politik karena kursi yang diperebutkan adalah satu.
2.
Fragmentasi partai dan kecenderungan
membentuk partai baru dapat dibendung.
3.
Wakil yang dipilih dapat dikenal
oleh komunitasnya.
4.
Bagi partai besar sistem ini
menguntungkan karena dapat merai suara dari pemilih-pemilih lain sehingga
memperoleh kedudukan mayoritas.
5.
Tidak perlu diadakan koalisi karena
mudah bagi suatu partai untuk memperoleh kedudukan mayoritas.
6.
Sederhana dan murah untuk
diselenggarakan
Kelemahan :
1.
Kurang memperhatikan kepentingan
partai-partai kecil dan golongan minoritas.
2.
Kurang representatif : partai yang
calonnya kalah dalam satu distrik kehilangan suara yang telah mendukungnya.
3.
Kurang efektif dalam masyarakat yang
plural karena terbagi dalam kelompok etnis, religius, dan tribal.
4.
Si Wakil kemungkinan akan lebih
memperhatikan kepentingan distrik daripada kepentingan nasional.
Keuntungan dan kelemahan sistem proporsional
Kuntungan :
1.
Sistem ini representatif karena
jumlah kursi dalam parlemen sesuai dengan jumlah suara masyarakat yang
diperlukan dalam pemilihan umum.
2.
Lebih demokratis dalam arti
lebih egalitarian karena praktis tanpa ada distorsi, yaitu
kesenjangan antara suara nasional dan jumlah kursi dalam parlemen, tanpa suara
yang hilang.
Kelemahan :
1.
Kurang mendorong partai-partai untuk
berintegrasi atau bekerja sama satu sama lain.
2.
Sistem ini mempermudah fragmentasi
partai.
3.
Sistem ini memberikan kedudukan yang
kuat kepada pimpinanpartai karena pimpinan partai menentukan daftar calon
melalui Sistem Daftar.
4.
Wakil yang terpilih kemungkinan
renggang ikatannya dengan konstituen.
5.
Karena banyaknya partai, sulit bagi
satu partai unutk memperoleh suara atau kedudukan mayoritas (50% + satu).
d.
Sistem
Pemilihan Umum di Indonesia
·
Tahun 1955:
Menggunakan sistem proporsional.
Jumlah anggota DPR ditetapkan berdasarkan imbangna jumlah penduduk. Tiap
300.000 penduduk diwakli oleh satu anggota DPR. Menggunakan Stelsel Daftar
Mengikat dan Stelse Daftar Bebas. Calon yang terpilih adalah yang memperoleh
suara sesuai BPPD (Bilangan Pembagi Pemilih Daftar)
·
Tahun 1971-1999:
Menggunakan sistem proporsional
dengan Stelsel Daftar Tertutup. Pemilih memberikan suara hanya kepada partai,
dan partai akan memberikan suaranya kepada calon dengan nomor urut teratas.
Suara akan diberikan kepada urutan berikutnya bila calon dengan nomor urut
teratas telah memilik suara cukup untuk kuota satu kursi. Pada pemilihan
tahun-tahun ini setiap anggota DPR mewakili 400.000 penduduk.
2004:
Ada
satu lembaga baru, yaitu DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Untuk pemilihan umum
DPD digunakan system distrik dengan wakil 4 kursi steiap provinsi). Pesertanya
adalah individu dan daerah pemilihannya adalah wilayah provinsi. Untuk
pemilihan DPR dan DPRD digunakan sistem proporsional dengan Stelsel Daftar
Terbuka sehingga pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung kepada calon
yang dipilih. Dari sudut pandang gender, Pemilihan Umum 2004 secara tegas
memberi peluan lebih besar secara afirmatif bagi peran perempuan. Pasal 65 UU
No. 12/2003 menyatakan calon anggota DPR dan DPRD dengan memperhatikan
keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% untuk setiap daerah pemilihan.
Kemudian
juga ada prosedur selektif partai-partai yang akan menjadi peserta pemilihan
umum. Ada sejumlah syarat, baik administratif maupun substansial, yang harus
dipenuhi oleh setiap partai untuk bisa menjadi peserta.
BAB 9
TRIAS POLITIKA
A. Pengertian
Trias Politika
merupakan konsep pemerintahan yang kini banyak dianut diberbagai negara di
aneka belahan dunia. Konsep dasarnya adalah, kekuasaan di suatu negara tidak
boleh dilimpahkan pada satu struktur kekuasaan politik melainkan harus terpisah
di lembaga-lembaga negara yang berbeda. Trias Politika yang kini banyak
diterapkan adalah, pemisahan kekuasaan kepada 3 lembaga berbeda: Legislatif,
Eksekutif, dan Yudikatif.
Legislatif
adalah lembaga untuk membuat undang-undang; Eksekutif adalah lembaga yang
melaksanakan undang-undang; dan Yudikatif adalah lembaga yang mengawasi
jalannya pemerintahan dan negara secara
keseluruhan, menginterpretasikan undang-undang jika ada sengketa, serta
menjatuhkan sanksi bagi lembaga ataupun perseorangan manapun yang melanggar
undang-undang. Dengan terpisahnya 3 kewenangan di 3 lembaga yang berbeda
tersebut, diharapkan jalannya pemerintahan negara tidak timpang, terhindar dari
korupsi pemerintahan oleh satu lembaga, dan akan memunculkan mekanisme check
and balances (saling koreksi, saling mengimbangi). Kendatipun demikian,
jalannya Trias Politika di tiap negara tidak selamanya serupa, mulus atau tanpa
halangan.
B.
Sejarah Trias Politika
Pada
masa lalu, bumi dihuni masyrakat pemburu primitif yang biasanya
mengidentifikasi diri sebagai suku. Masing-masing suku dipimpin oleh seorang
kepala suku yang biasanya didasarkan atas garis keturunan ataupun kekuatan
fisik atau nonfisik yang dimiliki. Kepala suku ini memutuskan seluruh perkara
yang ada di suku tersebut. Pada perkembangannya, suku-suku kemudian memiliki
sebuah dewan yang diisi oleh para tetua masyarakat. Contoh dari dewan ini yang
paling kentara adalah pada dewan-dewan Kota Athena (Yunani). Dewan ini sudah
menampakkan 3 kekuasaan Trias Politika yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif,
dan yudikatif. Bahkan di Romawi Kuno, sudah ada perwakilan daerah yang disebut
Senat, lembaga yang mewakili aspirasi daerah-daerah. Kesamaan dengan Indonesia
sekarang adalah Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Namun,
keberadaan kekuasaan yang terpisah, misalnya di tingkat dewan kota tersebut
mengalami pasang surut. Tantangan yang terbesar adalah persaingan dengan
kekuasaan monarki atau tirani. Monarki atau
Tirani adalah kekuasaan absolut yang berada di tangan satu orang
raja. Tidak ada kekuasaan yang terpisah di keduanya. Pada abad Pertengahan
(kira-kira tahun 1000 – 1500 M), kekuasaan politik menjadi persengketaan antara
Monarki (raja/ratu), pimpinan gereja, dan kaum bangsawan. Kerap kali Eropa kala
itu, dilanda perang saudara akibat sengketa kekuasaan antara tiga kekuatan
politik ini. Sebagai koreksi atas ketidakstabilan politik ini, pada tahun 1500
M mulai muncul semangat baru di kalangan intelektual Eropa untuk mengkaji ulang
filsafat politik yang berupa melakukan pemisahan kekuasaan. Tokoh-tokoh seperti
John Locke, Montesquieu, Rousseau, Thomas Hobbes, merupakan contoh dari
intelektual Eropa yang melakukan kaji ulang seputar bagaimana kekuasaan di suatu
negara/kerajaan harus diberlakukan.
Untuk
keperluan mata kuliah ini, cukup akan diberikan gambaran mengenai 2 pemikiran
intelektual Eropa yang berpengaruh atas konsep Trias Politika. Pertama adalah
John Locke yang berasal dari Inggris, sementara yang kedua adalah Montesquieu,
dari Perancis.
C.
Teori Pembagian Kekuasaan Trias Politika
a.
Teori Pembagian Kekuasaan Menurut John Locke (1632-1704)
Pemikiran John
Locke mengenai Trias Politika ada di dalam Magnum Opus (karya besar) yang ia
tulis dan berjudul Two Treatises of Government yang terbit tahun 1690. Dalam
karyanya tersebut, Locke menyebut bahwa fitrah dasar manusia adalah “bekerja
(mengubah alam dengan keringat sendiri)” dan “memiliki milik
(property)." Oleh sebab itu, negara yang baik harus dapat melindungi
manusia yang bekerja dan juga melindungi milik setiap orang yang diperoleh
berdasarkan hasil pekerjaannya tersebut. Mengapa Locke menulis sedemikian
pentingnya masalah kerja ini?
Dalam
masa ketika Locke hidup, milik setiap orang, utamanya bangsawan, berada dalam
posisi yang rentan ketika diperhadapkan dengan raja. Kerap kali raja secara
sewenang-wenang melakuka akuisisi atas milik para bangsawan dengan dalih
beraneka ragam. Sebab itu, kerap kali kalangan bangsawan mengadakan perang
dengan raja akibat persengkataan milik ini, misalnya peternakan, tanah, maupun
kastil. Negara ada dengan tujuan utama melindungi milik pribadi dari serangan
individu lain, demikian tujuan negara versi Locke. Untuk memenuhi tujuan
tersebut, perlu adanya kekuasaan terpisah, kekuasaan yang tidak melulu di
tangan seorang raja/ratu. Menurut Locke, kekuasaan yang harus dipisah tersebut
adalah Legislatif, Eksekutif dan Federatif.
Kekuasaan
Legislatif adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang. Hal penting yang harus
dibuat di dalam undang-undang adalah bahwa masyarakat ingin menikmati miliknya
secara damai. Untuk situasi ‘damai’ tersebut perlu terbit undang-undang yang
mengaturnya. Namun, bagi John Locke, masyarakat yang dimaksudkannya bukanlah
masyarakat secara umum melainkan kaum bangsawan. Rakyat jelata tidak masuk ke
dalam kategori stuktur masyarakat yang dibela olehnya. Perwakilan rakyat versi
Locke adalah perwakilan kaum bangsawan untuk berhadapan dengan raja/ratu
Inggris. Eksekutif adalah kekuasaan untuk melaksanakan amanat undang-undang.
Dalam hal ini kekuasaan Eksekutif berada di
tangan raja/ratu Inggris. Kaum bangsawan tidak
melaksanakan sendiri undang-undang yang mereka buat, melainkan diserahkan ke
tangan raja/ratu. Federatif adalah kekuasaan menjalin hubungan dengan
negara-negara atau kerajaan-kerajaan lain. Kekuasaan ini mirip dengan
Departemen Luar Negara di masa kini. Kekuasaan ini antara lain untuk membangun
liga perang, aliansi politik luar negeri, menyatakan perang dan damai,
pengangkatan duta besar, dan sejenisnya. Kekuasaan ini oleh sebab alasan
kepraktisan, diserahkan kepada raja/ratu Inggris.
Dari
pemikiran politik John Locke dapat ditarik satu simpulan, bahwa dari 3
kekuasaan yang dipisah, 2 berada di tangan raja/ratu dan 1 berada di tangan
kaum bangsawan. Pemikiran Locke ini belum sepenuhnya sesuai dengan pengertian
Trias Politika di masa kini. Pemikiran Locke kemudian disempurnakan oleh rekan
Perancisnya, Montesquieu.
Montesquieu
(nama aslinya Baron Secondat de Montesquieu) mengajukan pemikiran politiknya
setelah membaca karya John Locke. Buah pemikirannya termuat di dalam magnum
opusnya, Spirits of the Laws, yang terbit tahun 1748. Sehubungan dengan konsep pemisahan kekuasaan, Montesquieu menulis
sebagai berikut : “Dalam tiap pemerintahan ada tiga macam kekuasaan: kekuasaan
legislatif; kekuasaan eksekutif, mengenai hal-hal yang berkenan dengan dengan
hukum antara bangsa; dan kekuasan yudikatif yang mengenai hal-hal yang
bergantung pada hukum sipil. Dengan kekuasaan pertama, penguasa atau
magistrat mengeluarkan hukum yang telah dikeluarkan. Dengan kekuasaan
kedua, ia membuat damai atau perang, mengutus atau menerima duta, menetapkan keamanan
umum dan mempersiapkan untuk melawan invasi. Dengan kekuasaan ketiga, ia
menghukum penjahat, atau memutuskan pertikaian antar individu- individu. Yang
akhir ini kita sebut kekuasaan yudikatif, yang lain kekuasaan eksekutif negara.
Dengan
demikian, konsep Trias Politika yang banyak diacu oleh negara- negara di dunia
saat ini adalah Konsep yang berasal dari pemikir Perancis ini. Namun, konsep
Trias Politika ini terus mengalami persaingan dengan konsep- konsep kekuasaan
lain semisal Kekuasaan Dinasti (Arab Saudi), Wilayatul Faqih (Iran), Diktatur
Proletariat (Korea Utara, Cina, Kuba).
D.
Teori-Teori Dalam Trias Politica
Teori teori dalam Trias Politika di
dasari dengan teori fungsi legislatif, fungsi eksekutif, fungsi yudikatif baik
teori oleh Locke maupun Montesqiueu.
a.
Lembaga Legislatif
Dilihat dari kata Legislate yang
bermakna lembaga yang bertugas membuat undang-undang. Namun tidak hanya sebatas
membuat undang-undang, melainkan juga merupakan wakil rakyat atau badan
parlemen. Pernyataan ini didasari oleh teori kedaulatan rakyat yaitu teori yang
bertentangan dengan teori monarki dan absolutisem. Jadi hakikatnya badan
legislatif digunakan untuk mencegah terjadinya tindakan sikap absolut dari
pemerintah pusat atau presiden.
Adapun fungsi dari badan legislatif sebagai berikut:
1. Question
Hour/Pertanyaan Parlemen
Anggota legislatif diizinkan mengajukan pertanyaan kepada
pemerintahn pusat mengenai hal-hal yang perlu ditanyakan yang jelasnya
berkaitan dengan nasib rakyat.
2. Interpelasi
Hak anggota legislatif untuk meminta keterangan pada
kebijakan pemerintah pusat terutama yang telah dilaksanakan di lapangan.
3. Engquete/Angket
Hak untuk anggota legislatif untuk melakukan penyelidikan
sendiri dengan cara membentuk panitia penyelidik.
4. Mosi
Hak
kontrol yang memiliki potensi besar untuk menjatuhkan lembaga eksekutif.
b.
Lembaga Eksekutif
Secara umum arti lembaga eksekutif adalah pelaksanaan
pemerintah yang dikepalai oleh presiden yang dibantu pejabat, pegawai negeri,
baik sipil maupun militer. Sedangkan wewenang menurut Meriam Budiardjo
mencangkup beberapa bidang:
1. Diplomatik:
menyelenggarakan hubungan diplomatik dengan negara-negara lainnya.
2. Administratif:
melaksanakan peraturan serta perundang-undangan dalam administrasi negara.
3. Militer:
mengatur angkatan bersenjata, menjaga keamanan negara dan melakukan perang bila
di dalam keadaan yang mendukung.
4. Legislatif:
membuat undang-undang bersama dewan perwakilan.
5. Yudikatif:memberikan
grasi dan amnesti
v Tipe
Lembaga eksekutif terbagi menjadi dua, yakni:
1. Hareditary
Monarch yakni pemerintahan yang kepala negaranya dipilih berdasarkan keturunan.
Contohnya adalah Inggris dengandipilihnya kepala negara dari keluarga kerajaan.
2. Elected
Monarch adalah kepala negara biasanya president yang dipilih oleh badan
legislatif ataupun lembaga pemilihan.
v Sistem
Lembaga Eksekutif terbagi menjadi dua:
1. Sistem
Pemerintahan Parlementer
Kepala negara dan kepala pemerintahan terpisah. Kepala
pemerintahan dipimpin oleh perdana menteri, sedangkan kepala negara dipimpin
oleh presiden. Tetapi kepala negara disini hanya berfungsi sebagai simbol suatu
negara yang berdaulat.
2. Sistem
Pemerintahan Presidensial
Kepala
pemerintahan dan kepala negara, keduanya dipengang oleh presiden.
c.
Lembaga Yudikatif
Lembaga ini merupakan lembaga ketiga dari tatanan
politik Trias Politica yang berfungsi mengontrol seluruh
lembaga negara yang menyimpang atas hukum yang berlaku pada negara tersebut.
Fungsi Lembaga Yudikatif adalah sebagai alat
penegakan hukum, penyelesaian penyelisihan, hak menguji apakah peraturan hukum
sesuai atau tudak dengan UUD dan landasan Pancasila, serta sebagai hak penguji
material.
E.
Konsep Trias Politica
Konsep Trias Politica atau pembagian kekuasaan menjadi tiga
pertama kali dikemukakan oleh John Locke dalam karyanya Treatis of Civil
Government (1690) dan kemudian oleh Baron Montesquieu dalam karyanya L'esprit
des Lois (1748). Konsep ini adalah yang hingga kini masih berjalan di berbagai
negara di dunia. Trias Politica memisahkan tiga macam kekuasaan:
1. Kekuasaan
Legislatif tugasnya adalah membuat undang-undang
2. Kekuasaan
Eksekutif tugasnya adalah melaksanakan undang-undang
3. Kekuasaan
Yudikatif tugasnya adalah mengadili pelanggaran undang-undang
Dari pemikiran politik John Locke dapat ditarik satu
simpulan, bahwa terdiri dari tiga kekuasaan yang dipisah, yakni dua berada
di tangan raja atau ratu dan satu berada di tangan kaum
bangsawan. Pembagian konsep Trias Politica pemikiran John Locke
ini belum sepenuhnya sesuai dengan pengertian Trias Politica di
masa kini.
Pemikiran Locke kemudian disempurkan oleh rekan Perancisnya,
Montesquieu. Pembagiankonsep Trias Politica menurut
Montesquieu terbagi menjadi tiga kekuasaan yang terdiri dari kekuasaan
yang mengatur dan menetukan peraturan, kekuasaan yang melaksanakan peraturan,
dan kekuasaan yang mengawasi peraturan. Adapun pendistribusian dari ketiga
macam kekuasaan tersebut diatur oleh badan-badan pemerintahan yang berbeda.
Kekuasaan untuk yang mengatur dan menentukan peraturan diberikan kepada badan
legislatif, dan kekuasaan yang melaksanakan peraturan diberikan kepada badan
eksekutif, serta kekuasaan yang mengawasi peraturan diberikan kepada badan
yudikatif.
a.
Fungsi-fungsi Kekuasaan Legislatif
Legislatif
adalah struktur politik yang fungsinya membuat undang-undang. Di masa kini,
lembaga tersebut disebut dengan Dewan Perwakilan Rakyat (Indonesia), House of
Representative (Amerika Serikat), ataupun House of Common (Inggris).
Lembaga-lembaga ini dipilih melalui mekanisme pemilihan umum yang diadakan
secara periodik dan berasal dari partai-partai politik. Melalui apa yang dapat
kami ikhtisarkan dari karya Michael G. Roskin, et.al, termaktub beberapa fungsi
dari kekuasaan legislatif sebagai berikut : Lawmaking, Constituency Work,
Supervision and Critism Government, Education, dan Representation.
Lawmaking
adalah fungsi membuat undang-undang. Di Indonesia, undang-undang yang dikenal
adalah Undang-undang Ketenagakerjaan, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional,
Undang-undang Guru Dosen, Undang-undang Penanaman Modal, dan sebagainya.
Undang-undang ini dibuat oleh DPR setelah memperhatikan masukan dari level
masyarakat.
Constituency Work adalah fungsi badan legislatif
untuk bekerja bagi para pemilihnya. Seorang anggota DPR/legislatif biasanya
mewakili antara 100.000 s/d 400.000 orang di Indnesia. Tentu saja, orang yang
terpilih tersebut mengemban amanat yang sedemikian besar dari sedemikian banyak
orang. Sebab itu, penting bagi seorang anggota DPR untuk melaksanakan amanat,
yang harus ia suarakan di setiap kesempatan saat ia bekerja sebagai anggota
dewan. Berat bukan?
Supervision and Criticism Government, berarti fungsi legislatif untuk
mengawasi jalannya pelaksanaan undang-undang oleh presiden/perdana menteri, dan
segera mengkritiknya jika terjadi ketidaksesuaian. Dalam menjalankan fungsi
ini, DPR melakukannya melalui acara dengar pendapat, interpelasi, angket,
maupun mengeluarkan mosi kepada presiden/perdana menteri.
Education, adalah fungsi DPR untuk memberikan
pendidikan politik yang baik kepada masyarakat. Anggota DPR harus memberi
contoh bahwa mereka adalah sekadar wakil rakyat yang harus menjaga amanat dari
para pemilihnya. Mereka harus selalu memberi pemahaman kepada masyarakat
mengenai bagaimana cara melaksanakan kehidupan bernegara yang baik. Sebab,
hampir setiap saat media massa meliput tindak-tanduk mereka, baik melalui layar
televisi, surat kabar, ataupun internet.
Representation, merupakan fungsi dari anggota
legislatif untuk mewakili pemilih. Seperti telah disebutkan, di Indonesia,
seorang anggota dewan dipilih oleh sekitar 300.000 orang pemilih. Nah, ke-300.000
orang tersebut harus ia wakili kepentingannya di dalam konteks negara. Ini
didasarkan oleh konsep demokrasi perwakilan. Tidak bisa kita bayangkan jika
konsep demokrasi langsung yang diterapkan, gedung DPR akan penuh sesak dengan
300.000 orang yang datang setiap hari ke Senayan. Bisa-bisa hancur gedung itu.
Masalah yang muncul adalah, anggota dewan ini masih banyak yang kurang peka
terhadap kepentingan para pemilihnya. Ini bisa kita lihat dari masih banyaknya
demonstrasi-demonstrasi yang muncul di aneka isu politik.
b.
Fungsi-fungsi Kekuasaan Eksekutif
Eksekutif
adalah kekuasaaan untuk melaksanakan undang-undang yang dibuat oleh Legislatif.
Fungsi-fungsi kekuasaan eksekutif ini garis besarnya adalah : Chief of state,
Head of government, Party chief, Commander in chief, Chief diplomat, Dispenser
of appointments, dan Chief legislators. Eksekutif di era modern negara biasanya
diduduki oleh Presiden atau Perdana Menteri. Chief of State artinya kepala
negara, jadi seorang Presiden atau Perdana Menteri merupakan kepada suatu
negara, simbol suatu negara. Apapun tindakan seorang Presiden atau Perdana
Menteri, berarti tindakan dari negara yang bersangkutan. Fungsi sebagai kepala
negara ini misalnya dibuktikan dengan memimpin upacara, peresmian suatu
kegiatan, penerimaan duta besar, penyelesaian konflik, dan sejenisnya.
Head of Government, artinya adalah kepala
pemerintahan. Presiden atau Perdana Menteri yang melakukan kegiatan eksekutif
sehari-hari. Misalnya mengangkat menteri-menteri, menjalin perjanjian dengan
negara lain, terlibat dalam keanggotaan suatu lembaga internasional,
menandatangi surat hutang dan pembayarannya dari lembaga donor, dan sejenisnya.
Di dalam tiap negara, terkadang terjadi pemisahaan fungsi antara kepala negara
dengan kepala pemerintahan. Di Inggris, kepala negara dipegang oleh Ratu
Inggris, demikian pula di Jepang. Di kedua negara tersebut kepala pemerintahan
dipegang oleh Perdana Menteri. Di Indonesia ataupun Amerika Serikat, kepala
negara dan kepala pemerintahan dipegang oleh Presiden.
Party Chief berarti seorang kepala
eksekutif sekaligus juga merupakan kepala dari suatu partai yang menang pemilu.
Fungsi sebagai ketua partai ini lebih mengemuka di suatu negara yang menganut
sistem pemerintahan parlementer. Di dalam sistem parlementer, kepala pemerintahan
dipegang oleh perdana menteri yang berasal dari partai yang menang pemilu.
Namun, di negara yang menganut sistem pemerintahan presidensil terkadang tidak
berlaku kaku demikian. Di masa pemerintahan Gus Dur (di Indonesia) menunjukkan
hal tersebut. Gus Dur berasal dari partai yang hanya memenangkan 9% suara di
Pemilu 1999, tetapi ia menjadi presiden. Selain itu, di sistem pemerintahan
parlementer, terdapat hubungan yang sangat kuat antara eksekutif dan legislatif
oleh sebab seorang eksekutif dipilih dari komposisi hasil suara partai dalam
pemilu. Di sistem presidensil, pemilu untuk memilih anggota dewan dan untuk
memilih presiden terpisah.
Commander in Chief adalah fungsi mengepalai
angkatan bersenjata. Presiden atau perdana menteri adalah pimpinan tertinggi
angkatan bersenjata. Seorang presiden atau perdana menteri, meskipun tidak
memiliki latar belakang militer memiliki peran ini. Namun, terkadang terdapat
pergesekan dengan pihak militer jika yang menjadi presiden ataupun perdana
menteri adalah orang bukan kalangan militer. Sekali lagi, ini pernah terjadi di
era Gus Dur, di mana banyak instruksi-instruksinya kepada pihak militer tidak
digubris pihak yang terakhir, terutama di masa kerusuhan sektarian (agama) yang
banyak terjadi di masa pemerintahannya.
Chief Diplomat, merupakan fungsi eksekutif untuk
mengepalai duta-duta besar yang tersebar di perwakilan negara di seluruh dunia.
Dalam pemikiran trias politika John Locke, termaktub kekuasaan federatif,
kekuasaan untuk menjalin hubungan dengan negara lain. Demikian pula di konteks
aplikasi kekuasaan eksekutif saat ini. Eksekutif adalah pihak yang mengangkat
duta besar untuk beroperasi di negara sahabat, juga menerima duta besar dari
negara lain.
Dispensen Appointment merupakan fungsi eksekutif
untuk menandatangani perjanjian dengan negara lain atau lembaga internasional.
Dalam fungsi ini, penandatangan dilakukan oleh presiden, menteri luar negeri,
ataupun anggota-anggota kabinet yang lain, yang diangkat oleh presiden atau
perdana menteri.
Chief Legislation, adalah fungsi eksekutif untuk
mempromosikan diterbitkannya suatu undang-undang. Meskipun kekuasaan membuat
undang-undang berada di tangan DPR, tetapi di dalam sistem tata negara
dimungkinkan lembaga eksekutif mempromosikan diterbitkannya suatu undang-undang
oleh sebab tantangan riil dalam implementasi suatu undang-undang banyak ditemui
oleh pihak yang sehari-hari melaksanakan undang-undang tersebut.
c.
Fungsi-fungsi Kekuasaan Yudikatif
Kekuasaan
Yudikatif berwenang menafsirkan isi undang-undang maupun memberi sanksi atas
setiap pelanggaran atasnya. Fungsi-fungsi Yudikatif yang bisa dispesifikasikan
kedalam daftar masalah hukum berikut: Criminal law (petty
offense, misdemeanor,felonies); Civil law (perkawinan,
perceraian, warisan, perawatan anak); Constitution law(masalah
seputar penafsiran kontitusi); Administrative law (hukum yang
mengatur administrasi negara); International law (perjanjian
internasional).
Criminal Law, penyelesaiannya
biasanya dipegang oleh pengadilan pidana yang di Indonesia sifatnya berjenjang,
dari Pengadilan Negeri (tingkat kabupaten), Pengadilan Tinggi (tingkat
provinsi, dan Mahkamah Agung (tingkat nasional). Civil law juga biasanya
diselesaikan di Pengadilan Negeri, tetapi khusus umat Islam biasanya dipegang
oleh Pengadilan Agama.
Constitution Law, kini penyelesaiannya ditempati
oleh Mahkamah Konstitusi. Jika individu, kelompok, lembaga-lembaga negara
mempersoalkan suatu undang-undang atau keputusan, upaya penyelesaian
sengketanya dilakukan di Mahkamah Konstitusi.
Administrative Law, penyelesaiannya dilakukan di
Pengadilan Tata Usaha Negara, biasanya kasus-kasus sengketa tanah, sertifikasi,
dan sejenisnya.
International Law, tidak diselesaikan oleh badan
yudikatif di bawah kendali suatu negara melainkan atas nama Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB).
F.
Pengawasan Terhadap Trias Politica
Dalam rangka menjamin bahwa masing-
masing kekuasaan tidak melampaui batas kekuasaannya maka diperlukan suatu
sistem checks and balances system (sistem pengawasan dan
keseimbangan). Dalam checks and balances system, masing-masing
kekuasaan saling mengawasi dan mengontrol. Checks and balances system merupakan
suatu mekanisme yang menjadi tolak ukur kemapanan konsep negara hukum dalam
rangka mewujudkan demokrasi.
G.
Prinsip Check and Balance
Upaya pengawasan dan keseimbangan
antara badan-badan yang mengatur Trias Politicamemiliki prinsip-prinsip
dengan berbagai macam fariasi, misalnya:
a. The
four branches:
legislatif, eksekutif, yudikatif, dan media. Di sini media di gunakan sebagai
bagian kekuatan demokrasi keempat karena media memiliki kemampuan kontrol, dan
memberikan informasi.
b. Di
Amerika Serikat, tingkat negara bagian menganut Trias Politica sedangkat
tingkat negara adalah badan yudikatif.
c. Di
Korea Selatan, dewan lokal tidak boleh intervensi
d. Sementara
itu, di Indonesia, Trias Politica tidak di tetapkan secara
keseluruhan. Legislatif di isi dengan DPR, eksekutif di isi dengan jabatan
presiden, dan yudikatif oleh mahkamah konstitusi dan mahkamah agung.
Contoh
Negara yang Menerapkan Check and Balance
Di
Amerika Serikat sebagai kiblat konsep checks and balances system,
dalam hal pelaksanaan fungsi kontrol kekuasaan Eksekutif terhadap Legislatif,
Presiden diberi kewenangan untuk memveto rancangan undang- undang yang telah
diterima olehCongress (semacam MPR), akan tetapi veto tersebut
dapat dibatalkan oleh Congressdengan dukungan 2/3 suara dari House
of Representative (semacam DPR) dan Senate(semacam lembaga
utusan negara bagian)
Bab 10
PARTISIPASI POLITIK
A.
Pengertian Partisipasi Politik
Partisipasi politik adalah aktivitas
warganegara yang bertujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan politik.
Partisipasi politik dilakukan orang dalam posisinya sebagai warganegara, bukan
politikus ataupun pegawai negeri. Sifat partisipasi politik ini adalah
sukarela, bukan dimobilisasi oleh negara ataupun partai yang berkuasa. Menurut
Samuel P. Hontington dan Joan Nelson dalam bukunya Partisipasi Politik di
Negara Berkembang, 1994 : 6, partisipasi politik adalah kegiatan warga (private
citizen) yang bertujuan mempengaruhi keputusan oleh pemerintah. Menurut Michael
Rush dan Phillip Althoff dalam bukunya Pengantar Sosiologi dan Politik, 1993 :
23, partisipasi politik adalah keterlibatan individu sampai pada bermacam-
macam tingkatan di dalam sistem politik. Menurut Ramlan Surbekti dalam bukunya
Memahami Ilmu Politik, 1984 : 140 bahwa partisipasi politik adalah
keikutsertaan warga negara biasa dalam menentukan segala keputusan yang
menyangkut atau mempengaruhi kehidupannya.
Ruang bagi partisipasi politik
adalah sistem politik. Sistem politik memiliki pengaruh untuk menuai perbedaan
dalam pola partisipasi politik warganegaranya. Pola partisipasi politik di
negara dengan sistem politik Demokrasi Liberal tentu berbeda dengan di negara
dengan sistem Komunis atau Otoritarian. Bahkan, di negara-negara dengan sistem
politik Demokrasi Liberal juga terdapat perbedaan, seperti yang ditunjukkan
Oscar Garcia Luengo, dalam penelitiannya mengenai E-Activism: New Media and
Political Participation in Europe. Warganegara di negara-negara Eropa Utara
(Swedia, Swiss, Denmark) cenderung lebih tinggi tingkat partisipasi politiknya
ketimbang negara-negara Eropa bagian selatan (Spanyol, Italia, Portugal, dan
Yunani).
B.
Landasan Partisipasi Politik
Landasan partisipasi politik adalah
asal-usul individu atau kelompok yang melakukan kegiatan partisipasi politik.
Huntington dan Nelson membagi landasan partisipasi politik ini menjadi :
- kelas – individu-individu
dengan status sosial, pendapatan, dan pekerjaan yang serupa.
- kelompok atau komunal –
individu-individu dengan asal-usul ras, agama, bahasa, atau etnis yang
serupa.
- lingkungan – individu-individu
yang jarak tempat tinggal (domisilinya) berdekatan.
- partai – individu-individu yang
mengidentifikasi diri dengan organisasi formal yang sama yang berusaha
untuk meraih atau mempertahankan kontrol atas bidang-bidang eksekutif dan
legislatif pemerintahan, dan
- golongan atau faksi –
individu-individu yang dipersatukan oleh interaksi yang terus menerus
antara satu sama lain, yang akhirnya membentuk hubungan patron-client,
yang berlaku atas orang-orang dengan tingkat status sosial, pendidikan,
dan ekonomi yang tidak sederajat.
C.
Bentuk Partisipasi Politik
Jika mode partisipasi politik
bersumber pada faktor “kebiasaan” partisipasi politik di suatu zaman, maka
bentuk partisipasi politik mengacu pada wujud nyata kegiatan politik tersebut.
Samuel P. Huntington dan Joan Nelson membagi bentuk-bentuk partisipasi politik
menjadi :
- Kegiatan Pemilihan – yaitu
kegiatan pemberian suara dalam pemilihan umum, mencari dana partai, menjadi
tim sukses, mencari dukungan bagi calon legislatif atau eksekutif, atau
tindakan lain yang berusaha mempengaruhi hasil pemilu;
- Lobby – yaitu upaya perorangan
atau kelompok menghubungi pimpinan politik dengan maksud mempengaruhi
keputusan mereka tentang suatu isu;
- Kegiatan Organisasi – yaitu
partisipasi individu ke dalam organisasi, baik selaku anggota maupun
pemimpinnya, guna mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah;
- Contacting – yaitu upaya
individu atau kelompok dalam membangun jaringan dengan pejabat-pejabat
pemerintah guna mempengaruhi keputusan mereka, dan
- Tindakan Kekerasan (violence) –
yaitu tindakan individu atau kelompok guna mempengaruhi keputusan
pemerintah dengan cara menciptakan kerugian fisik manusia atau harta
benda, termasuk di sini adalah huru-hara, teror, kudeta, pembutuhan
politik (assassination), revolusi dan pemberontakan.
Kelima bentuk partisipasi politik
menurut Huntington dan Nelson telah menjadi bentuk klasik dalam studi
partisipasi politik. Keduanya tidak membedakan apakah tindakan individu atau
kelompok di tiap bentuk partisipasi politik legal atau ilegal. Sebab itu,
penyuapan, ancaman, pemerasan, dan sejenisnya di tiap bentuk partisipasi
politik adalah masuk ke dalam kajian ini. Klasifikasi bentuk partisipasi politik
Huntington dan Nelson relatif lengkap. Hampir setiap fenomena bentuk
partisipasi politik kontemporer dapat dimasukkan ke dalam klasifikasi mereka.
Namun, Huntington dan Nelson tidak memasukkan bentuk-bentuk partisipasi politik
seperti kegiatan diskusi politik, menikmati berita politik, atau lainnya yang
berlangsung di dalam skala subyektif individu.
D.
Partisipasi
Politik di Beberapa Bentuk Negara
1.
Partisipasi
Politik di Negara Otoriter
Di negara-negara otoriter seperti komunis pada masa lampau,
partisipasi massa umumnya diakui kewajarannya, karena secara formal kekuasaan
ada ditangan rakyat. Akan tetapi tujuan utama partisipasi massa dalam masa
pendek masyarakat adalah merombak masyarakat yang terbelakang menjadi
masyarakat modern, produktif, kuat, dan berideologi kuat. Hal ini memerlukan
disiplin dan pengarahan ketat dari monopoli partai politik.
Terutama, persentase partisipasi
yang tinggi dalam pemilihan umum di anggap dapat memperkuat keabsahan sebuah
rezim di mata dunia. Karena itu, rezim otoriter selalu mengusahakan agar
persentase pemilih mencapai angka tinggi. Dalam pemilihan umum angka
partisipasi hampir selalu mencapai lebih dari 99%. Akan tetapi perlu
di ingat bahwa sistem pemilihan umumnya berbeda dari sistem di negara
demokrasi, terutama karena hanya ada satu calon untuk setiap kursi yang
diperebutkan, dan para calon itu harus melampaui suatu proses penyaringan yang
ditentukan dan diselenggarakan oleh partai Komunis.
Dan
itu membutuhkan disiplin dan pengarahan ketat dari monopoli partai politik. Presentase
partai politik menjadi tinggi di sini sebab rezim yang ada benar-benar
ingin menunjukan ke absahannya. Dan
disini sangat berbeda dengan negara demokrasi. Sebab hanya ada satu calon dari
setiap kursi untuk di perebutkan. Dan para calon tersebut harus melewati proses
penyaringan yang di selnggarakan oleh partai komunis.
Di
sini partisipasi politik juga dapat dilakukan dengan memasuki
organisasi-organisasi yang berada dalam kontrol partai. Pemerintah juga
menghadapi dilema tentang bagaimana memperluas partisipasi tanpa mengendorkan
kontrol. Sebab akan ada bahaya timbulnya konflik yang merusak stabilitas
pemerintahan.
Negara-negara otoriter yang sudah
mapan menghadapi dilema bagaimana memperluaskan partisipasi tanpa kehilangan
kontrol yang dianggap mutlak diperlukan untuk tercapainya masyakat yang
didambakan. Jika control dikendorkan untuk meningkatkan partisipasi, maka ada
bahaya bahwa akan timbul konflik yang menganggu stabilitas.
Hal ini terjadi di Uni Soviet pada
tahun 1956 pada saat Krushchev melancarkan gerakan “Garis Baru” dalam rangka
“Destalinisasi” kehidupan politik. Dua puluh tahun kemudian pada akhir tahun
80-an, keterbukaan yang dicanangkan oleh Gorbachev melaluiglasnost (keterbukaan
dalam rangka reformasi politik) dan perestroika (reformasi ekonomi)
ternyata mengakibatkan pecahnya Uni Soviet menjadi beberapa negara pada tahun
1991. Pada saat itu pula kebanyakan negara komunis di Eropa Timur lainnya,
termasuk Uni Soviet, bergabung dengan negara-negara Barat dan Menerapkan model
demokrasi.
Pengendoran juga terjadi di China
pada thun 1956/1957. Pada awal dicetuskannya gerakan “Kampaye Seratus Bunga”
masyarakat diperbolehkan untuk menyampaikan kritik. Akan tetapi pengendoran
control tidak berlangsung lama, karena ternyata tajamnya kritik yang disuarakan
dianggap menganggu stabilitas nasional. Setelah terjadi peristiwa Tiananmen
Square pada tahun 1989 – ketika itu beberapa ratus mahasiswa kehilangan nyawa
dalam benturan dengan aparat-pemerintah memperketat kontrol kembali.
Sistem Politik Otoriter :
- Pemusatan
kekuasaan pada satu atau sekelompok orang.
- Pemerintahan tidak berdasarkan
konstitusional
- Negara berdasarkan kekuasaan
- Pembentukan
pemerintahan tidak berdasar musyawarah, tetapi melalui dekrit
- Pemilu
tidak demokratis. pemilu dijalankan hanya untuk memperkuat keabsahan
penguasa atau pemerintah negara
- Sistem
satu partai politik atau ada beberapa parpol tapi hanya ada satu porpol
yang memonopoli kekuasaan
- Menejemen pemerintahan tertutup
- Tidak ada
perlindungan HAM , hak monoritas ditindas
- Pers tidak
bebas dan sangat dibatasi
- Badan
peradilan tidak bebas dan bisa diintervensi oleh penguasa
2.
Partisipasi Politik di Negara
Demokrasi
Tidak
seperti di negara komunis yang hanya memilki satu partai, disini ada dua atau
lebih partai. Jadi partisipasi politik menjadi gambaran tentang kepedulian
masyarakat tentang keadaan pemerintahan atau keadaan politik. Disini jadi dapat
diklasifikasikan menurut intensitas masing-masing kelompok masyarakat terhadap
kegiatan politik. Seperti adanya kelompok yang benar-benar aktif secara
intensif dalam dunia politik seperti pejabat publik atau pejabat publik, elit
parpol, ketua kelompok kepentingan bahkan ada yang memasukan teroris dalam
kelompok ini. Ada pula kelompok yang berpartisipasi dalam kegiatan politik
secara temporer. Seperti tim sukses saat kampanye, anggota partai politik, dll.
Ada pula yang di sebut penonton, sebab hanya seperti pengawas dan tidak banyak
terlibat dalam kegiatan politik, seperti pe-lobby, pemilih dalam pemilu, orang
yang terlibat diskusi politik, dan pengamat dalam pembangunan politik. Dan yang
terakhir adalah kelompok yang sama sekali tak peduli dengan keadaan politik
yang di sebut golongan apolitis.
Kegiatan yang dapat dikategorikan partisipasi politik
menunjukkan pelbagai bentuk dan intensitas. Biasanya diadakan pembedaan jenis
partisipasi menurut frekuensi dan intensitasnya. Orang yang mengikuti kegiatan
secara tidak intensif, yaitu kegiatan yang tidak banyak menyita waktu dan yang
biasanya tidak berdasarkan prakarsa sendiri (seperti memberikan suara dalam
pemilihan umum) besar sekali jumlahnya. Sebaliknya, kecil sekali jumlah orang
yang secara aktif dan sepenuh waktu melibatkan diri dalam politik. Kegiatan
sebagai aktivis politik ini mencakup anatara lain menjadi pimpinan partai atau
kelompok kepentingan. Suatu bentuk partisipasi yang paling mudah diukur
intensitasnya adalah perilaku warga negara dalam pemilihan umum, antara lain
melalui perhitungan persentase orang yang mengggunakan hak pilihnya (voter
turnout) dibanding dengan jumlah seluruh warga negara yang berhak memilih.
Penelitian mengenai partisispasi politik diluar pemebrian suara dalam pemilihan
umum dilakukan oleh Gabriel A.Almond dan Sidney Verba.
Dari hasil penelitiannya yang dituangkan dalam karya klasik
Civic Culture ditemukan beberapa hal yang menarik. Dibanding dengan warga
negara di beberapa Eropa Barat, orang Amerika tidak terlalu bergairah untuk
memberi suara dalam pemilihan umum. Akan tetapi mereka lebih aktif mencari
pemecahan pelbagai masalah masyarakat serta lingkungan melalui kegiatan lain,
dan meggabungkan diri dengan organisasi-organisasi seperti organisasi politik,
bisnis, profesi, petani, dan sebagainya. Meluasnya ruang lingkup aktivitas
pemerintah sering merangsang timbulnya tuntutan-tuntutan yang terorganisasi
akan kesempatan untuk ikut serta dalam pembuatan keputusan politik. Jenis
Partisipasi Politik Partisipasi politik sangat terkait erat dengan seberapa
jauh demokrasi diterapkan dalam pemerintahan. Negara yang telah stabil
demokrasinya, maka biasanya tingkat partisipasi politik warganya sangat stabil,
tidak fluktuatif. Negara yang sedang meniti proses transisi dari
otoritarianisme menuju demokrasi disibukkan dengan frekuensi partisipasi yang
meningkat tajam, dengan jenis dan bentuk partisipasi yang sangat banyak, mulai
dari yang bersifat “konstitusional” hingga yang bersifat merusak sarana umum.
Karena begitu luasnya cakupan tindakan warga negara biasa dalam menyuarakan
aspirasinya, maka tak heran bila bentuk-bentuk partisipasi politik ini sangat
beragam. Secara sederhana, jenis partisipasi politik terbagi menjadi dua:
Pertama, partisipasi secara konvensional di mana prosedur dan waktu
partisipasinya diketahui publik secara pasti oleh semua warga.
Kedua, partisipasi secara non-konvensional. Artinya, prosedur dan
waktu partisipasi ditentukan sendiri oleh anggota masyarakat yang melakukan
partisipasi itu sendiri.
Di negara demokrasi, partisipasi dapat ditunjukan di pelbagai
kegiatan. Biasanya dibagi – bagi jenis kegiatan berdasarkan intensitas
melakukan kegiatan tersebut. Ada kegiatan yang yang tidak banyak menyita waktu
dan yang biasanya tidak berdasarkan prakarsa sendiri besar sekali jumlahnya
dibandingkan dengan jumlah orang yang secara aktif dan sepenuh waktu melibatkan
diri dalam politik. Kegiatan sebagai aktivis politik ini mencakup antara lain
menjadi pimpinan partai atau kelompok kepentingan. Di Negara yang menganut
paham demokrasi, bentuk partisipasi politik masyarakat yang paling mudah diukur
adalah ketika pemilihan umum berlangsung. Prilaku warga Negara yang dapat
dihitung itensitasnya adalah melalui perhitungan persentase orang yang
menggunakan hak pilihnya (voter turnout) dibanding dengan warga Negara yang
berhak memilih seluruhnya.
Sistem Politik Demokrasi
- Adanya pembagian kekuasaan
- Pemerintahan konstitusional
atau berdasarkan hukum
- Pemerintahan mayoritas
- Pemilu bebas atau demokratis
- Parpol lebih dari satu
- Managemen terbuka
- Pers bebas
- Perlindungan
terhadap HAM dan adanya jaminan Hak minoritas
- Peradilan bebas tidak memihak
- Penempatan
pejabat pemerintahan dengan Merit sistem
- Kebiaksanaan
pemerintah dibuat badan perwakilan politik tanpa paksaan
- Konstitusi
atau UUD yang demokratis.
- Penyelesain masalah secara
damai melalui musyawarah atau perundingan
3. Partisipasi Politik Di Negara
Berkembang
Kebanyakan negara baru yang
berkembang ingin mengejar pembangunan untuk mengejar ketertinggalan mereka. Dan
mereka cenderung membutuhkan partisipasi politik politik dari masyarakat untuk
menangani masalah-masalah yang di timbulkan dari perbedaan etnis, ras, suku,
dan agama. Yang diharapkan akan membentuk identitas nasional dan loyalitas
kepada negara.namun di beberapa negara berkembang partisipasi secara sukarela
sangat sulit di temui. Dan ini menjadi masalah, sebab jika peningkatan
partisipasi gagal maka dapat terjadi 2 hal. Yakni “anomi” atau malah
“revolusi”. Sedang dalam negara yang pembangunannya agak lancar, dimana banyak
terjadi peningkatan urbanisasi, pendidikan, dan komunikasi massa mengakibatkan
peningkatan partisipasi yang drastis juga. Melalui bermacam-macam organisasi.
Sehingga terjadi peningkatan tuntutan pada pemeintah yang dapat mengakibatkan
rusaknya stabilitas nasional menurut elit-elit politik, padahal kestabilan
nasional sangat di butuhkan untuk menjalankan kebijakan publik. Hingga, jalan
yang paling baik ialah dengan peningkatan secara bertahap, sehinga institusi
dan rakyat dapat membiasakan diri.
BAB 11
PARTAI POLITIK
A.
Pengertian
Partai Politik
Dalam kamus bahasa indonesia partai
diartikan sebagai pihak; segolongan orang; perkumpulan yang seasas; sehaluan,
setujuan dan sebagainya dalan ketatanegaraan; sekumpulan arang dagangan yang
tak tentu banyaknya. Secara umum pengertian
partai adalah sekumpulan orang yang terikat satu sama lain oleh sebuah ideologi
dan aturan tertentu untuk meraih tujuan-tujuan tertentu yang akan
dicapainya. Artinya, ideologi yang mendasari keberadaan dan gerak serta peran
partai itulah yang akan menentukan jenis dan warna partai tersebut dalam sebuah
masyarakat. Karenanya, ketika berbincang tentang partai politik Islam maka
partai tersebut berarti menjadikan Islam sebagai landasan pembangun dan
landasan gerak langkah serta landasan penentuan tujuan-tujuannya.
Dalam undang-undang partai politik
yang disahkan oleh negara menyatakan bahwa Partai Politik adalah organisasi
yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia
secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan
dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta
memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
B.
Sejarah
Partai Politik di Indonesia
Partai politik
adalah organisasi politik yang menjalani ideologi tertentu atau dibentuk dengan
tujuan khusus. Bisa juga di definisikan, perkumpulan (segolongan orang-orang)
yang seasas, sehaluan, setujuan di bidang politik. Baik yang berdasarkan partai
kader atau struktur kepartaian yang dimonopoli oleh sekelompok anggota partai
yang terkemuka. Atau bisa juga berdasarkan partai massa, yaitu partai politik
yang mengutamakan kekuatan berdasarkan keunggulan jumlah anggotanya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), partai politik berarti perkumpulan yang didirikan untuk mewujudkan
ideologi politik tertentu. Dalam sejarah Indonesia, keberadaan Partai politik
di Indonesia diawali dengan didirikannya organisasi Boedi Oetomo (BO), pada tahun
1908 di Jakarta oleh Dr. Wahidin Soediro Hoesodo dkk.
Walaupun pada waktu itu BO belum bertujuan ke politik murni, tetapi keberadaan
BO sudah diakui para peneliti dan pakar sejarah Indonesia sebagai perintis
organisasi modern. Dengan kata lain, BO merupakan cikal bakal dari organisasi
massa atau organisasi politik di Indonesia.
Pada masa
penjajahan Belanda, partai-partai politik tidak dapat hidup tentram. Tiap
partai yang bersuara menentang dan bergerak tegas, akan segera dilarang,
pemimpinnya ditangkap dan dipenjarakan atau diasingkan. Partai politik yang
pertama lahir di Indonesia adalah Indische Partij yang
didirikan pada tanggal 25 Desember 1912, di Bandung. Dipimpin oleh Tiga
Serangkai, yaitu Dr.
Setiabudi, Dr. Cipto Mangunkusumo, dan Ki
Hadjar Dewantara. Tujuan partai itu adalah Indonesia lepas dari Belanda.
Partai itu hanya berusia 8 bulan karena ketiga pemimpin masing-masing dibuang
ke Kupang, Banda, dan Bangka, kemudian diasingkan ke Belanda.
C.
Idiologi
Politik
Dalam ilmu
sosial, Ideologi politik adalah sebuah himpunan ide dan prinsip
yang menjelaskan bagaimana seharusnya masyarakat bekerja, dan menawarkan
ringkasan order masyarakat tertentu. Ideologi politik biasanya mengenai dirinya
dengan bagaimana mengatur kekuasaan dan bagaimana seharusnya
dilaksanakan.Teori komunis Karl Marx, Friedrich
Engels dan pengikut mereka, sering dikenal dengan marxisme, dianggap
sebagai ideologi politik paling berpengaruh dan dijelaskan lengkap pada Contoh ideologo lainnya
termasuk: anarkisme, kapilalisme, komunisme, komunitarianisme,
konservatisme,neoliberalisme, demokrasi, fasisme, nasionalisme, nazizme, liberalisme,
libertanialisme, sosialisme, dan democrat social. Ideologi adalah
seperangkat tujuan dan ide-ide yang mengarahkan pada satu tujuan, harapan, dan
tindakan. Jadi, ideologi politik dapat diartikan sebagai seperangkat tujuan dan
ide yang menjelaskan bagaimana suatu rakyat bekerja, dan bagaimana cara
mengatur kekuasaan.
1.
Liberalisme
Lambang Partai Buruh Inggris. Merupakan partai massa
Inggris. Partai massa merupakan kebalikan dari partai kader karena mereka lebih
menekankan pada pencarian jumlah dukungan yang banyak di masyarakat atau dengan
kata lain lebih menekankan aspek kuantitas. Kelemahan partai massa adalah bahwa
disiplin anggota biasanya lemah, juga lemahnya ikatan organisasi sesame
anggota, bahkan kadang kala tidak saling kenal, karena luasnya dukungan dari
berbagai golongan dan lapisan masyarakat. Kebebasan telah muncul sejak adanya manusia di dunia,
karena pada hakikatnya manusia selalu mencari kebebasan bagi dirinya sendiri.
Bentuk kebebasan dalam politik pada zaman dahulu adalah penerapan demokrasi di
Athena dan Roma. Tetapi, kemunculan liberalisme sebagai sebuah paham pada abad
akhir abad 17.
Liberalisme berasal dari kata liberalis yang berarti
bebas. Dalam liberalisme, kebebasan individu, pembatasan kekuasaan raja
(pemerintah), dan persaingan pemilik modal (kapital). Karena itu, liberalisme
dan kapitalisme terkadang dilihat sebagai sebuah ideologi yang sama. Liberalisme muncul pada abad ke akhir
abad 17, berhubungan dengan runtuhnya feodalisme di Eropa dan dimulainya zaman
Renaissance, lalu diikuti dengan gerakan politik masa Revolusi Prancis.
Liberalisme pada zaman ini terkait dengan Adam Smith, dikenali sebagai
liberalisme klasik. Pada masa ini, kerajaan (pemerintahan) bersifat lepas
tangan, sesuai dengan konsep Laissez-Faire. Konsep ini menekankan bahwa
kerajaan harus memberi kebebasan berpikir kepada rakyat, tidak menghalang
pemilikan harta indidvidu atau kumpulan, kuasa kerajaan yang terbatas dan
kebebasan rakyat.
Seruan
kebebasan ini dikumandangkan setelah sebelumnya pada abad 16 dan awal abad 17,
Reformasi Gereja dan kemajuan ilmu pengetahuan menjadikan masyarakat yang
tertekan dengan kekuasaan gereja ingin membebaskan diri dari berbagai ikatan,
baik agama, sosial, dan pemerintahan. Menurut Adam Smith, liberal berarti bebas
dari batasan (free from restraint), karena liberalisme menawarkan konsep hidup
bebas dari pengawasan gereja dan raja.
Di Inggris, setelah beberapa kali berlangsung perang
Napoleon, liberalisme kembali berpengaruh dengan bangkitnya Benthamites dan
Mazhab Manchester. Keberhasilan terbesar liberalisme terjadi di Amerika, hingga
menjadi dominan sejak tahun 1776 sampai sekarang. Dengan liberalisme, Amerika
sekarang menjadi sebuah negara yang besar dan dianggap polisi dunia. Di sana
kebebasan dijunjung tinggi karena hak-hak tiap warganya dijamin oleh
pemerintah. Sehingga jangan heran kalau tingkat kompetisi di sana sangat tinggi.
2. Kapitalisme
Kapitalisme
(capitalism) berasal dari kata kapital (capital), yang berarti modal. Modal
disini maksudnya adalah alat produksi, seperti tanah dan uang. Jadi, arti
kapitalisme adalah ideologi di mana kekuasaan ada di tangan kapital atau pemilik
modal, sistem ekonomi bebas tanpa batas yang didasarkan pada keuntungan, di
mana masyarakat bersaing dalam batasan-batasan ini. Menurut cara pandang kapitalisme,
setiap individu bukanlah bagian dari masyarakat, tetapi merupakan suatu pihak
yang harus berjuang untuk kepentingan sendiri. Dalam perjuangan ini, faktor
penentunya adalah produksi. Produsen unggul akan tetap bertahan, dan produsen
lemah akan tersingkir.
Kapitalisme
berawal pada zaman feodal di Mesir, Babilonia, dan Kekaisaran Roma. Ahli ilmu
sosial menyebut kapitalisme pada zaman ini sebagai commercial capitalism
(kapitalisme komersial). Kapitalisme komersial berkembang ketika pada zaman itu
perdagangan lintas suku dan kekaisaran sudah berkembang dan membutuhkan sistem
hukum ekonomi untuk menjamin keadilan perdagangan ekonomi yang dilakukan oleh
para pedagang, tuan tanah, kaum rohaniwan. Kapitalisme berlanjut menjadi sebuah hukum dan kode etik
bagi kaum pedagang. Karena terjadi perkembangan kompetisi dalam sistem pasar,
keuangan, dan lain-lain, maka diperlukan hukum dan etika yang relatif mapan.
Para pedagang membuka wacana baru tentang pasar. Setiap membicarakan pasar,
mereka membicarakan tentang komoditas, dan nilai lebih yang akan menjadi
keuntungan bagi pedagang.
Pandangan kaum
pedagang dan perkembangan pasar menyebabkan berubahnya sistem ekonomi feodal
yang dimonopoli tuan tanah, bangsawan, dan rohaniwan. Ekonomi mulai menjadi
bagian dari perjuangan kelas menengah, dan mulai berpengaruh. Periode ini
disebut dengan kapitalisme industri. Ada tiga tokoh yang berpengaruh besar pada
periode ini, yaitu Thomas Hobbes, John Locke, dan Adam Smith.
Thomas Hobbes
menyatakan bahwa setiap orang secara alamiah akan mencari pemenuhan kebutuhan
bagi dirinya sendiri. John Locke berpendapat bahwa manusia itu mempunyai hak
milik personalnya. Adam Smith menganjurkan pasar bebas dengan aturannya
sendiri, dengan kata lain, tidak ada campur tangan pemerintah di dalam pasar. Teori-teori
dari para tokoh tersebut semakin berkembang dengan adanya Revolusi Industri. Pada perkembangannya, kapitalisme
memasuki periode kapitalisme lanjut, yaitu lanjutan dari kapitalisme industri.
Pada periode ini, kapitalisme tidak hanya mengakumulasikan modal, tapi juga
investasi. Selanjutnya, kapitalis menyadari bahwa pertumbuhan ekonomi tidak
hanya berdasarkan pada faktor produksi, tetapi juga faktor jasa dan kestabilan
sistem masyarakat. Kapitalisme berkembang tidak hanya untuk terus mendapatkan
keuntungan, tetapi juga menjadi lahan pendapatan yang cukup bagi para
konsumennya. Tetapi karena pada praktiknya kapitalisme lebih banyak merugikan
kaum kelas bawah, muncullah sosialisme yang dipelopori oleh Karl Marx.
3. Sosialisme
Sosialisme
adalah paham yang bertujuan mengubah bentuk masyarakat dengan menjadikan
perangkat produksi menjadi milik bersama, dan pembagian hasil secara merata
disamping pembagian lahan kerja dan bahan konsumsi secara menyeluruh. Dalam
sosialisme setiap individu harus berusaha untuk mendapatkan layanan yang layak
untuk kebahagiaan bersama, karena pada hakikatnya, manusia hidup bukan hanya
untuk bebas, tapi juga saling menolong. Sosialisme yang kita kenal saat ini
Sosialisme sebenarnya telah lahir sebelum dicetuskan oleh Karl Marx. Orang yang
pertama kali menyuarakan ide sosialisme adalah Francois Noel Babeuf, pada abad
18. Kemudian muncul tokoh lain seperti Robert Owen di Inggris, Saint Simon dan
Fourier di Perancis. Mereka mencoba memperbaiki keadaan masyarakat karena
terdorong oleh rasa perikemanusiaan tetapi tidak dilandasi dengan konsep yang
jelas dan dianggap hanya angan-angan belaka, karena itu mereka disebut kaum
sosialis utopis.
Karl Marx juga
mengecam keadaan masyarakat di sekelilingnya, tapi ia menggunakan hukum ilmiah
untuk mengamati perkembangan masyarakat, bukan sekadar harapan dan tuntutan
seperti yang dilakukan oleh kaum sosialis utopis. Marx menamakan idenya sebagai
sosialisme ilmiah. Setelah itu, pada abad 19, sosialisme ilmiah marx diadopsi
oleh Lenin, hingga tercipta komunisme. Komunisme lebih radikal daripada
sosialisme, karena dalam komunisme diajarkan untuk memberontak dan merebut
kekuasaan dengan Partai Komunis sebagai pemimpinya. Inilah yang lebih dikenal
sebagai sosialisme sampai saat ini.
Dari pembahasan
di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap ideologi politik mempunyai dampak besar
bagi kehidupan manusia. Dalam sistem liberalisme dan kapitalisme manusia hidup
berkompetisi dalam kebebasan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dan negara
tidak boleh mencampuri hidup pribadi warga negaranya, namun di sisi lain,
rakyat kelas bawah seringkali menjadi pihak yang dirugikan. Sedangkan
sosialisme lebih mementingkan kesejahteraan yang merata bagi rakyatnya, dengan
mengorbankan hak milik pribadi warga negaranya.
4.
Idiologi
Politik Yang Lain
Ø Anarkisme /
anti otoriter, atau
maupun Anomie, a-: tanpa,
dan nomos: hukum atau peraturan, tanpa norma, tanpabudaya, tanpa adat, keadaan yang
kacau, tanpa peraturan. Seperti acara tanpa program. Anomie juga merupakan
bentuk penyimpangan masyarakat dan penyimpangan
sosial karena ketidak pedulian terhadap aturan yang
berlaku, yang seharusnya mengikat perilaku mereka agar menyimpang dari aturan.
Beberapa contoh anarkisme:
·
Crypto-anarchism
·
Collectivist anarchism
·
Anarcha-feminism
·
Anarcha-feminism
·
Psychoanalytic feminism
·
Socialist feminism
·
Separatist feminism
·
Anarko-Sindikalisme, percaya
terhadap metode aksi langsung, instant sindikalisme, candak langsung
(dengan atau tanpa negosiasi rundingan) — yaitu, aksi yang secara langsung
memperoleh keuntungan, sebagai lawan dari aksi tak langsung, seperti memilih
perwakilan untuk duduk dalam pemerintahan.
D.
Sistem dan
Klasifikasi Partai Politik
a.
Sistem
Partai Politik
1. Sistem satu partai / Sistem partai tunggal
Dalam system ini terdapat dua variasi : pertama, di Negara tersebut
hanya terdapat satu partai yang boleh hidup dan berkembang. Kedua , partai
tunggal mendominasi kehidupan kepartaian, tidak ada suasana bersaing karena
partai lainnya harus menerima kepemimpinan dari partai tersebut. Beberapa Negara baru, terutama di
Negara Afrika, juga mengambil system partai tunggal. Pilihan mereka didasarkan
pertimbangan perlu adanya Integrasi Nasional yang kuat. Pada umumnya Negara –
Negara baru mengalami ancaman perpecahan karena masalah golongan, suku, ras dan
agama yang sangat berbeda dan saling bersaing. Diharapkan masalah perpecahan
dan perbedaan dapat di atasi bila ada partai politik yang kuat serta dominant,
karena di kuatirkan dengan tidak adanya partai yang kuat maka mudah terjadi
perpecahan yang dapat mengancam kelangsungan hidup berbangsa. Dilain pihak,
dengan system satu partai yang kuat dapat mematikan aspirasi dari
kelompok-kelompok kecilyang terjelma dalam partai-partai kecil. Dengan kata
lain aspirasi mereka dikuatirkan akan tenggelam karena dominasi partai besar
tersebut.
Giovanni Sartori, seorang pakar studi partai politik menegaskan bahwa tipe
partai tunggal tidak bias di masukkan dalam kategori system kepartaian, karena
suatu system pada dasarnya membutuhkan lebih dari satu unit untuk dapat bekerja
sebagai system.
2. Sistem dua partai
Pengertian dua
partai merujuk pada 3 kemungkinan :
1.
memang hanya dua partai besar yang
mendominasi sementara partai-partai lain terlalu kecil untuk memiliki
signifikansi politik
2.
Adanya dua partai di mana salah satu
berperan sebagai partai berkuasa sedangkan yang lain menjadi oposisi secara
bergantian.
3.
Adanya satu partai dominant yang
biasanya memerintah sendiri dengan sebuah partai lain yang selalu menjadi
kekuatan oposan.
Negara-negara
yang terkenal dengan system dua partai ialah Inggris (dengan partai
konservafatif dan partai buruh) dan Amerika Serikat (dengan partai Republik dan
Partai Demokrat). Sistem dua partai di Inggris di anggap paling ideal. Sistem
dua partai dapat berjalan di Inggris karena didukung oleh beberapa factor di
antaranya masyarakat yang homogen, tradisi politik yang sudah berakar sebagai
dasar budaya politik Inggris serta pengawasan terhadap aturan permainan politik
sebagai consensus masyarakat yang harus di taati oleh segenap lapisan
masyarakat. Sistem dua
partai biasanya dilaksanakan dengan pemilihan yang berdasarkan atas system
simple majority di mana setiap daerah pemilihan hanya diwakili oleh satu wakil.
Kekuatan Sistem
dua partai adalah memudahkan terbentuknya integrasi nasional, karena partai
yang kecil lebih cenderung bergabung dengan salah satu partai yang dominan jika
partai yang besar itu merasa perlu mendapatkan dukungan tambahan, atau
bergabung dengan partai kecil lain (misalnya Partai Liberal dan Partai Sosial
Demokrat di Inggris yang membentuk koalisi yang disebut ALLIENCE). Keuntungan
lain adalah adanya pengawasan (control) yang terus menerus dari partai oposisi. Kelemahan dari system ini adalah
memudahkan timbulnya polarisasi antara partai yang berkuasa dan partai yang
beroposisi. Bahaya ini terutama bias muncul di Negara-negara yang kadar
consensus nasionalnya masih rendah, seperti di banyak Negara dunia ketiga.
3. Sistem multi partai
Pengertian sistem banyak partai menunjuk adanya lebih dari dua partai.
Negara-negara seperti Belanda, Belgia dan Norwegia menjalankan sistem multi
partai sejak lama.
Dalam
pelaksanaanya, perlu dibentuk pemerintahan koalisi dari beberapa partai karena
tidak ada partai yang cukup kuat untuk membentuk suatu pemerintahan yang
mandiri. Adakalanya
usaha membentuk pemerintah koalisi mengalami kegagalan karena partai-partai
yang berupaya membentuk pemerintah koalisi tidak mencapai persetujuan.
Sistem banyak partai ini sering ditemukan dalam Negara-negara yang memakai
system pemilihan berdasarkan perwakilan berimbang (proportional
representation). Sistem ini memberi kesempatan kepada partai kecil untuk
memenangakan beberapa kursi.
Partai kecil
dapat menarik keuntungan jika dapat membentuk pemerintahan koalisi. Secara
proporsional mereka dapat ikut menentukan terbentuknya pemerintah yang akan
membuat kebijakan umum.
Kelemahan
sistem banyak partai yang paling utama adalah bahwa banyaknya partai yang
merupakan wakil kelompok dan golongan menyulitkan terbentuknya konsensus
nasional.
Dari pembahasan system kepartaian di atas dapat kita tarik beberapa
kesimpulan :
1.
Masing-masing system punya kelemahan
dan kekuatan.
2.
Masing-masing system menuntut
terpenuhinya beberapa prasyarat agar system tsb dapat berjalan dengan baik di
suatu Negara.
3.
Setiap Negara mempunyai latar belakang
sejarah dan tradisi politik yang sangat berpengaruh dalam pemilihan system
kepartaian Negara tsb.
4.
Banyak Negara baru, termasuk Indonesia,
pernah mengalami masa kepartaian dengan berbagai bentuk dan variasinya. Dengan
katablain system kepartaian selalu berkembang sesuai kebutuhan dan tuntutan
masyarakat. Dapat dikatakan bahwa pembangunan politik biasanya diikuti oleh
perkembangan kehidupan system kepartainnya.
4.
Sistem
Multi Partai di Inggris
Inggris menggunakan sistem dwipartai. Di Inggris berdiri
2 partai yang saling bersaing dan memerintah. Partai tersebut adalah:
Partai yang menang dalam pemilu dan
mayoritas di parlemen merupakan partai yang memerintah, sedangkan partai yang
kalah menjadi partai oposisi.
Sistem
kepartaian telah berlangsung sejak abad ke-18. Banyak partai politik di UK
namun hanya ada 2 partai besar, yaitu: Partai Konservatif dan Partai Buruh yang
selalu bergantian memegang Pemerintahan. Partai terbesar ketiga adalah Partai
Liberal Demokrat (LDP). Baik Partai Buruh maupun Partai Konservatif mempunyai
pendukung tradisional. Partai Konservatif mempunyai pendukung kuat di daerah
pedesaan, sedangkan Partai Buruh mempunyai pendukung kuat di daerah perkotaan,
perindustrian, pertambangan dan pemukiman kelas pekerja. Wilayah Wales dan
wilayah Skotlandia juga merupakan daerah pendukung kuat Partai Buruh. Sejak
Perang Dunia Kedua berakhir, Partai Konservatif telah berhasil memenangkan
pemilu sebanyak delapan kali, terakhir pada pemilu tahun 1992. Sedangkan Partai
Buruh telah memenangkan tujuh pemilu, termasuk pemilu terakhir pada tahun 2007.
Negara Inggris
dikenal sebagai induk parlementaria (the mother of parliaments) dan pelopor
dari sistem parlementer. Inggrislah yang pertama kali menciptakan suatu
parlemen workable. Artinya, suatu parlemen yang dipilih oleh rakyat melalui
pemilu yang mampu bekerja memecahkan masalah sosial ekonomi kemasyarakatan.
Melalui pemilihan yang demokratis dan prosedur parlementaria, Inggris dapat
mengatasi masalah sosial sehingga menciptakan kesejahteraan negara (welfare
state). Sistem pemerintahannya didasarkan pada konstitusi yang tidak tertulis
(konvensi). Konstitusi Inggris tidak terkodifikasi dalam satu naskah tertulis,
tapi tersebar dalam berbagai peraturan, hukum dan konvensi. Dan berdasarkan
Konstitusinya, Inggris menganut sistem dwipartai, yaitu terdapat 2 partai yang saling
bersaing dan memerintah.
Budaya politik
rakyat Inggris adalah partisipatif dalam proses politik, mendukung otoritas
pemerintah yang sedang berkuasa, dan mendukung penegakan rule of law. Hal
inilah yang menyebabkan pemerintah menjadi relatif stabil, karena pemerintah
konsisten menjalankan apa yang diamanatkan rakyat kepadanya. Pemerintah yang
tengah berkuasa pun mendapat legitimasi penuh dari rakyat. Rakyat Inggris
memiliki loyalitas tinggi terhadap kerajaan. Rakyat Inggris juga merupakan
pecinta tradisi kerajaan, hal ini bisa dilihat dari antusiasme mereka dalam
acara-acara besar kerajaan, misalnya pernikahan. Bagi rakyat Inggris, tradisi
kerajaan merupakan tradisi yang harus dijaga. Tradisi kerajaan juga menjadi
kebanggaan rakyat Inggris yang hingga kini masih mereka pegang teguh.
5. Kedudukan monarki kerajaan dan politik di Inggris
Pada dasarnya monarki adalah system pemerintahan yang di lakukan oleh
kerajaan. Tapi ada beberapa hal yang membedakan monarki di inggris dengan
monarki di Negara lain. inggris menganut system monarki yang kekuasaan nya
tidak mutlak di pegang oleh ratu. Ada beberapa eleman lain yang terkait jika
mengambil kebijakan.
Ada beberapa
pokok dasar hokum yang harus di patuhi oleh roda pemerintahan inggris. Antara
lain : adanya oposisi, ratu adalah symbol keagungan tapi tidak boleh ikut
campur dalam kebijakan politik, system dwi partai, ddl.
Inggris menunjukan bahwa monarki yang mereka anut tidak tergantung terhadap
kekuasaan raja atau ratu. Mereka hanyalah symbol di agungkan , tapi tidak punya
kekuatan dalam pemerintahan . itulah kenapa setiap kebijakan politik inggris
selalu di lakukan oleh perdana menteri yang di pilih.
6.
Sistem Dua
Partai di Amerika Serikat
Sampai sekarang Amerika masih memiliki sistem dua partai (two-party system),
yakni :
Sejak tahun
1852, kedua partai ini menguasai dan memenangi pemilihan Presiden Amerika
Serikat dan sejak tahun 1856 kedua partai ini juga mengendalikan kongres
Amerika Serikat. Kedua partai ini tentunya memiliki pendukungan masing-masing.
Seperti partai republik yang cederung di dukung oleh kalangan kulit putih dan
demokrat cenderung di dukung oleh kalangan kulit hitam. Partai Demokrat
memposisikan dirinya sebagai “sayap kiri” yang berasaskan prinsip liberalisme,
sedangkan dari kubu Republik memposisikan dirinya sebagai “sayap kanan” yang
bersifat konservatis. Tentunya partai itu sendiri tentunya memiliki peranan dan
fungsi tertentu dalam sistem politik Amerika Serikat. Partai tentunya berfungsi
untuk merekrut kandidat baik untuk lokal, negara bagian dan national offices.
Partai juga berfungsi untuk melatih dan membantu para kandidat dalam berbagai
macam kampanye, partai mendapatkan dan menggunakan dana kampanye. Selain itu
partai juga membantu menarik pemilih untuk memilih kandidat melalui organisasi
sukarelawan rakyat, bank telpon, dll. Partai juga memudahkan atau
menyederhanakan pemilu (Melusky 2000, 98). Fungsi lainnya yakni sebagai suatu
grup mereka berusaha untuk berpartisipasi dan mempengaruhi jalannya
pemerintahan, dengan kandidat anggota terpilih yang mempunyai posisi di
pemerintahan. Partai politik ini juga berfungsi untuk membentuk dan
mempengaruhi opini public, tujuannya agar public mendukung serta memberikan
vote pada partai tersebut. Di bidang legislative partai juga mempunyai fungsi
yakni sebagai partai mayoritas atau minoritas, anggota memberikan vote
berdasarkan kepentingan partai. Partai juga turut mempengaruhi keputusan hukum,
hal ini berkaitan dengan posisi, apabila hakim tersebut adalah seorang
democrat, maka ia akan berpikiran dengan cara democrat, sebaliknya apabila
hakim tersebut seorang republic, maka ia akan berpikiran dengan cara republik.
Selain fungsi,
partai juga mempunyai peran yakni di antaranya mencapai kekuatan politik di
pemerintahan, biasanya melalui kampanye pemilihan berusaha untuk mencari basis
pendukung dengan penyampaian ide-ide mereka. Partai tentunya memiliki suatu
ideology dan visi yang berbeda-beda namun tidak tertutup kemungkinan partai
tersebut berkoalisi dengan partai lainnya. Partai juga berperan sebagai wadah
bagi orang-orang yang memiliki interest terhadap dunia politik dan ingin
berpartisipasi dalam mewujudkan kesamaan kepentingan mereka. Selain dua partai
besar yang menguasai Amerika yakni democrat dan republic, ada pula suatu partai
yang disebut sebagai “third party”. Partai ketiga ini berfungsi sebagai wadah
bagi orang-orang yang memiliki visi lain di luar republic dan democrat. Partai
ketiga ini cenderung mengambil simpati orang-orang dengan mengangkat suatu isu
yang spesifik misalnya tentang lingkungan yang diusung oleh Green Party. Partai
ketiga ini juga memiliki kedudukan di kongres, dua partai besar yakni republic
dan democrat biasanya membentuk aliansi dengan para pendukung partai ketiga
agar dua partai besar ini mendapatkan suara dari partai ketiga.
Berdasarkan
paparan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa partai politik di Amerika
Serikat memiliki beberapa peran dan fungsi. Dengan adanya peran dan fungsi
tersebut diharapkan partai politik mampu menjalankannya sehingga akan terbentuk
situasi politik yang kondusif dan segala kegiatan di Kongres berjalan dengan
semestinya. Partai politik juga turut mempengaruhi jalannya pemerintahan.
Selain mempunyai peran dan fungsi, tentunya partai politik tersebut juga
memiliki tanggung jawab yakni menjunjung nilai demokratis dalam dunia
perpolitikan Amerika. Utamanya, partai politik sebagai suatu wadah mampu untuk
menampung ide-ide baik dari anggota maupun masyarakat dan berusaha untuk
mewujudkannya. Amerika Serikat dengan dua partai besarnya yakni Demokrat dan
Republik dengan segala perbedaannya tetap memiliki suatu peran dan fungsi yang
sama yakni bagaimana mewujudkan Amerika agar memiliki situasi yang stabil
melalui pengaruh partai mereka terhadap sistem pemerintahan dengan segala konflik
yang ada .
b.
Klasifikasi
Partai Politik
Klasifikasi
partai politik dapat didasarkan atas beberapa hal antara lain :
Dari segi
komposisi, fungsi keanggotaan dan dasar ideologinya. Dalam klasifikasi
berdasarkan komposisi dan fungsi keanggotaan, partai politik dapat dibagi dalam
dua golongan, yaitu partai kader dan partai massa. Partai kader biasanya lebih
mementingkan keketatan, disiplin dan kualitas anggota. Kelemahan partai kader
ini teutama dalam mencari dukungan, biasanya mereka kalah dalam persaingan mengumpulkan
jumlah dukungandi masyarakat luas karena dianggap anggota partai kader terbatas
pada kelompok-kelompok tertentu. Partai massa merupakan kebalikan dari partai kader karena
mereka lebih menekankan pada pencarian jumlah dukungan yang banyak di masyarakat
atau dengan kata lain lebih menekankan aspek kuantitas. Kelemahan partai massa
adalah bahwa disiplin anggota biasanya lemah, juga lemahnya ikatan organisasi
sesame anggota, bahkan kadang kala tidak saling kenal, karena luasnya dukungan
dari berbagai golongan dan lapisan masyarakat. Perkembangn partai massa sebenarnya berawal dari partai
kader. Partai – partai kader yang sebelumnya masih terbatas keanggotaannya pada
kalangan tertentu mulai membuka diri untuk keanggotaan yang lebih luas.
Pada tahun 1966,
Otto von Kircheimer menambahkan lagi sebuah jenis partai berdasarkan
keanggotaannya, yang disebut partai catch-all. Partai jenis ini adalah
perkembangan lebih lanjut dari partai massa. Pada tahun 1980-an, Richard S. katz dan Peter Mair
menambahkan lagi sebuah jenis partai berdasarkan perkembangan kecenderungan
Negara-negara Barat untuk memberikan subsidi bagi partai-partai politik yang
ada dan meningkatnya peran media elektronik dalam kampanye pemilu. Katz dan
Mair mengutip kesuksesan kerja sama tiga partai politik Austria (the socialist
Party, the people’s Party and the freedom Party), yang berhasil mempertahankan
kemenangannya dalam pemilu selama bertahun-tahun.
Klasifikasi
partai politik dapat juga didasarkan atas sifat dan orientasinya. Dalam hal ini
partai politik dibagi atas partai lindungan dan partai ideologi atau asas.
Partai lindungan umumnya memiliki organisasi nasional yang kendor, meskipun
pada tingkat lokal sering kalicukup ketat. Partai ideologi atau partai asas, adalah partai yang
mengikat diri pada ideologi atau asas tertentu dalam menyusun program kerja
partainya. Klaus von Beyme pada tahun 1985 dalam bukunya Political Parties in
western Democracies, mengklasifikasikan 9 kelompok partai yang selama ini
berkembang di Eropa Barat berdasarkan ideologinya (familles spiritualles)
yaitu :
1.
Partai Liberal dan Radikal.
2.
Partai Konservatif.
3.
Partai Sosialis dan Sosial Demokrat.
4.
Partai Kristen Demokrat.
5.
Partai Komunis.
6.
Partai Agraris.
7.
Partai Regional dan Etnis.
8.
Partai Ekstrim Kanan.
9.
Gerakan Ekonomi/Lingkungan.
Von Beyme tidak menutup kemungkinan bahwa ada
partai-partai politik dengan ideologi lain yang kemudian tidak bisa dimasukkan
dalam klasifikasi yang ia buat.
Orientasi para
pemilih tersebut bisa dikelompokan menjadi empat klasifikasi yang muncul dalam
masyarakat bersamaan dengan perkembangan sosial politik di Negara itu sendiri,
yaitu:
1.
Pusat daerah (centre-periphery)
2.
Negara gereja (state-church)
3.
Ladang Industri (land-industri)
4.
Pemilik modal pekerja (owner-worker)
E.
Fungsi dan
Struktur Partai Politik
a.
Fungsi
Partai Politik
Sesuai dengan
isi pada Pembukaan UUD 1945 dan Batang Tubuh UUD 1945 bahwa Indonesia menganut
sistem multi partai yaitu sistem yang pada pemilihan kepala negara atau
pemilihan wakil-wakil rakyatnya dengan melalui pemilihan umum yang diikuti oleh
banyak partai. Sistem multi partai dianut karena keanekaragaman yang dimiliki
oleh negara Indonesia sebagai negar kepulaaan yang di dalamnya terdapat
perbedaan ras, agama, atau suku bangsa adalah kuat,golongan-golongan masyarakat
lebih cenderung untuk menyalurkan ikatan-ikatan terbatas (primodial) tadi dalam
saru wadah saja.
Di dalam sistem
demokrasi yang ada di Indonesia. Partai politik diselenggarakan dengan tujuan
sebagai berikut:
1. Sarana
Komunikasi Politik
Yang dimaksud fungsi partai politik sebagai sarana
komunikasi politik adalah partai politik menjalankan tugas menyalurkan berbagai
pendapat dan aspirasi masyarakat kepada pemerintah. Langkah-langkah yang
ditempuh partai politik dalam menjalankan fungsi ini seperti berikut.
·
Partai politik menampung
pendapat-pendapat dan aspirasi-aspirasi yang datang dari masyarakat.
·
Partai politik menggabungkan
pendapat-pendapat dan aspirasi masyarakat yang senada.
·
Selanjutnya, partai politik
merumuskan pendapat-pendapat atau aspirasi-aspirasi masyarakat sebagai usul
kebijaksanaan. Usul kebijaksanaan tersebut dimasukkan dalam program partai
untuk diperjuangkan atau disampaikan kepada pemerintah agar dijadikan kebijakan
publik (public policy).
2.
Sarana Sosialisasi Politik
Sosialisasi politik dapat diartikan
sebagai upaya pemasyarakatan politik agar dikenal, dipahami, dan dihayati oleh
masyarakat. Usaha sosialisasi politik berkaitan erat dengan usaha partai politik untuk
menguasai pemerintahan melalui kemenangan dalam pemilihan umum. Dalam usaha
menguasai pemerintahan, partai politik harus memperoleh dukungan seluas
mungkin. Oleh karena itu, partai politik berusaha menciptakan ”image” kepada
masyarakat luas bahwa ia memperjuangkan kepentingan umum. Itulah upaya
sosialisasi politik yang dapat dilakukan oleh partai politik.
Bentuk sosialisasi politik lain yang
dapat dilakukan oleh partai politik seperti berikut. Partai politik berusaha
mendidik anggota-anggotanya menjadi manusia yang sadar akan tanggung jawabnya
sebagai warga negara dan menempatkan kepentingan diri sendiri di bawah
kepentingan nasional. Selain itu, partai politik juga berupaya memupuk
identitas nasional dan integrasi nasional.
Proses sosialisasi dapat dilakukan
dengan berbagai cara. Misalnya, dengan ceramah-ceramah penerangan, kursus kader,
dan kursus penataran. Biasanya proses sosialisasi berlangsung dalam kurun waktu
yang cukup lama dan berkesinambungan. Ibaratnya, sosialisasi berjalan
berangsur-angsur sejak kanak-kanak sampai dewasa.
3. Sarana
Rekrutmen Politik
Partai politik mempunyai tanggung
jawab melaksanakan rekrutmen politik. Artinya, partai politik berfungsi untuk
mencari dan mengajak orang yang berbakat untuk turut aktif dalam kegiatan
politik sebagai anggota partai. Dalam pengertian ini berarti partai politik
turut serta memperluas partisipasi politik dalam masyarakat. Usaha rekrutmen
politik ini dapat dilakukan dengan cara kontak pribadi, persuasi (pendekatan),
dan menarik golongan muda untuk dididik menjadi kader yang akan menggantikan
pemimpin lama pada masa mendatang.
4. Sarana
Pengatur Konflik
Dalam kehidupan demokrasi,
terjadinya gejolak-gejolak sosial seperti persaingan dan perbedaan pendapat
dalam masyarakat merupakan satu hal yang wajar terjadi. Mengapa demikian?
Alasannya, dalam kehidupan demokrasi terdapat jaminan kebebasan untuk
berpendapat dan berorganisasi. Dalam hal berpendapat dan berorganisasi, setiap
orang mempunyai pandangan masing-masing yang berbeda antara orang yang satu
dengan orang yang lain. Perbedaan
itulah yang kadang menjadi penyebab timbulnya persaingan dan berkembang menjadi
konflik (masalah). Jika sudah demikian, partai politik segera menjalankan
fungsinya sebagai pengatur konflik. Partai politik berusaha menyelesaikan
konflik secara damai dan berusaha menjadi penengah yang bersifat netral.
5. Sarana
Artikulasi Kepentingan
Fungsi
partai politik sebagai
sarana artikulasi politik maksudnya adalah partai politik bertugas menyatakan
kepentingan warga masyarakat kepada pemerintah dan badan-badan politik yang
lebih tinggi. Contoh bentuk artikulasi kepentingan yang dilakukan oleh partai
politik adalah pengajuan permohonan secara individual kepada anggota dewan
kota, parlemen, pejabat pemerintahan, atau dalam masyarakat tradisional kepada
kepala desa atau kepala suku.
6. Sarana
Agregasi Kepentingan
Dalam fungsi ini, tugas partai
politik adalah merumuskan program politik yang mencerminkan gabungan
tuntutan-tuntutan dari partai-partai politik yang ada dalam pemerintahan dan
menyampaikannya kepada badan legislatif. Selain itu, partai politik juga
melakukan tawar-menawar dengan calon-calon pejabat pemerintah yang diajukan
dalam bentuk penawaran pemberian dukungan bagi calon-calon pejabat pemerintah
dengan imbalan pemenuhan kepentingan-kepentingan partai politik.
b. Struktur
Partai Politik
Di bawah ini
adalah beberapa penjabaran apa yang dimaksud dengan kelompok kepentingan,
kelompok elit, kelompok birokrasi dan massa.
1.
Kelompok Kepentingan
Kelompok
kepentingan (intrest group) adalah suatu kelompok yang mempunyai tujuan untuk
memperjuangkan “kepentingan” dan mempengaruhi lembaga-lembaga politik agar
mendapatkan keputusan yang menguntungkan atau menghindarkan keputusan yang
merugikan. Kelompok ini
tidak berusaha untuk menempatkan wakil-wakilnya dalam dewan perwakilan rakyat,
melainkan cukup mempengaruhi satu atau beberapa partai di dalamnya atau
instansi pemerintah atau menteri yang berwenang. Contohnya kelompok-kelompok
2.
Kelompok Elit
Kelompok elit
adalah kelompok yang terorganisisr yajgn anggota-anggotanya mempunyai
orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuannya yaitu untuk
memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik, biasanya dengan
cara konstitusional
Contohnya yaitu
elit politik yang di dalamnya terdapat kader-kader yang nantinya akan dipilih
melalui pemilihan ketua umum partai. Pemilihan ini diikuti oleh anggota-anggota
yang terdaftar di dalam partai tersebut.
3.
Kelompok Birokrasi
Suatu kelompok
yang memiliki peranan dalam prroses terciptanya suatu kebijakan umum yang
diambil dari bawah ke atas atau dari atas ke bawah yang keputusan itu sangat
bermanfaat. Contohnya
Pembuatan SKCK yang prosesnya dimulai dari tingkata terkecil yaitu RT, RW dan
dilanjutkan Kelurahan sebelum SKCK dibuat di POLSEK ataupun POLRES.
4.
Massa
Massa merupakan sekumpulan orang yang berpatisipasi dalam proses pemilihan
pemimpin-pemimpin politik dan turutn serta secara langsung atau tidak langsung
dalam pembentukan kebijakan umum yang merupakan tujuan dari terbentuknya partai
politik.
F.
Tipe Partai Politik
Tipe-tipe partai politik dari para ahli cukup banyak, dan
ini cukup membingungkan. Namun, aneka klasifikasi tipe partai politik tersebut
diakibatkan sejumlah sudut pandang. Misalnya, ada yang mengkaitkan dengan
kesejarahan, hubungan sosial, berakhirnya perang ideologi, dan sebagainya.
Tulisan ini sengaja akan memuat sejumlah pandangan para ahli
ilmu politik mengenai klasifikasi partai politik. Salah satu yang melakukannya
adalah Richard S. Katz. Katz membagi tipe partai politik menjadi 4 tipe, yaitu:
1. Partai
Elit –
Partai jenis ini berbasis lokal, dengan sejumlah elit inti yang menjadi basis
kekuatan partai. Dukungan bagi partai elit ini bersumber pada hubungan client
(anak buah) dari elit-elit yang duduk di partai ini. Biasanya, elit yang duduk
di kepemimpinan partai memiliki status ekonomi dan jabatan yang terpandang. Partai
ini juga didasarkan pada pemimpin-pemimpin faksi dan elit politik, yang
biasanya terbentuk di dalam parlemen.
2. Partai
Massa –
Partai jenis ini berbasiskan individu-individu yang jumlahnya besar, tetapi
kerap tesingkirkan dari kebijakan negara. Partai ini kerap memobilisasi massa
pendukungnya untuk kepentingan partai. Biasanya, partai massa berbasiskan kelas
sosial tertentu, seperti “orang kecil”, tetapi juga bisa berbasis agama.
Loyalitas kepada partai lebih didasarkan pada identitas sosial partai ketimbang
ideologi atau kebijakan.
3. Partai
Catch-All –
Partai jenis ini di permukaan hampir serupa dengan Partai Massa. Namun, berbeda
dengan partai massa yang mendasarkan diri pada kelas sosial tertentu, Partai
Catch-All mulai berpikir bahwa dirinya mewakili kepentingan bangsa secara
keseluruhan. Partai jenis ini berorientasi pada pemenangan Pemilu sehingga
fleksibel untuk berganti-ganti isu di setiap kampanye. Partai Catch-All juga
sering disebut sebagai Partai Electoral-Professional atau Partai
Rational-Efficient.
4. Partai
Kartel -
Partai jenis ini muncul akibat berkurangnya jumlah pemilih atau anggota partai.
Kekurangan ini berakibat pada suara mereka di tingkat parlemen. Untuk mengatasi
hal tersebut, pimpinan-pimpinan partai saling berkoalisi untuk memperoleh kekuatan
yang cukup untuk bertahan. Dari sisi Partai Kartel, ideologi, janji pemilu,
basis pemilih hampir sudah tidak memiliki arti lagi.
5. Partai
Integratif -
Partai jenis berasal dari kelompok sosial tertentu yang mencoba untuk melakukan
mobilisasi politik dan kegiatan partai. Mereka membawakan kepentingan spesifik
suatu kelompok. Mereka juga berusaha membangun simpati dari setiap pemilih, dan
membuat mereka menjadi anggota partai. Sumber utama keuangan mereka adalah dari
iuran anggota dan dukungan simpatisannya. Mereka melakukan propaganda yang
dilakukan anggota secara sukarela, berpartisipasi dalam bantuan-bantuan sosial.
G.
Peranan
Wanita Dalam Partai Politik
Sebelum
lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia, peran perempuan sudah dalam dunia
politik sudah ada, karena Sejarah Indonesia mencatat seorang tokoh bernama
Gayatri Rajapatni (Ratu di atas segala Ratu) yang wafat pada tahun 1350 yang
diyakini sebagai perempuan di balik kebesaran Kerajaan Majapahit. Majapahit
merupakan kerajaan Hindu-Budha yang di mata banyak orang tidak mungkin
memberikan ruang bagi perempuan untuk berpolitik. Tetapi hasil kajian yang
dilakukan oleh mantan Dubes Canada untuk Indonesia (Earl Dark, ia juga sebagai
sejarawan) membuktikan, bahwa puncak kejayaan Majapahit tercapai karena peran
sentral Gayatri, istri Raden Widjaya, ibunda ratu ketiga Majapahit,
Tribhuwanatungga-dewi, sekaligus nenek dari Hayamwuruk, raja terbesar di
sepanjang sejarah Kerajaan Majapahit. Gayatri tidak pernah menjabat resmi
sebagai ratu, tetapi peran politiknya telah melahirkan generasi politik yang
sangat luar biasa di Nusantara kala itu.
Diera
Kolonialisme Belanda kita mengenal RA Kartini, ia lahir sebagai pemimpin
perempuan yang memperjuangkan kebebasan dan peranan perempuan melalui
emansipasi dalam bidang pendidikan. Berkat pemikiran-pemikiran yang ia
lahirkan, sehingga sampai saat ini pemikirannya masih menjadi bahan kajian para
Kartini masa kini. Tokoh Supeni, dikenal sebagai politikus wanita yang
menduduki berbagai jabatan penting di Indonesia. Ia pernah menjabat sebagai
anggota DPR sekaligus anggota Konstituante melalui partai PNI. Sebagai
diplomat, ia pernah menjabat sebagai duta besar luar biasa dan berkuasa penuh
untuk Amerika Serikat dan duta besar keliling di zaman Presiden Soekarno.
Sebagai salahsatu contoh lagi yakni Dra. Khofifah Indar Parawansa, ia
adalah Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan pada Kabinet Persatuan Nasional.
Adapun karir politiknya yakni: (1) Pimpinan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan
DPR RI (1992-1997); (2) Pimpinan Komisi VIII DPR RI (1995-1997); (3) Anggota
Komisi II DPR RI (1997-199) ; (4) Wakil Ketua DPR RI (1999); (5)
Sekretaris Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa MPR RI (1999); (6) Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan (1999-2001); (7) Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana
Nasional (1999-2001); ( Ketua Komisi VII DPR RI (2004-2006); (9) Ketua
Fraksi Kebangkitan Bangsa MPR RI (2004- 2006); (10) Anggota Komisi VII DPR RI
(2006).
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Pasal 1 ayat (2) menyatakan
bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar”. Makna dari “kedaulatan berada di tangan rakyat” adalah
bahwa rakyat memiliki kedaulatan, tanggung jawab, hak dan kewajiban untuk
secara demokratis memilih pemimpin yang akan membentuk pemerintahan guna
mengurus dan melayani seluruh lapisan masyarakat, serta memilih wakil rakyat
untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Perwujudan kedaulatan rakyat
dilaksanakan melalui Pemilu secara langsung sebagai sarana bagi rakyat untuk memilih
wakilnya yang akan menjalankan fungsi melakukan pengawasan, menyalurkan
aspirasi politik rakyat, membuat undang-undang sebagai landasan bagi semua
pihak di Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam menjalankan fungsi
masing-masing, serta merumuskan anggaran pendapatan dan belanja untuk membiayai
pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut. Sesuai dengan ketentuan Pasal 22E
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pemilu untuk memilih
anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah diselenggarakan berlandaskan asas langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Pemilu diselenggarakan dengan
menjamin prinsip keterwakilan, yang artinya setiap orang Warga Negara Indonesia
dijamin memiliki wakil yang duduk di lembaga perwakilan yang akan menyuarakan
aspirasi rakyat di setiap tingkatan pemerintahan, dari pusat hingga ke daerah.
Pemilu yang terselenggara secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan
adil merupakan syarat mutlak untuk mewujudkan wakil rakyat yang berkualitas,
dapat dipercaya, dan dapat menjalankan fungsi kelembagaan legislatif secara
optimal. Penyelenggaraan Pemilu yang baik dan berkualitas akan meningkatkan
derajat kompetisi yang sehat, partisipatif, dan keterwakilan yang makin kuat
dan dapat dipertanggungjawabkan.
Peran
perempuan dan laki-laki pada dasarnya sama, itu juga telah diamanatkan oleh
konstitusi kita Undang-undang Dasar Tahun 1945, pada penggalan Pasal 28D ayat 1
berbunyi “setiap orang berhak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Itu
berarti baik laki-laki maupun perempuan pada dasarnya sama dihadapan hukum,
berperan dalam politik, berpran dalam dunia pendidikan, berperan dalam dunia
kesehatan, dan berperan dalam bentuk apa pun pemi kemajuan dan keutuhan negara
tercinta yakni Negara Nesatuan Republik Indonesia. Lebih lanjut dalam Pasal 28D
ayat (3) Undang-undang Dasar Tahun 1945 amandemen kedua mengamanatkan “setiap
warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”.
Pastilah kita kenal tokoh perempuan yang pertama menjadi Presiden Perempuan di
Indonesia, ia adalah Ibu Megawati Soekarnoputri, menteri juga banyak dari
kalangan perempuan, salahsatunya Ibu Siti Fadilah Supari, pernah menjadi Mentri
Kesehatan Republik Indonesia, ditingkat Pemerintah Provinsi, pemerintah
Kabupaten, bahkan yang jadi Walikota dari kalangan perempuan bisa dibilang
banyak jumlahnya di Indonesia ini. Mengenai persamaan yang di amanahkan
Undang-undang Dasar Tahun 1945 ada juga di Pasal 28H ayat (2) yakni berbunyi
“setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh
kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Jadi,
tidak ada yang bisa menyangkal bahwasannya permpuan juga bisa berperan dalam
berbagai bidang yang biasananya dilakukan para lelaki, karena itu semua sudah
dijamin dan di khidmad oleh konstitusi kita serta dalam kenyataannya juga telah
terbukti.
Didalam
bingkai kehidupan sosial dan politik masyarakat Indonesia secara umum
memberikan ruang yang luas dan ramah bagi kaum perempuan untuk berkiprah dalam
politik, termasuk menjadi pemimpin. Bahkan kesempatan ini terus diberikan,
termasuk penetapan kuota 30% perempuan di parlemen melalui Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dari perspektif
historis, nampak bahwa sepanjang sejarah Indonesia, pemimpin perempuan telah
muncul silih-berganti. Rahim Ibu Indonesia telah membuktikan diri sebagai rahim
yang subur bagi lahirnya para pemimpin perempuan terkemuka di bumi pertiwi,
sungguh mulia jasamu pasa ibu, karena engan tangan lebutmu engkau rawat
anak-anak mu hingga besar dan berprestasi, karena dengan kasih sayang mu
engkau didik anak-anakmu jadi seorang pemimpin.
Adanya
partai politik merupakan salah satu wujud partisipasi masyarakat yang penting
dalam mengembangkan kehidupan demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan,
kesetaraan, kebersamaan, dan kejujuran. Dalam artian menjunjung tinggi
“kebebasan” dalam berucap, bersikap, berbuat, bertingkah serta berpolitik.
Menjunjung tinggi “kesetaraan” dalam bentuk apapun, termasuk kesetaraan dalam
mengambil bagian dan berkompetisi dalam dunia politik. Menjunjung tinggi
kebersamaan dalam membangun bangsa, agar bangsa indonesia menjadi bangsa yang
besar, bangsa yang adil, bangsa yang bermartabat serta menjadikan bangsa yang
mandiri, bagian ini tidak hanya dilakukan oleh para laki-laki, namun para
perempuan pun harus turut andil didalamnya. Menjunjung tinggi “kejujuran”,
kejujuran itu sangat-sangat tinggi nilainya di mata masyarakat, karena kalau
kita telah jujur maka kita akan dipercayai selamanya, para perempuan pasti
telah mengenyam nilai-nilai kejujuran itu, karena hati dan jiwa perempuan itu
lembut dan selalu mengutamakan hati nurani dalam setiap tingkah-lakunya.
Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, pada Pasal 8 Ayat
(2) berbunyi “partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara
pada Pemilu sebelumnya atau partai politik baru dapat menjadi Peserta Pemilu
setelah memenuhi persyaratan”. Pasal 8 Ayat (2) Poin e berbunyi “menyertakan
sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada
kepengurusan partai politik tingkat pusat”. Jadi, keterwakilan perempuan dalam
konstitusi itu telah dijamin. Pada Pasal 15 Poin d berbunyi “surat keterangan
dari pengurus pusat partai politik tentang penyertaan keterwakilan perempuan
sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Yang dimaksud dengan “penyertaan keterwakilan perempuan
sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan” adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (5), Pasal 20,
dan Pasal 51 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Lebih
lanjut pada Pasal 53 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, menyebutkan “di dalam daftar bakal calon
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat
sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon”. Lebih lanjut pada
Pasal 55 menyebutkan bahwasannya “daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 53 memuat paling sedikit 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan”.
Dalam setiap 3 (tiga) bakal calon, bakal calon perempuan dapat ditempatkan pada
urutan 1, atau 2, atau 3 dan demikian seterusnya, tidak hanya pada nomor urut
3, 6, dan seterusnya.
Pada
saat Verifikasi Kelengkapan Administrasi Bakal Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi
dan DPRD Kabupaten/Kota, di Pasal 58 Ayat (1) Komisi Pemilihan Umum (KPU)
melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan
administrasi bakal calon anggota DPR dan verifikasi terhadap terpenuhinya
jumlah sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan. Pasal
58 Ayat (2) menyebutkan bahwasannya “KPU Provinsi melakukan verifikasi terhadap
kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota
DPRD provinsi dan verifikasi terhadap terpenuhinya jumlah bakal calon
sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan”. Pada Pasal
58 Ayat (3) “KPU Kabupaten/Kota melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan
kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPRD
kabupaten/kota dan verifikasi terhadap terpenuhinya jumlah bakal calon
sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan”. Pasal 59
Ayat (2) berbunyi “dalam hal daftar bakal calon tidak memuat sekurang-kurangnya
30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan, maka KPU, KPU Provinsi, dan KPU
Kabupaten/Kota memberikan kesempatan kepada partai politik untuk memperbaiki
daftar bakal calon tersebut”. Dalam bunyi Pasal 62 Ayat (6) menyatakan “KPU,
KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota mengumumkan persentase keterwakilan
perempuan dalam daftar calon sementara partai politik masing-masing pada media
massa cetak harian nasional dan media massa elektronik nasional”. Pengumuman
persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon sementara dalam ketentuan
ini dilakukan sekurang-kurangnya pada 1 (satu) media cetak selama 1 (satu) hari
dan pada 1 (satu) media elektronik selama 1 (satu) hari.
Lebih
lanjut dalam Pasal 67 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, berbunyi “KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota
mengumumkan persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon tetap partai
politik masing-masing pada media massa cetak harian nasional dan media massa
elektronik nasional”. Pengumuman persentase keterwakilan perempuan dalam daftar
calon tetap dalam ketentuan ini dilakukan sekurang-kurangnya pada 1 (satu)
media cetak selama 1 (satu) hari dan pada 1 (satu) media elektronik selama 1
(satu) hari. Lebih lanjut pada Pasal 215 Ayat b menyebutkan “dalam hal terdapat
dua calon atau lebih yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
dengan perolehan suara yang sama, penentuan calon terpilih ditentukan
berdasarkan persebaran perolehan suara calon pada daerah pemilihan dengan
mempertimbangkan keterwakilan perempuan”.
Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2008 tentang Partai Politik Sejak
Pemilu 2004, melalui Undang-undang Partai Politik No. 31 tahun 2002, telah
berubah beberapakali yakni Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai
Politik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik,
mengatur perihal keterlibatan perempuan dalam kepengurusan partai politik dan
kuota pencalonan legislatif perempuan sebanyak 30%. Meski upaya penerapan kuota
telah dilakukan, namun pada Pemilu 2009 belum menunjukkan angka keberhasilan
yang signifi kan karena baru mencapai 18.04% (101 orang dari 560 orang anggota)
keterwakilan perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). sementara keterwakilan
perempuan di Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mencapai 26.52% (35 orang dari 132
orang anggota). Untuk menopang terwujudnya kuato 30% tersebut perlu pemikiran
yang matang dan keseriusan yang penuh bagi para perempuan yang memilih dan
meniti karirnya di dunia politik tersebut. Dengan keseriusan dan semangatnya
untuk mensosialisasikan sampai ke akar rumput, maka cita-cita pencapaian 30%
itu akan terpenuhi di kompetisi bulan April 2014 nanti.
Negara-negara
seperti di eropa pemenuhan hak-hak politik perempuan dilakukan secara
incremental, bertahap dan melalui perjuangan yang keras. Hak memilih bagi
perempuan yang paling awal di dunia Barat dinikmati oleh perempuan New Zeland.
Hanya 10 minggu setelah gubernur Lord Glasgow menandatangani the Electoral Act
1893, sebanyak 109. 461 perempuan New Zeland tercatat menggunakan hak
memilihnya pada pemilu 1893. Sudah tentu ini tidak berarti bahwa perempuan
Indonesia tidak dihadapkan pada persoalan-persoalan sebagaimana banyak
perempuan di dunia alami. Dalam bidang politik, persoalan rendahnya partisipasi
dan representasi kaum perempuan, terutama di lembaga-lembaga publik, termasuk
di parlemen merupakan masalah serius di Indonesia.
Perempuan
juga, berdasarkan realita objektif persoalan rendahnya dan buruknya kualitas
partisipasi dan representasi merupakan bagian dari persoalan demokrasi
Indonesia yang belum selesai dan masih terus mencari bentuk, dan bukan
merupakan persoalan perempuan semata-mata. Masih banyak kelompok dalam
masyarakat Indonesia dihadapkan pada kedua persoalan ini. Kaum petani, dan
nelayan, misalnya, menghadapi masalah ini sama seriusnya dengan kaum perempuan.
Demikian pula dengan kaum buruh. Karenanya, persoalan partisipasi dan
representasi yang buruk ini harus diselesaikan sebagai agenda politik kolektif
sebuah bangsa, bukan dibatasi sebagai medan pergulatan gender situasi inilah yg
terjadi di Indonesia.
Dengan
adanya konstitusi yang mengatur tentang keterlibatan perempuan dalam
kepengurusan partai politik dan kuota pencalonan legislatif perempuan sebanyak 30%,
harapan penulis kepada semua kaum perempuan, tidak bereforia dengan terjaminnya
hak itu oleh konstitusi, sehingga hak-hak lainnya yang juga tidak kalah penting
terabaikan begitu saja. Salah satu contohnya, bila perempuan yang sudah
berkeluarga, bilamana ingin berproses dan ingin mengambil bagian yang jamin
konstitusi tersebut, harus dulu menyelesaikan kewajibannya sebagai seorang ibu
dan sebagai istri yang baik, mengurus dulu keperluan anak-anaknya, agar
anak-anaknya kelak beranjak dewasa menjadi orang terdidik dan menjadi pemimpin
yang tangguh serta mengurus dulu kewajibannya sebagai seorang istri.
H.
Partai
Politik Ruyal Urban (imigran)
Terminologi urban (migran) biasanya
merujuk pada wilayah dan sistem mata pencarian penduduk. Perdagangan,
industrialisasi, kosmopolitanisme (etnis yang membaur unsure
primordialismenya), kerja berdasar kontrak, merupakan beberapa cirri dari
masyarakat urban. Sementara, masyarakat rural dicirikan dengan masih
berlangsungnya sistem mata pencarian subsisten (pertanian, peternakan,
perkebunan, perikanan), hubungan komunalistik, kepemilikan sendiri alat
produksi, ataupun pembentukan institusi sosial berdasar kekerabatan.
Lewat
terminologi di atas, kategorisasi rural – urban tidak melulu diterapkan antara
Jawa – NonJawa. Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Makassar,
BanjarMasin, ataupun Surabaya dapat dimasukkan ke dalam kategori wilayah urban
(kota). Sementara wilayah Gunung Kidul, Blambangan, Brebes, kendati berada di
pulau Jawa masih dapat dikategorikan wilayah rural. Indonesia sendiri cukup
bervariasi dalam hal wilayah rural dan urban ini. Perbedaan-perbedaan ini
membuat partai-partai politik dengan berbagai isu beda dapat tumbuh di hampir
aneka wilayah Indonesia.
I.
Pendiidkan
Politik di Lingkungan Akademis
Pendidikan kewarganegaraan
(citizenship education) memiliki peran penting dalam suatu kehidupan berbangsa
dan bernegara. Menurut William Galston, pendidikan kewarganegaraan per definsi
adalah pendidikan_di dalam dan demi_ tatanan politik yang ada (Felix Baghi,
2009). Pendidikan kewarganegaraan adalah bentuk pengemblengan individu-individu
agar mendukung dan memperkokoh komunitas politiknya sepanjang komunitas politik
itu adalah hasil kesepakatan. Pendidikan kewarganegaraan suatu negara akan
senantiasa dipengaruhi oleh nilai-nilai dan tujuan pendidikan (educational
values and aims) sebagai faktor struktural utama (David Kerr, 1999). Pendidikan
kewarganegaraan bukan semata-mata membelajarkan fakta tentang lembaga dan
prosedur kehidupan politik tetapi juga persoalan jatidiri dan identitas suatu
bangsa (Kymlicka, 2001).
Berdasar hal di
atas, pendidikan kewarganegaraan di Indonesia juga berkontiribusi penting dalam
menunjang tujuan bernegara Indonesia. Pendidikan kewarganegaraan secara
sistematik adalah dalam rangka perwujudan fungsi dan tujuan pendidikan nasional
berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945 Pendidikan kewarganegaraan berkaitan dan
berjalan seiring dengan perjalanan pembangunan kehidupan berbangsa dan
bernegara. Pendidikan kewarganegaraan merupakan bagian integral dari ide,
instrumentasi, dan praksis kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
Indonesia (Udin Winataputra, 2008). Bahkan dikatakan, pendidikan nasional kita
hakikatnya adalah pendidikan kewarganegaraan agar dilahirkan warga negara
Indonesia yang berkualitas baik dalam disiplin sosial dan nasional, dalam etos
kerja, dalam produktivitas kerja, dalam kemampuan intelektual dan profesional,
dalam tanggung jawab kemasyarakatan, kebangsaan, kemanusiaan serta dalam moral,
karakter dan kepribadian (Soedijarto, 2008).
Pendidikan
kewarganegaraan di manapun pada dasarnya bertujuan membentuk warga negara yang
baik (good citizen) (Somantri, 2001; Aziz Wahab, 2007; Kalidjernih, 2010).
Namun konsep “warga negara yang baik” berbeda-beda dan sering berubah sejalan
dengan perkembangan bangsa yang bersangkutan. Dalam konteks tujuan pendidikan
nasional dewasa ini, warga negara yang baik yang gayut dengan pendidikan
kewarganegaraan adalah warga negara yang demokratis bertanggung jawab (Pasal 3)
dan warga negara yang memiliki semangat kebangsaan dan cinta tanah air (pasal
37 Undang-Undang No 20 Tahun 2003). Dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan
kewarganegaraan di Indonesia adalah membentuk warga negara yang demokratis
bertanggung jawab, memiliki semangat kebangsaan dan cinta tanah air.
Pendidikan
kewarganegaraan merupakan bidang yang lintas keilmuan (Udin Winataputra, 2001)
atau bidang yang multidisipliner (Sapriya, 2007). Sebagai bidang yang
multidimensional, pendidikan kewarganegaraan dapat memuat sejumlah fungsi
antara lain; sebagai pendidikan politik, pendidikan hukum dan pendidikan nilai
(Numan Somantri, 2001); pendidikan demokrasi (Udin Winataputra, 2001);
pendidikan nilai, pendidikan demokrasi, pendidikan moral dan pendidikan
Pancasila (Suwarma, 2006), pendidikan politik hukum kenegaraan berbangsa dan
bernegara NKRI, sebagai pendidikan nilai moral Pancasila dan Konstitusi NKRI,
pendidikan kewarganegaraan (citizenship education) NKRI dan sebagai pendidikan
kewargaan negara (civic education) NKRI (Kosasih Djahiri, 2007); dan sebagai
pendidikan demokrasi, pendidikan karakter bangsa, pendidikan nilai dan moral,
pendidikan bela negara, pendidikan politik, dan pendidikan hukum (Sapriya,
2007). Fungsi yang berbeda-beda tersebut sejalan dengan karakteristik “warga
negara yang baik” yang hendak diwujudkan.
Selain memuat
beragam fungsi, pendidikan kewarganegaraan memiliki 3 domain/ dimensi atau
wilayah yakni sebagai program kurikuler, program sosial kemasyarakatan dan
sebagai program akademik (Udin Winataputra, 2001; Sapriya, 2007). Pendidikan
kewarganegaraan sebagai program kurikuler adalah pendidikan kewarganegaraan
yang dilaksanakan di sekolah atau dunia pendidikan yang mencakup program intra,
ko dan ekstrakurikuler. Sebagai program kurikulum khususnya intra kurikuler,
pendidikan kewarganegaraan dapat diwujudkan dengan nama pelajaran yang berdiri
sendiri (separated) atau terintegrasi dengan mata pelajaran yang lain
(integratied). Sebagai program sosial kemasyarakatan adalah pendidikan
kewarganegaraan yang dijalankan oleh dan untuk masyarakat. Pendidikan
kewarganegaraan sebagai program akademik adalah kegiatan ilmiah yang dilakukan
komunitasnya guna memperkaya body of knowledge pkn itu sendiri.
J.
Syarat Mendirikan Partai Politik
Dalam Undang-undang Republk
Indonesia nomor 2 tahun 2008 Tentang Partai Politik BAB II Pembentukan Partai
Politik Pasal 2 dan pasal 3 disebutkan sebagai berikut :
Pasal 2
2. Partai
Politik didirikan dan dibentuk oleh paling sedikit 50 (lima puluh) orang warga
negara Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun dengan akta
notaris.
3. Pendirian
dan pembentukan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan
30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.
4. Akta
notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat AD dan ART serta
kepengurusan Partai Politik tingkat pusat.
5. AD
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memuat paling sedikit:
a. Asas
dan ciri Partai Politik;
b. Visi
dan misi Partai Politik;
c. Nama,
lambang, dan tanda gambar Partai Politik;
d. Tujuan
dan fungsi Partai Politik;
e. Organisasi,
tempat kedudukan, dan pengambilan keputusan;
f. Kepengurusan
Partai Politik;
g. Peraturan
dan keputusan Partai Politik;
h. Pendidikan
politik; dan
i.
Keuangan Partai Politik.
6. Kepengurusan
Partai Politik tingkat pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun dengan
menyertakan paling rendah 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.
Pasal 3
1. Partai
Politik harus didaftarkan ke Departemen untuk menjadi badan hukum.
2. Untuk
menjadi badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Partai Politik harus
mempunyai:
a. Akta
notaris pendirian Partai Politik;
b. Nama,
lambang, atau tanda gambar yang tidak mempunyai persamaan pada pokoknya atau
keseluruhannya dengan nama, lambang, atau tanda gambar yang telah dipakai
secara sah oleh Partai Politik lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
c. Kantor
tetap;
d. Kepengurusan
paling sedikit 60% (enam puluh perseratus) dari jumlah provinsi, 50% (lima
puluh perseratus) dari jumlah kabupaten/kota pada setiap provinsi yang
bersangkutan, dan 25% (dua puluh lima perseratus) dari jumlah kecamatan pada
setiap kabupaten/kota pada daerah yang bersangkutan; dan
e. Memiliki
rekening atas nama Partai Politik.
Secara umum undang-undang partai
politik yang ada sekarang ini sudah memberikan peluang yang besar kepada warga
masyarakat indonesia dalam hal pendirian partai politik. Undang-undang yang
dikeluarkan tentunya dimaksudkan agar dalam teknis di lapangan tidak terjadi
hal-hal justru merugikan, baik dari pihak negara maupun dari pihak masyarakat.
Syarat-syarata yang ditetapkan diatas adalah guna terorganisirnya partai yang
ada. Sarana dan prasarana yang harus ada nantinya akan memudahkan negara dalam
hal pengawasan.
Misalnya mengenai pengesahan parpol
sebagai badan hukum oleh Menteri Kehakiman yang terdapat dalam pasal 3 ayat
(1). Penulis berpandangan hal itu merupakan pelaksanaan Pasal 28 UUD 1945 yang
memberikan jaminan kepada masyarakat dalam hal kemerdekaan berserikat dan
berkumpul. Pengaturan ini dimaksudkan guna menjamin agar penggunaan seseorang
atau sekelompok orang tidak mengganggu kebebasan seseorang atau sekelompok
orang lainnya. Selain itu ketentuan tersebut dimaksudkan untuk membangun parpol
yang berkualitas, mandiri, dan mengakar di masyarakat. Pengaturan itu, menurut
mayoritas hakim MK, diperlukan bagi negara yang sedang berada dalam proses
pematangan demokrasi.
Dengan demikian, tidak satu pun dari
pasal-pasal itu dapat ditafsirkan sebagai pengekangan atau pembatasan terhadap
kebebasan untuk mendirikan parpol, tetapi hanya pengaturan tentang persyaratan
pemberian status badan hukum sehingga parpol itu dapat diakui sah bertindak
dalam lalu lintas hukum. Demikian pula pengaturan itu tidak dapat dipandang
diskriminatif karena berlaku terhadap semua parpol.
0 comments:
Post a Comment